PART 15
"Sha."
Asha terkejut saat mendengar sebuah suara memanggilnya. Novel di tangannya jatuh. Sekilas ia melihat Rani melirik ke arahnya. "Hendrik..."
"Sepertinya akhir-akhir ini kamu sering melamun. Ada masalah?" tanya Hendrik sambil menarik kursi dari pojok ruangan dan meletakkannya tepat di depan meja kasir, lalu duduk di sana.
Asha menggeleng dan tersenyum tipis. Meski ia dan Hendrik sangat akrab, tapi ia malu untuk menceritakan apa yang sedang menimpanya.
"Tumben ke sini pagi-pagi?" tanya Asha pada Hendrik untuk mengalihkan topik pembicaraan. "Tidak kerja?"
Hendrik tersenyum tipis. "Kerja. Tapi aku ingin mengajakmu ke Tanjung Pinang akhir pekan ini. Ada rekan kerja menikah di sana." Hendrik menatap Asha dengan tatapan yang tidak mau mendapatkan jawaban tidak.
Asha mengerutkan kening, "menginap?" tanyanya sambil membolak-balik halaman novel di tangan.
Hendrik mengangguk. Asha mengerut kening dan berpikir. Asha tahu, jika menginap, Hendrik pasti akan memesan dua kamar untuk mereka. Meskipun akrab, mereka tidak pernah sampai berbagi kamar tidur.
"Mau, Sha? Sabtu siang kita ke sana, minggu sore kembali ke Batam," jelas Hendrik sambil menatap Asha penuh harap.
Asha ingin sekali pergi, tapi bagaimana dengan Nayra?
"Mau ya, Sha..." desak Hendrik lagi.
Karena tidak sanggup mengecewakan Hendrik yang terlihat sangat berharap, Asha mengangguk setuju.
"Terima kasih, Sayang," sambut Hendrik senang. "Aku jalan dulu, ya. Mau lanjut kerja." Hendrik tersenyum dan menyentuh tangan Asha yang sedang memegang buku.
Asha mengangguk dengan senyum tipis. "Hati-hati di jalan."
Bertepatan dengan berakhirnya kalimat Asha dan Hendrik yang melempar senyum padanya sebelum berjalan menuju pintu keluar, Dave masuk ke dalam toko. Seketika rahangnya yang kukuh terlihat menegang.
Dave menatap Asha dengan pandangan yang Asha tahu pasti, Dave sedang marah. Tapi Asha tak peduli. Dave juga sudah membuatnya marah. Sudah seminggu berlalu dari kejadian Dave memukul Deo, dan sampai saat ini Asha masih enggan bicara dengannya. Ia hanya menjawab bila sudah benar-benar terpaksa.
Bahkan selama seminggu ini, Dave tidak bisa menggaulinya. Bukan tidak bisa sebenarnya, tapi tidak berhasil membangkitkan gairah Asha. Asha selalu berusaha menyingkirkan segala rasa nikmat, dan diam membisu saat Dave mencumbunya. Ia tak ingin sedikit pun terpengaruh oleh gairah yang berusaha Dave bangkitkan.
"Untuk apa dia ke sini?" tanya Dave ketus dan dingin.
Asha bergeming, terus menatap novel di tangannya tanpa merasa perlu bersusah-payah menjawab pertanyaan itu.
"Kamu bisu?" tanya Dave lagi sambil duduk di kursi yang tadi Hendrik duduki.
Asha mengangkat muka dan menatap wajah arogan di depannya. Sekilas ia dapat melihat Rani yang sedang menyusun komik-komik berdasarkan serinya, melirik ke arah mereka.
"Ada apa?" tanya Asha dengan nada ketus. Terpaksa. Jika ia tidak menjawab pertanyaan Dave, pasti pria itu semakin marah dan berbuat heboh dengan sikap arogannya.
"Untuk apa dia ke sini?" tanya Dave lagi dengan raut wajah yang jelas-jelas menunjukkan rasa tidak senang.
Asha mengerut kening, kemudian mencibir, "bukan urusanmu!" Ya. Jelas itu bukan urusan Dave. Dia tidak berhak mencampuri urusan pribadi Asha.
"Apa pun yang menjadi urusan calon istriku, juga menjadi urusanku," balas Dave dingin.
Seketika dada Asha berdebar. Ia menatap Dave yang juga sedang menatapnya dalam-dalam. Mata mereka beradu dan membuat getar itu kembali menyapa hatinya.
"Sejak kapan aku menjadi calon istrimu?" tanya Asha masih dengan nada ketus. Dave tak pernah melamarnya.
"Sejak pertama kali kita tidur bersama." Dave menyeringai nakal.
Wajah Asha memerah menahan malu. Ia yakin Rani bisa mendengar pembicaraan mereka. Tapi sepertinya Dave sama sekali tidak punya rasa malu. Dia justru bangga orang lain tahu kalau Asha sudah ditiduri olehnya.
"Jaga mulutmu!" bentak Asha kesal dan setengah berteriak. Wajahnya terasa makin memanas. Tergesa-gesa ia berdiri dan melangkah menuju pintu keluar. Tapi Dave dengan gesit menariknya ke dalam pelukan dan memeluknya erat.
Jantung Asha berdetak kencang. Ia munafik. Merasa marah dan kesal akan perlakuan Dave padanya dan Deo, tapi diam-diam sangat mendamba dan merindukan pelukannya yang sudah seminggu ini selalu ia tepis.
"Lepaskan!" teriak Asha marah sambil mendorong tubuh Dave. Malu diperlakukan seperti itu di depan karyawannya. Anak-anak muda penyewa novel dan komik bisa datang kapan saja dan menonton adegan live show mereka.
Tapi Dave tidak pernah mendengarkan Asha. Ia malah menunduk dan mencium bibir Asha dengan paksa.
Lutut Asha terasa goyah. Ia kesusahan bernapas. Sebisa mungkin Asha mengunci bibir agar Dave tidak bisa memagutnya.
Tapi Dave adalah perayu ulung. Dalam semenit ia sudah bisa menguasai Asha. Memagut bibir indah itu dengan hasrat menggelora.
Setelah puas memporak-porandakan hati dan emosi Asha, Dave melepas ciumannya begitu saja dan membuat Asha merasa pusing. Sulit untuk kembali ke dunia nyata.
"Lepaskan aku!" pinta Asha sambil berusaha melepaskan diri dari pelukan Dave yang sangat erat.
"Ingat, kamu milikku! Jangan berani bersama yang lain di depan atau pun di belakangku!" Dave melepas pelukannya.
Setelah itu, Dave berbalik dan meninggalkan toko, menyisakan rasa malu dalam diri Asha.
Asha menundukkan wajahnya yang terasa panas. Tidak sanggup melihat reaksi Rani yang menjadi saksi adegan mereka tadi.
***

KAMU SEDANG MEMBACA
Mr. Arrogant in Love
RomanceKarena perbuatan kakaknya menggelapkan uang perusahaan, Asha terpaksa mengorbankan diri menjadi teman tidur Dave, atasan kakaknya yang sangat tampan tapi arogan. Demi melindungi kakaknya dari ancaman masuk penjara, Asha merelakan kegadisan dan harga...