🍓35. keputusan Tya 🍓

2K 201 13
                                    

Vhi menatap Bumi tak percaya. Sesaat, hanya ada sunyi di antara mereka, hingga akhirnya Vhi menggeleng dan berkata pelan, "Kalo lo ada di posisi gue, apa lo akan nyerah gitu aja? Nggak berjuang mendapatkan orang yang lo sayang? Perasaan gue sama Tya bukan baru sebulan dua bulan, Mi! Belasan taun! Lo tau itu kan? Gue nggak bisa nyerah sekarang!"

Bumi menggeleng. "Kalo cinta ya memang harus berjuang. Tapi mencintai 'kan, bukan semata-mata memiliki."

Vhi mendengus keras. "Bullshit!"

Bumi diam, tak langsung melanjutkan kalimatnya. Dia juga tak melakukan apa pun meski saat ini tangannya gatal ingin menggosok mulut Vhi karena memaki di depannya. Namun, Bumi tahu, sekarang Vhi sedang tak baik-baik saja. Pria di depannya ini sedang patah hati dan itu membuat Vhi jadi gelap mata. Okelah, sekali ini saja, Bumi akan bertoleransi, menjujung tinggi nilai Pancasila sebagai warga Indonesia.

"Cinta juga tentang merelakan, Vhi. Aku tau ini berat, tapi Tya sudah memilih. Dan pilihannya adalah Yuga."

"Tapi kalo Tya nanti—"

"Lo takut Yuga macam-macam sama dia? Lo itu raguin gue sebagai wali Tya? Tya bahagia sama pilihannya, kok. Yuga perhatian sama Tya. Ayolah, man up. Tya sudah ambil keputusan, hargai dia."

***

Di rumah, Tya yang sedang berbaring di atas ranjangnya kembali membalikkan tubuhnya ke sisi lain. Galau ternyata bikin capek. Baru beberapa saat selepas Maghrib, tapi Tya sudah kehabisan energi. Padahal, hari ini dia tak ngapa-ngapain. Boro-boro mandi, makan saja tumben, tak dihabiskan. Yang dilakukan seharian hanyalah rebahan, guling sana guling sini, melamun, lalu menggaruk rambutnya gusar. Repeat!

Selain circle itu, dia hanya keluar mengendap-endap dari kamarnya saat Vhi datang dan menggedor pintu rumahnya. Pria itu sampai berteriak memanggil namanya sampai beberapa tetangga yang terganggu datang menegurnya. Pilihan tepat Tya tetap di dalam. Kalau tidak, dia pasti malu setengah mati.

Untung banget tadi setelah Bumi berangkat kerja, Tya langsung mengunci rumahnya, membuat rumahnya berkamuflase seolah tak ada penghuninya. Hari ini Bumi berangkat kerja lebih pagi. Tadi pamitnya, ada teman kerja yang mendadak minta ganti shift atau sejenis itu, Tya tak begitu memperhatikan. Jadi, jam dua siang tadi Bumi sudah berangkat.

"Hhh!" Lagi-lagi helaan napas yang terdengar.
Galau rupanya bisa berdampak mengerikan begini. Tya yang biasanya rajin mandi dan beberes rumah, versinya sendiri, hari ini mendadak tidak mood melakukan apa-apa.

Namun, dipikir lagi, Tya tidak bisa seperti ini terus. Dia sudah tidak masuk kantor dua hari, tapi dia juga tidak melakukan apa pun di rumah. Menghindar dari Vhi bukanlah jawaban. Sampai kapan dia harus kucing-kucingan begini? Dia kangen obrolan panjangnya dengan Vhi, kangen  candaan receh Vhi, kangen pada kebersamaan mereka. Jujur, Tya tak lagi yakin, apakah mereka bisa kembali seperti dulu lagi, tapi, yang jelas, Tya tidak ingin hubungannya dengan Vhi benar-benar bubar seolah mereka tidak saling mengenal dan malah menghindar satu sama lain.

Dengan tekad sekeras dan sebulat bola basket, Tya pun beranjak mengambil handuk dan mandi. Sekalian dia mau keramas untuk menyegarkan kepalanya agar bisa berpikir lebih jernih. Langkah selanjutnya, akan dia pikirkan nanti setelah mandi!
Beberapa menit kemudian, Tya duduk di kursi kamarnya dengan handuk tersampir di bahunya. Dia masih mengeringkan rambutnya setelah keramas tadi. Seperti dugaannya, dia merasa jauh lebih segar dan pikirannya jadi lebih jernih dari sebelumnya. Tya menarik laci meja kamarnya dan mengeluarkan ponsel yang sudah dua hari ini dikurung di sana, lalu menyalakannya.

"Astaga, kalo gini caranya hapeku bisa meledak lama-lama!" serunya kaget saat ponselnya tidak berhenti bergetar menerima berondongan pesan masuk dan notifikasi panggilan terlewat.

Hampir lima menit berlalu sampai akhirnya ponselnya kembali tenang. Tya meraih kembali benda itu dan menggelengkan kepalanya takjub. Batu lima menit dinyalakan, ponselnya sudah panas sekali karena pesan dan notifikasi yang berjejal.

"Siapa sih, yang ... astaga Arin! Vhi ... hah? Pak Yuga juga?" Ada sedikit rasa berdesir di dadanya saat melihat beberapa panggilan dari Yuga mampir di ponselnya. Tya tak tahu perasaan asing apa ini, tapi sedikit menyenangkan rasanya mengetahui Yuga juga mencarinya selama dua hari ini. Namun, pria itu tidak meninggalkan pesan apa pun, membuat Tya sungkan untuk menghubungi kembali tanpa alasan. "Bisa jadi ini ngehubungin masalah kerjaan, jangan GR, Ty." Dia mengingatkan dirinya sendiri.

Dengan cekatan, Tya membalas semua pesan masuk yang tidak berhubungan dengan pekerjaan. Terutama dari Arin dan Vhi. Untuk Vhi, jarinya berhenti sejenak di atas keyboard saat mengetik pesan balasan. Sepertinya membahas hal ini lewat pesan bukan ide yang bagus. Jadi, Tya menghapus kembali pesan chatnya dan memencet icon telepon di pojok kanan layar ponselnya. Setelah itu, dia menempelkan layar ponselnya ke telinga.

"Tya! Astaga, lo nggak papa, 'kan? Lo di mana? Hape lo mati dan lo nggak ada di rumah, lo bikin gue kuatir tau, Ty!" Suara Vhi yang penuh kecemasan dan kepanikan menyapa telinga Tya.
Tya memejamkan matanya, meneguhkan hati. Dia harus menyelesaikan ini secara langsung. Dia tidak ingin menghindari Vhi lagi nantinya.

"Vhi."

"Ya?"

"Vhi ada waktu nggak? Gue mau ngobrol sama ...."
"Ada! Gue selalu ada waktu buat lo!" Vhi menjawab cepat, memotong kalimat Tya yang belum selesai. "Lo di mana, Ty? Biar gue jemput ya?"

Tya menggeleng, tapi kemudian menghentikan dirinya dan memukul kepalanya sendiri. Merasa bodoh karena menjawab dengan gelengan. Vhi mana bisa lihat! "Nggak usah. Nggak perlu dijemput. Kita ketemuan aja di cafe biasanya. Tiga puluh menit lagi gue sampai sana. Tya tunggu Vhi di sana."

***

Vhi sudah sampai di cafe tempat janjian mereka saat Tya datang. Tadi ojolnya nyasar ke gang sebelah dan Tya yang meleng tidak segera menyadarinya. Alhasil, mereka harus putar balik dan terlambat lima menit dari waktu janjian yang dia tentukan sendiri.

Vhi melambaikan tangannya saat Tya masuk ke dalam kafe yang masih cukup ramai meski sudah hampir jam sembilan malam. Dia lupa kalau ino adalah malam Minggu, saatnya muda mudi berbusana rapi saling bergandeng tangan memenuhi jalanan.

"Hai, sori gue telat." Tya menyapa sambil mendudukkan dirinya di kursi seberang Vhi.

Beberapa pasang mata menatap mereka penuh keheranan dan penghakiman. Mungkin sedang julid karena Vhi yang keren ternyata menunggu cewek plus size sepertinya. Ah, Tya tak peduli dengan hal itu sebenarnya. Asal tak dikatakan di depannya. Kalau sampai kejadian, ya siap-siap malu saja disemprot Tya karena reseh mengurus hidup orang lain.

"Santai. Gue juga baru dateng. Gue udah pesenin kopi buat lo." Vhi menujuk gelas berwarna coklat di depannya. Tya mengangguk, berterima kasih.

"Ty, lo ke mana aja, lo bikin gue kuatir tau nggak, dua hari nggak bisa dihubungi, nggak tau ke mana. Gue ...."

"Vhi ...." Tya memotong kalimat Vhi yang memberondongnya sekaligus. "Maaf, gue nggak bisa balas perasaan Vhi ke gue." Tya memulai. "Gue sayang ke lo, kok. Cuma, sayangnya  ke Vhi sama kaya sayang ke Mas Bumi. Gue nggak mau kehilangan Vhi, sebagai saudara dan sahabat. Tya sudah memilih untuk bersama Mas Yuga. Dan gue harap, Vhi hargai keputusan Tya ya?"

Terpaksa Menikahi Si Gendut (MYG)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang