🍓5. Makan malam 🍓

3.1K 275 39
                                    

Tya duduk di tempatnya tepat berada di samping sang kakak, ia  tersenyum jahil pada Bumi. Bumi membalas tentu saja, lalu keduanya terkekeh bersama. Kebiasaan sejak dulu entah kapan dimulainya. Hanya saja menyenangkan rasanya untuk keduanya. Ratih juga memerhatikan, senang melihat interaksi di antara Tya dan juga Bumi.

Malam ini Ratih memasak santapan kesukaan Tya dan Bumi. Ayam goreng yang ia bumbui dengan bumbu bacem, lengkap dengan sambal dan lalapan.

"Makan yang banyak," ujar Ratih.

"Nanti makin gembrot aku gara-gara Ibu." Tya protes, padahal sudah mengambil banyak nasi.

Bumi yang berada di sebelah kanan Tya, kini sibuk menyelesaikan santapan malam miliknya. "Ibu tadi katanya mau ngomong?"

"Iya, Ibu mau ke Solo beberapa bulan nemenin eyang. Kalian kan tau eyang sakit. Jadi mungkin dalam beberapa bulan enggak bisa datang dan jenguk kalian." Ratih memberitahu, karena memang semua sudah tau, kalau hampir sebulan ini memang eyang sakit.

Setiap dua minggu sekali Ratih datang ke rumah saja, rasanya Tya sudah sering kangen berat. Dan Ratih tau kalau tya memang sangat manja padanya.

"Kan ada Bulek Bu?" Tya membecik karena merasa sedikit kecewa dengan apa yang dikatakan oleh Ratih. Mungkin sedikit egois memang.

"Ya, kan, Bulek kerja," sahut Bumi.

Bumi kemudian menyenggol kaki sang adik, Tya lalu menatap kakak laki-lakinya itu. Bumi jelas tak suka dengan apa yang dikatakan Tya barusan.

"Ya, kalau Ibu mau ke sana, nggak masalah. Asal jaga kesehatan juga di sana. Masalah Tya di sini sama aku tenang aja pasti aku urus." Bumi berucap sepertinya ia terima saja kepergian Ratih.

Tya kemudian memilih untuk menyantap makan malam miliknya. Dalam hati Ratih jelas mengerti sekali sikap manja Tya. Karena memang dulu Tya putri kesayangan sekali. Dimanjakan kemudian ditinggal pergi satu persatu. Dulu juga Tya sering kali di bully, bahkan saat harus masuk ke sekolah setelah kedua orang tuanya tiada. Hanya saja, Tya tak pernah mundur. Tetap semangat mencari ilmu  karena sang ayah selalu mengatakan kalau ia ingin Tya jadi anak yang pintar. Dan untuk itu Tya selalu semangat menempuh pendidikan meski sadar diri tak sepintar sang kakak.

"Makannya kalian buru-buru nikah." Rati berkata dan selalu saja menyambungkan semua masalah dengan perkataan ini.

"Mas duluan, nggak ada yang mau sama aku soalnya." Tya menjawab.

"Hush sembarangan!" seru semuanya kompak.

Agaknya Tya memang tak lagi berharap banyak pada hidup ini. Jodoh sepertinya masih jauh sekali. Lagipula, gadis itu merasa bahagia dengan menjalani hidup seperti ini. Sendiri, kemudian berusaha membahagiakan Ratih, Bumi dan dirinya sendiri.

Pernikahan bukan sebuah jawaban dan jalan keluar. Tak pula menjamin kebahagiaan, pada dasarnya kebahagiaan adalah kita sendiri yang membuatnya. Keyakinan diri, keikhlasan menjalani hidup, juga bagaimana kita senantiasa bersyukur. Nikah memang perintah Tuhan, Allah SWT. Dan di usia Tya yang kini dua puluh lima tahun ini yang masih sendiri, itu juga takdir Tuhan kan? Tiada sesuatu terjadi di luar kehendak Tuhan yang maha esa. Benar?

Bukan tak ingin, hanya tak terlalu berharap. Tya sadar diri, cantik? Enggak; seksi? Boro-boro; pintar? Biasa aja. Yang bisa tya banggakan dari dirinya hanya semangat mau belajarnya. Tya bisa menghabiskan malam untuk mempelajari hal yang benar-benar ingin ia tekuni. Dan memang Tya bisa berhari-hari melakukan itu, meski mengeluh ia akan mencoba lagi. Tya ratunya mengeluh, hanya di bibir saja. Setelah moodnya kembali ia akan kembali belajar lagi. Tya sangat yakin yang berbakat jika malas akan kalah dengan yang tekun dan giat. Meskipun selalu dipanggil lemot, setidaknya ia tetap terus berusaha.

"Kamu enggak tau aja gimana cara Allah cari jalan perihal jodoh. Bisa jadi bulan depan ibu sama Mas Bumi dampingi kamu duduk di pelaminan," kata Ratih diikuti anggukan  dan Bumi.

"Ih ibu, enggak mungkin ih," keluh Tya.

Bumi mencubit pipi Tya gemas. "Aamiin."

"Aamiin," sahut Tya.

Sementara itu kini di rumah Yuga tengah makan malam bersama dengan Nindi dan juga Kinar. Keluarga itu memang selalu menyempatkan diri untuk menikmati makan malam bersama.

"Nenek udah ketemu Tya tadi. Anaknya baik, tulus, cocok sama kamu. Dia juga terlihat ceria, enggak suram seperti kamu yang irit ngomong." Kinar membuka malam malam mereka dengan hasil pertemuannya dengan Tya tadi.

Yuga mendesah kesal juga rasanya, dan makan malamnya terganggu sekali karena pembicaraan sang nenek. "Kita bisa makan dulu enggak sih Nek? Jujur Yuga males sekali kalau bahas masalah ini."

"Ruang makan itu tempatnya diskusi. Biasanya juga kita bicara banyak hal di sini." Nindi berkata, karena memang biasanya mereka saling berbicara saat di meja makan seperti ini.

Yuga hela napas saja, meski moodnya jadi buruk karena pembicaraan tentang Tya barusan. "Ya, kalau bahas mengenai perusahaan enggak apa-apa. Kalau mau bahas masalah ini jadi malas saya."

"Kamu harus dekati Tya dengan pelan-pelan buat senatural mungkin." Kinar meminta pada Yuga.

Agaknya Kinar terlambat, karena Yuga bahkan telah terang-terangan mengatakan kalau ia ingin menikah kontrak dengan gadis itu.

"Kenapa enggak langsung aja ibu sama nenek lamarin dia buat saya? PDKT, kenalan, itu buang-buang waktu. Tumpukan dokumen saya masih lebih penting dibandingkan itu," Ucap Yuga.

Nindi melirik pada Kinar, kaget juga mendengar apa yang dikatakan oleh Yuga. Kalau ia meminta sang ibu dan nenek untuk melamar Tya. Bukankah ini berarti Yuga menyetujui tentang pernikahan itu?

"Berarti kamu setuju Nak?" tanya Nindi.

"kalau aku enggak setuju, apa mami sama nenek terima? Pasti enggal kan?" Yuga bertanya, karena tau dengan jelas kalau sang nenek dan ibu pasti masih akan mengganggu dirinya jika tak setuju dijodohkan. "pasti akan maksa aku terus kan?"

"Ya karena memang ini yang nenek lihat untuk kebaikan kamu kedepannya." Kinar mengatakan lagi menekankan penglihatannya.

Yuga hela napas saja lalu anggukan kepalanya. Jelas kalau ia menoleh akan ada banyak hal yang akan dilakukan oleh kedua wanita ini untuk membuatnya mau melakukan pernikahan itu.

Selesai makan malam, Yuga melangkahkan kakinya menuju kamar. Merebahkan dirinya di sana. Belakangan memang disibukkan dengan banyak hal jadi kurang waktu untuk beristirahat. Apalagi kini ditambah dengan permintaan ibu dan neneknya. Saat itu ponselnya berdering.

"Hallo?" sapa Yuga.

"Mas Yuga!" seru Vhi dari balik telepon.

"Hey, kemana aja kamu?" tanya Yuga merasa sang adik lama tak menghubungi.

"Aku ngerjain tugas akhir dan udah selesai dan penilaian juga."

"Masa?" tanya Yuga tak percaya.

"Haish, selalu aja enggak percaya. Jangan bilang mami ya, aku  balik minggu depan."

"Wisudanya dua bulan lagi ya?" tanya Yuga.

"Iya, bulan januari. Semua lancar kan Mas di perusahaan?"

"Lancar semua kok, buruan balik dan bantuin saya di sini." kata Yuga lagi seperti biasa dengan nada suara datar dan tanpa ekspresi.

"Heheh, siap bos."

Terpaksa Menikahi Si Gendut (MYG)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang