32

11.2K 1.2K 158
                                    




Chenle tidak tau kapan ia pernah berlari sekencang ini. Berlari hingga jantungnya serasa ingin copot dari tubuhnya. Ia berhenti di kamar 222 sambil mengatur nafasnya. Ia menutup matanya, menahan beban tubuhnya yang ingin ambruk itu. Tapi itu semua tidak perlu karena Jisung lebih penting disini.

Dengan pelan ia mengetuk pintu itu dan suara 'masuk' terdengar dari dalam. Dan dengan begitu tangannya bergerak membuka pintu besi itu. Ia terdiam melihat sosok Jisung yang terbaring lemah di kasur. Sudah ada Jeno dan Mark disana. Kakinya bergerak mendekati kasur, matanya masih terpaku melihat tubuh Jisung yang terluka parah. Setelah itu baru ia mengalihkan pandangannya pada dua sahabat Jisung.

"Bagaimana bisa?"

Mark menghela nafas, "Si bodoh ini menyelamatkan kucing yang hendak menyebrang. Kucingnya sudah ia pinggirkan, namun handphonenya terjatuh di jalan sehingga ia kembali mengambilnya dan sebuah mobil menabraknya."

Chenle menutup matanya, tidak habis pikir dengan Jisung. "Lalu apa kata dokter?"

"Dia baik-baik saja. Ada bagian tubuhnya yang patah tapi ia sudah selesai dioperasi. Kepalanya membentur begitu keras namun tidak ada yang salah dengan otaknya."

"Kuharap ia bisa lebih pintar."

"Jeno!"

"Apa? Memang dia bodoh sekali. Bagaimana bisa dia mementingkan tik—"

Mark langsung menutup mulut Jeno membuat Chenle menaikkan alisnya bingung. Sedangkan Mark hanya tertawa kecil, "Haha. Tidak apa. Um, hey bagaimana kalau kau tunggu disini dulu? Aku akan mengurus pembayaran rumah sakitnya. Jeno, ayo."

"Aku juga ikut?"

"Ya."

Jeno mendengus dan akhirnya mengikuti Mark keluar ruangan. Meninggalkan Chenle sendirian. Diluar Jeno menatap Mark, "Kau kenapa berbohong seperti itu?"

"Berbohong bagaimana?"

"Bahwa Jisung sebenarnya kembali bukan untuk mengambil hpnya."

"Dia memang kembali mengambil hpnya kok."

"Tapi tujuannya bukan untuk hpnya! Toh Jisung sudah kaya dan bisa membeli hp keluaran terbaru kapanpun."

Mark menghela nafas. "Jisung menyuruhku untuk tidak memberitahu Chenle soal itu."

"Dia masih ingin cari muka di depannya? Bisakah dia mengakui kalau dia itu bodoh merelakan nyawanya hanya untuk sebuah tiket bodoh itu?"

"Hei, baginya itu tiket berharga tau."

"Tiket menonton dengan Chenle waktu itu? Chenle sudah akan menjadi miliknya namun si bodoh itu masih mementingkan barang tidak berguna itu."

"Mungkin dia orang sentimental Jeno. Jangan menghakimi orang seperti itu."

"Aku bukan menghakiminya. Aku hanya mengatakan dia orang bodoh."





.

.

.








Chenle duduk di kursi di samping kasur Jisung dan menatapnya. "Jisung, aku tau kau sudah bangun."

Hening. Tidak ada jawaban atau pergerakan. Chenle menghela nafas, "Kenapa kau melakukan itu? Kau bisa membeli hp baru kapan saja."

"Apa nyawamu tidak penting bagimu?" tanya Chenle. "Apa kau sejahat itu? Kau akan pergi meninggalkanku lagi?"

Lelaki blonde itu melihat karangan bunga yang tertata rapi di meja sebelahnya. Ia kembali menatap Jisung dan akhirnya berdiri. Hendak membeli makanan untuknya.

grep.

Chenle terdiam saat tangannya ditahan oleh tangan besar Jisung. Ia menoleh, melihat Jisung yang balik menatapnya dengan pandangan sayu. "Jangan pergi."

"..bukankah seharusnya aku yang bilang seperti itu?"

Jisung menggigit bibirnya, "Maaf."

"Aku tidak butuh maafmu Jisung."

Jisung menarik Chenle mendekat. "Maafkan aku Chenle. Maaf membuatmu khawatir."

"Aku? Khawatir?" Chenle tertawa kecil. "Aku tidak khawatir, aku hanya tidak suka kau tidak memikirkan nyawamu itu Jisung."

"Bagaimana jka terjadi hal yang lebih buruk dari ini? Orang tuamu, Jeno hyung, Mark hyung, semuanya akan sedih. Termasuk aku!"

Jisung menegakkan kasurnya lalu menarik lelaki itu menuju pelukannya. Ia mencium belakang telinganya lembut sambil mengelus punggungnya. "Maafkan aku."

"Sudah kubilang—"

"Aku masih tetap meminta maaf."

"Bodoh." Chenle bergumam sebelum memeluk lelaki erat. "Dasar bodoh."

"Aku memang bodoh." ucap Jisung. "Tapi aku tidak bodoh untuk meninggalkanmu sendirian."

"Apa?"

"Mana mungkin aku pergi dan membuat orang yang kusayangi disini sendirian?"

Chenle mengerjap pelan. Sedangkan Jisung kini menggaruk tengkuknya malu. "Maaf, awalnya aku ingin mengejutkanmu dan menyatakan perasaanku di cafe tadi namun ternyata aku malah ditabrak dan berakhir disini. Dan sekarang menyatakanku di keadaan seperti ini.."

"Maaf membuatmu kecewa. Aku tau ini benar-benar hal yang menyedihkan. Kau pasti malu melihatku."

"Jisung." Chenle menangkup wajah Jisung. "Melihatmu baik-baik saja sudah lebih dari cukup untukku."

Jisung terdiam sedangkan Chenle mengelus pipi Jisung lembut. "Jadi jangan pernah berpikir seperti itu."

"Chenle,"

"Ya?"

"Would you be mine?"

Chenle mengerjap pelan lalu tersenyum. "Of course."

Jisung tersenyum lalu menarik Chenle ke pelukannya. "Aku menyayangimu."

"Aku lebih menyayangimu." Chenle tersenyum dan memeluk tubuh Jisung erat.

"Aku tidak akan meninggalkanmu lagi."

Karena kehadiran masing-masing sudah cukup untuk mereka.




End

A/n :

hehe sudah end. Terima kasih yang sudah membaca ff ini. Ff ini masih banyak kekurangan dan untuk ke depannya bakal nulis ff yang lebih baik lagi. Makasih yang sudah vomment. 💕🥰

9 may 2019 - 25 November 2019

abandon.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang