28

6.4K 1.1K 98
                                    




Chenle menutup lokernya setelah selesai mengatur buku pelajaran. Mulutnya mengeluarkan helaan nafas pendek sebelum menutup pintu besi itu. Ia berbalik dan terkejut saat Jisung tiba-tiba berdiri di belakangnya.

"Astaga!"

Tangannya memegangi dadanya, menetralkan detak jantungnya. "Jangan mengagetkanku seperti itu!" gerutunya. "Minggir."


Brak!


Chenle lagi-lagi berjengit kaget saat tangan Jisung memukul loker di sebelahnya. Mengurungnya dengan kedua tangannya.


Glek.


Dengan posisi seperti ini, Chenle mengingat saat Jisung menciumnya. Apalagi dengan wajah yang terlampau dekat ini. Ini tidak baik.

"Apa? Minggir!" ucapnya setenang mungkin.

"Aku ingin berbicara denganmu."

Ia memutar bola matanya. "Ya sudah bicara. Tidak perlu seperti ini." ucapnya sambil mendorong tubuh Jisung.

"Tidak. Karena kau akan pergi lagi."

"Apa?"

"Kau menghindar dariku. Aku ingin berbicara denganmu tapi kau terus menghindar."

"Aku tidak menghindar."

"Oh ya? Lalu kenapa waktu itu kau memutar balik di lorong menuju kantin?"

"Ramai."

"Kau keluar dari kamar mandi walaupun kau sudah tidak tahan hanya karena ada aku di dalam."

"Kotor."

"Kau tidak jadi naik tangga karena aku ada disana padahal kau ada jadwal di ruang Biologi."

Chenle menatap Jisung, "Pertama-tama, bagaimana kau tau jadwalku. Kedua, aku tidak menghindarimu. Aku melupakan sesuatu."

"BISAKAH KAU BERHENTI MENGELAK?!"

Lelaki malang itu lagi-lagi berjengit kaget. Apalagi dengan jarak yang dekat, suara Jisung menjadi 2 kali lipat lebih keras.

"K..kenapa kau marah? Aku tidak mengelak! Itu fakta!"

Jisung menatap Chenle sebentar.


"Apa kau tidak merasakan apapun setelah ciuman kita waktu itu?"


Ah sialan, kenapa si keparat ini membawa-bawa ciuman itu?

Chenle mendengus, "Merasakan apa? Kaget? Iya pasti."

"Kau sungguh tidak merasakan apapun?"

"Perasaan apa sih?!'

Jisung menjauh dari Chenle dan menatapnya dingin. "Tidak ada kurasa. Buktinya kau pergi berkencan dengan Justin."

Chenle melebarkan matanya kaget. Darimana dia tau?

Namun belum sempat bertanya, Jisung sudah tidak ada di depannya.


***


Chenle berjalan menghampiri Justin yang kini menunggunya. "Maaf! Menunggu lama?"

"Tidak kok."

"Jadi kita mau kemana?"

"Sederhana saja. Hanya berjalan-jalan."

Chenle mengangguk mengerti. Ia berjalan di samping Justin sebelum lelaki itu berhenti sejenak. Wajahnya memerah dan ia menatap Chenle malu-malu. "Apa boleh—?"

"Boleh apa?"

Justin menunjuk tangan Chenle yang tergantung bebas. "Memegang tanganmu?"

"Tentu saja."

Chenle mengulurkan tangannya dan Justin menyambutnya. Keduanya berjalan bersama menyusuri trotoar itu. Terkadang keduanya berhenti untuk melihat baju di etalase toko, terkadang berhenti untuk menyapa anjing milik orang lain yang kebetulan berjalan-jalan.

Mereka mengobrol apa saja, mulai dari tugas sekolah sampai tentang hobi masing-masing.

"Beli es krim yuk?"

Mereka membeli es krim dan duduk di bangku sebuah taman. Keduanya memakan es krimnya tenang sambil menonton orang-orang yang kini bermain di taman itu.

"Ini kencan yang bagus. Aku sangat menyukainya."

"Dari dulu aku selalu ingin pergi kencan seperti ini."

Chenle tersenyum sebentar sebelum menatapnya. "Hei, bolehkah aku bertanya?"

"Tentu saja."

"Kenapa kau menyukaiku?"

Justin menoleh, menatap Chenle yang kini gelagapan. "M..maksudku, aku hanya penasaran saja. Mengingat banyak orang yang tidak menyukaiku."

"Aku menyukaimu tanpa alasan."

Justin tersenyum sebelum menjilat es krimnya lagi. "Kurasa awalnya aku penasaran denganmu, kenapa semua orang membencimu padahal kau sangat baik. Lalu semakin lama aku menyukai sikapmua dan menyadari kau itu sangat manis. Dan aku nyaman denganmu. Itu saja."

"Oh..."

Chenle terdiam sebentar. "Aku.. berterima kasih. Sungguh. Belum ada yang pernah mengatakan bahwa mereka menyukaiku. Jadi saat mendengar kau berkata seperti itu, tidak hanya sedih tapi aku pun senang."

Justin terkekeh kecil, "Untuk apa kau sedih?"

"Karena aku tidak bisa membalas perasaanmu. Seandainya saja—"

"Hei."

Justin memegang bahu Chenle. "Tidak usah merasa sedih. Aku tidak apa-apa. Lihat, aku tidak apa-apa!"

Chenle masih menatap Justin dengan sedih.

"Kau kan sudah berkencan denganku. Setidaknya aku bisa merasakan bagaimana menjadi pacarmu satu hari ini bukan? Dan aku pun juga memegang tanganmu."

Justin mengelus rambut Chenle. "Jangan bersedih. Karena kalau kau sedih, aku juga ikut sedih."

"Tapi—"

"Chenle!" Justin menggelengkan kepalanya. "Sudah kubilang aku tidak apa-apa! Kau tidak perlu memaksakan perasaanmu hanya karena aku menyukaimu. Hatiku memilihmu dan kurasa itu sudah cukup meskipun aku tidak bisa memilikimu. Cinta tidak harus memiliki bukan?"

Bibir Chenle terangkat sedikit. "Maaf, aku hanya sangat bersalah karena menyakiti teman dekatku."

"Tidak apa-apa."

"Justin."

"Ya?"

"Kita.. masih tetap teman kan? Kau tidak akan menjauh kan?"

Justin membisu. Ia melihat Chenle yang kini menatapnya penuh harap. Ia tersenyum tipis, "Tentu saja."

Chenle kembali tersenyum. "Terima kasih."

"Tentu. Oh ya, ini sudah mau malam. Ayo kita pulang. Kuantar kau ke halte."

Keduanya berjalan menuju halte bis dan Chenle melambaikan tangannya. "Sampai ketemu hari Senin."

"Baik. Hati-hati!"

Justin melihat Chenle yang kini masuk ke dalam bis. Chenle melambaikan tangannya dari jendela dan Justin hanya mengangguk-anggukkan kepalanya mengerti.

Begitu bis itu mulai berjalan, Justin terdiam menatap jalan di depannya dengan pandangan kosong.

Sedetik kemudian air mata menetes membasahi wajahnya.

"Tentu, kau hanya sebatas teman. Tidak lebih."

abandon.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang