🍓50🍓

1.6K 142 14
                                    

Pagi ini Tya masih terlelap, sementara Yuga sudah membuka matanya. Pria itu menatap sang istri yang terlelap di tempat tidur. Tanpa sadar kemudian tersenyum. Ada perasaan aneh beberapa hari ini. Saat itu Tya menggeliat membuat Yuga segera memejamkan matanya lagi.

Tya terbangun, ia segera berdiri, berjalan menghampiri Yuga. "Mas, bangun. Pindah ke kasur sana." Tya tak tega karena semalaman pria itu tidur di sana. Dan memang selalu seperti ini setiap paginya.

Yuga pura-pura tersadar, ia menggeliat, lalu mengusap matanya. "Udah bangun kamu?"

"Iya udah, pindah ya biar badannya enggak sakit," kata Tya penuh perhatian, plus tatapan mata yang cemas.

Yuga tahan senyum, tingkah Tya itu menggemaskan sekali menurutnya. Yuga kemudian memegang bahunya yang memang sedikit terasa sakit. Tya duduk di samping Yuga lalu memijatnya. Yuga tahan senyum daoat perhatian dadakan itu.

"Aduh sakit banget," keluhnya.

"Enggak usah ke Bali aja ya Mas? Kamu sakit gini."

Yuga segera menoleh ke belakang, menatap Tya. "Aku udah pesan tiket. Enggak bisa batal Ty."

Tya tak tersenyum, dia benar-benar cemas. "Tapi kamunya sakit Mas. Aku enggak mau kamu tambah sakit."

Duaaarr! Yuga rasanya ingin meledak menahan kegemasan dalam hatinya. Tak kuat dapat perhatian yang menggemaskan. Sejak kapan Tya jadi menggemaskan seperti ini? Sejak kapan dia dag dig dug tiap kali lihat Tya? Gila sih, tapi Yuga mendadak gila memang.

"Ekhm, ekhm, uhuuukk! Uhuukkk!" Yuga batuk sambil menepuk-nepuk dadanya yang bergemuruh. Mencoba menutupi perasaannya yang menggila.

"Tuh kan pakai batuk segala. Istirahat di tempat tidur dulu sana. Aku makan sarapan ya." Tya bangun kemudian mengulurkan tangannya.

Yuga menatap sesaat, sampi kemduian menggapai tangan Tya, mengubah mimik wajahnya menjadi selemas mungkin. Sialan, dalam hatinya memaki diri sendiri. Ia meruntuki sikapnya yang mendramatisir, tapi sikap Tya seperti ini tak mungkin ia sia-siakan.

"Kamu mau ngapain?" tanya Yuga sambil merebahkan tubuh.

Tya menyelimuti, kemudian pegang kening Yuga. "Aku mau buat sarapan. Mau apa? Soto ayam mau? Kemarin kan ada ayam ungkep dari mami Mas."

"Apa aja asal buatan kamu aku mau."

"Ya udah, aku masak. Kamu di sini ya, rebahan, rehat. Oke?"

Yuga tak bisa tahan otot-otot bibirnya yang berlomba berlari ke atas. Dia hanya anggukan kepala malu-malu. Tya tak menyadari itu, dia pikir Yuga memang seaneh itu. Padahal Yuga sendiri tidak mengerti kenapa dia jadi seperti ini.

***

"Sampai kapan mau kayak gini kamu?" tanya Nindy pada Vhi.

Kini tengah menikmati sarapan berdua, karena sang nenek tengah pulang kampung menyenangkan diri katanya.

"Aku butuh waktu untuk terima semua." Entah sampai kapan Vhi akan terus keras kepala. Dia masih belum bisa menerima semua.

"Ya makannya mami tanya sampai kapan? Kamu harus belajar ikhlas."

"Mi, tolong dong. Aku juga enggak tau sampai kapan. Aku masih sulit buat terima, semua terlalu tiba-tiba buat aku." Vhi jelas saja merasa sulit karena dia memiliki harapan yang besar saat kembali dari Australia bisa menjalin hubungan dengan Tya.

"Kamu harus mencari orang lain. Harus ada orang yang menggantikan supaya kamu bisa move on." Nindy mencoba memberi saran, tapi apakah itu bisa diterima oleh putra bungsunya itu?

"Aku itu bukan tipe orang yang gampang jatuh cinta sama orang mami. Aku selama ini suka sama dia udah dari lama banget. Udah bertahun-tahun, dan aku niat untuk nyatain itu ketika aku kembali. Tapi nyatanya begitu aku kembali ke sini malah dapat kabar duka. Aku minta tolong ke mami. Nggak usah tanyain masalah ini lagi, aku lagi berupaya supaya bisa handle perasaan aku sendiri." Vhi lalu segera bangkit dari duduknya dan berjalan menuju kamar. Belakangan lebih sering di rumah dan mengurung diri karena ia pun malas untuk bertemu atau berinteraksi dengan orang lain.

Sampai di kamar pria itu kemudian duduk di tempat tidurnya. Pria itu kemudian mengambil ponsel yang berada di sampingnya. Vhi kemudian menekan tombol dan menghubungi Tya.

"Ya vhi?" Sapaan terdengar.

"Halo lagi ngapain?"

"Halo gue lagi masak. Lo udah sarapan atau belum?"

Vhi tersenyum, rasanya senang sekali mendapat perhatian kecil seperti ini yang selalu diberikan oleh sahabatnya itu. "Udah kok, pagi-pagi tadi Mami udah masak nasi liwet ada juga ayam goreng. Kalau Lo udah sarapan belum?"

"Ini gue lagi bikin soto. Tinggal nungguin matang aja sih, soalnya mas Yuga lagi nggak enak badan."

Jujur saja mendengar itu membuat perasaannya bergejolak lagi. Sepertinya cara yang paling tepat memang menjauhi Tya, hanya saja benar-benar terasa berat untuk dirinya.

"Enaknya jadi dia. Bisa dapat perhatian dari lo kayak gini."

"Vhi ...," Lirih Tya, sejujurnya dia benar-benar ingin membatasi pembahasan perasaan sahabatnya itu.

"Gue kan cuman ngomong aja. Lo nggak usah terlalu mikirin juga sih. Tapi ya, tumben banget kakak gue itu sakit. Jujur dia memang dari dulu itu paling jarang sakit."

"Kayaknya dia kecapean deh. Soalnya kan masih harus ngurusin kerjaan dan kemarin juga Kita Nikah tuh semua serba dadakan. Jadi, tenaganya itu kayak terkuras gitu loh. Gue juga ngerasa capek banget kemarin." Tya berpikir seperti itu karena dirinya pun juga merasa kelelahan setelah acara pernikahan tempo hari. Apalagi, Yuga juga harus mengurus event yang akan dilakukan perusahaan.

"Ya udah, kalau gitu lo lanjutin aja masaknya. Jangan sampai sayurnya jadi gosong karena nerima telepon dari gue."

"Iya, gue ngelanjutin masak dulu ya. Bye Vhi," kaya Tya kemudian mematikan panggilan.

"Siapa?" tanya Yuga.

"Kok kamu bangun Mas?" tanya Tya.

Yuga berjalan mendekat, lalu duduk di kursi makan. "Aku udah enakan. Siapa yang telepon kamu?" Yuga bertanya karena penasaran. sebenarnya dari jauh dia sudah merasa Kalau mungkin saja yang menghubungi sang istri adalah adiknya.

Tya menatap sekilas, sebenarnya jadi bingung juga karena ada bicara Yuga yang terlihat aneh menurutnya. "Tadi dari Vhi. Kenapa Mas?"

Yuga hanya menggelengkan kepalanya. Perasaannya menjadi aneh, jelas dia merasa cemburu karena keakraban yang terjadi di antara keduanya. Hanya saja, dia masih mencoba untuk menolak itu.

"Sebentar lagi sotonya mateng." Tya mengatakan itu kemudian duduk di kursi yang berada di samping Yuga.

Yuga menatap Tya. "Kamu bisa kan jauhin vhi dulu?"

"Aku kan memang udah nggak terlalu dekat lagi sama Vhi, mas?" Tya mencoba mengingatkan karena memang ia sudah tak terlalu dekat seperti dulu kepada sahabatnya itu.

Yuga tau, hanya saja ia terlalu cemburu.  Pria itu menatap Tya, keduanya saling tatap. Yuga menatap ke arah bibir Tya. Ingin mencumbu bibir merah muda itu.

"Mas?"

"Ya?" sahut Yuga.

"Muka kamu merah."

Terpaksa Menikahi Si Gendut (MYG)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang