🍓14. Curhat sama Vhi 🍓

2.5K 225 12
                                    

Vhi melempar pelan ponselnya ke sofa yang didudukinya. Usahanya untuk bangkit dan mandi kini berantakan. Dia sudah kembali duduk di atas sofa. Kali ini, dengan kening berkerut.

Mas Yuga mau nikah? Pikirnya terheran-heran. Emangnya dia punya pacar? Siapa?

Bagaimana Vhi tidak heran, setahunya, kakaknya itu adalah orang yang sulit dekat dengan perempuan. Bukan tidak ada yang mau. Secara fisik, penampilan Yuga cukup memanjakan mata, meskipun masih kalah dibandingkan dengannya. Namun, kakaknya terkenal sebagai pribadi yang dingin, cuek dan judes. Satu lirikan mautnya mampu membuat para gadis yang siap mendekat langsung lari kalang kabut.

Dan maminya sekarang berkata kalau kakaknya mau menikah?

"Siapa cewek apes calon istri Mas Yuga?" gumamnya terkekeh pelan. "Dahlah, mending gue mandi sambil nunggu jam kerjanya selesai."

Vhi beranjak mengambil handuk dan menuju ke kamar mandi untuk melakukan ritual bebersihnya.

***

Tya menyeret kakinya menuju kamar sehabis mandi. Handuk kecil masih melilit kepalanya untuk mengeringkan rambut sehabis mandi.

Ratih, bibinya sudah pulang ke Bandung, meninggalkan dia dan Bumi sendirian di rumah ini. Kebetulan malam ini Bumi juga belum pulang, meninggalkan Tya sendirian di rumah.

Walaupun sudah biasa hanya sendiri atau berdua dengan Bumi, tapi tetap saja rasanya sepi. Seandainya orang tuanya ... Tya menggeleng dan menepuk-nepuk pipinya untuk mengalihkan perhatiannya.

"Udah! Udah! Jangan mikir macem-macem!" Buru-buru dia mengeringkan rambutnya agar bisa rebahan dan tidur.

Hari ini capek sekali. Pekerjaan yang tiada habisnya dan gosip yang terus berhembus tentang hubungannya dengan Yuga seolah menguras energinya.

Maunya, dia cuek saja, tidak perlu dihiraukan hal yang semacam itu. Namun, Yuga juga tidak membantu. Interaksi mereka terus saja membuat gosip makin kencang terdengar.

"Ada-ada saja mereka, kaya nggak ada hal lain yang lebih penting buat diobrolin. Ngomongin piala dunia, kek! Mana nanti yang bakal menang, malah gosipin kehidupan gue!" Tya bersungut sebal.

Dia melepas handuk di kepalanya, lalu meraih ponselnya yang berada di atas meja untuk merebahkan diri di atas ranjangnya. Ini waktunya untuk memanjakan diri. Apalagi kalau bukan menonton drama kesukaannya atau sekedar menyecroll layar social medianya? Siapa tahu dia dapat inspirasi bagus dari kegabutannya itu, 'kan?

Namun, baru saja drama yang dia tonton mulai, layar ponselnya berubah menampilkan sebuah nama yang familiar di sana. Antara kesal karena me time nya diganggu dan senang karena orang ini menghubunginya lagi, Tya menggeser layarnya untuk menerima panggilan masuk itu.

"Halo," sapanya.

"Singkat amat, dah. Nggak kangen lo sama gue?" Suara renyah di seberang sambungan menyapa telinganya.

Tya mendengus. "Kangen jitakin elo. Lo katanya mau pulang, kok masih nyangkut di sana aja?"

"Kangen, 'kan lo sama gue. Ngaku, deh!" Suara orang itu terdengar senang.

"Mau lo! Ada apa lo telepon?"

"Kalo nggak ada apa-apa gue nggak boleh telepon lo? Ya udah, tutup, deh."

"Alah, Vhi. Lo ambekan, deh. Udah kaya cewe PMS aja, gue aja yang cewe nggak segitunya!"

Vhi terbahak di seberang. Tya tahu, sahabatnya itu hanya bercanda dan Vhi tidak akan marah hanya karena komentar seperti itu. Mereka sudah bersahabat sejak lama. Saking lamanya, mereka sudah mengenal satu sama lain dengan amat baik. Begitulah yang Tya kira.

"How's your day?"

Berat, jawab Tya dalam hati. "Yah, gitu, deh. Lo inget Mas Gilang, 'kan?"

"Atasan satu tim lo di kantor? Dia ngapain lo?" tanya Vhi dengan nada lebih tajam dari sebelumnya.

"Nggak, sih. Biasa aja, disuruh ini itu, disuruh laporan ke atasannya segala. Padahal 'kan itu tanggung jawab dia, bukan gue. Berasa dikerjain gue. Gaji staff, tanggung jawab ketua tim."

"Lo terlalu baik, sih. Jadi, sering dimanfaatin, deh. Coba, deh lo lebih teges lagi dan nggak sungkan buat nolak permintaan orang. Biar lo nggak repot sendiri nanti!" nasehat Vhi panjang lebar.

Kebiasaan yang sampai sekarang menurut Tya sama sekali tidak sinkron dengan penampilan Vhi yang cool dan menarik. Lucu saja menurutnya, ada cowok ganteng, tapi cerewet.

Tentang omelan Vhi barusan yang menyinggung kepribadiannya, Tya sama sekali tidak merasa begitu. Menurutnya, dia cukup vocal menyuarakan pikirannya. Hanya saja, ada saja alasan Mas Gilang untuk membuat Tya mengiyakan permintaan atasannya itu pada akhirnya.

"Sekip, sekip, deh. Jangan ngomongin gue. Sebel gue denger lo ngomel mulu. Tambah pusing kepala gue!" sungut Tya. "Bahas lo aja, deh. Ngapain lo masih di sana nggak pulang-pulang? Betah bener, hawanya."

Vhi terkekeh, senang mendengar omelan Tya. "Bentar lagi, tahan dulu kangen lo ke gue ...."

"Geli, tau!"

Vhi makin keras terbahak. "Gue punya kejutan buat lo nanti pas udah pulang Indonesia."

Tya merengut dengan kening berkerut. "Nggak usah aneh-aneh, lo!"

"Gue jamin lo pasti suka!"

Kernyitan kening Tya makin dalam. Apa yang sedang direncanakan Vhi sebenarnya?

***

Tya berjalan pelan memasuki kantornya sambil sesekali mengurut tengkuknya. Beberapa kali sendawa kecil terdengar dari mulutnya.

"Masuk angin gue, kayaknya, nih. Mesti gini, deh, kalo keramas malem-malem," gerutunya sambil manahan mual. "Mana perut begah banget rasanya! Pagi!"

Dia tersenyum saat berpapasan dengan beberapa teman kantornya dari tim lain. Tya terlalu sibuk dengan rasa begah di perutnya hingga tidak memperhatikan wajah rekan kerja yang berpapasan dengannya itu menjadi sedikit aneh saat melihatnya. Dia langsung masuk dan menghampiri Arin yang mejanya bersebelahan dengannya.

"Pagi, Rin!"

"Eh! Eh, udah dateng lo. Kenapa muka lo, by the way?" Arin sedikit kaget karena Tya sudah datang. Wajahnya antara panik dan curiga.

"Hm? Begah, nih, perut gue. Nggak enak banget rasanya. Mual juga. Masuk angin, kali, ya." Tya menjawab masih dengan wajah mengerut menahan rasa tidak nyaman di dalam tubuhnya.

"Hah? Perut lo nggak enak? Mual?"

Tya sedikit heran pada reaksi Arin yang menurutnya lebay sekali hari ini. "Apaan, sih. Lo lebay bener. Kaya nggak pernah liat orang masuk angin aja, Rin."

Arin meringis sambil tertawa canggung. "Nggak gitu, gue cuma kaget aja. Lo 'kan jarang sakit."

Benar juga apa kata Arin. "Gue ke pantry dululah, bikin yang anget-anget sebelum mulai kerja," putus Tya. Akan susah baginya untuk berkonsentrasi pada pekerjaannya kalau terus begini.

"Iya, iya. Buru, gih."

"Gue duluan, ya." Tya meraih ponselnya dan beranjak menuju pantry.

Segelas teh hangat dengan madu dan lemon mungkin bisa mengurangi penderitaannya saat ini. Tya membawa seduhannya itu ke meja pantry dan duduk di sana, menunggu minumannya sedikit dingin agar bisa diminum tanpa membayar lidahnya sambil menyecroll layar ponselnya menyimak group chat timnya. Biasanya, Mas Gilang akan menyapa timnya di sana, mengecek deadlines masing-masing, dan mendistribusikan pekerjaan baru.

"Lah, kok gue jadi mules, sih!" gumamnya. Tadi pagi memang dia belum sempat absen ke toilet karena begahnya ini.

Tya segera beranjak menuju toilet untuk menuntaskan hajat hariannya. Semuanya berjalan lancar, perutnya sedikit lebih lega sekarang. Namun, itu hanya bertahan beberapa menit saja. Terdengar pintu toilet terbuka disusul oleh beberapa suara rekan kerjanya.

Tya hendak keluar saat ucapan salah seorang dari mereka membuat tubuhnya kaku dan matanya terbelalak tak percaya.

What? Apa-apaan mereka, sih?

Terpaksa Menikahi Si Gendut (MYG)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang