Hey Feyya

3.2K 189 19
                                    

Pagi ini keluarga wijaya sedang menyantap sarapan paginya tanpa Anak sulung laki-lakinya. Tidak ada satupun dari mereka yang berbicara, itu sudah menjadi peraturan keluarga wijaya. Tidak boleh ada yang berbicara ketika makan.

"Eya sudah selesai sarapannya." anak bungsu perempuan yang memanggil dirinya dengan sebutan 'Eya' meletakkan garpu dan sendoknya. Lalu meminum segelas susu yang sudah disiapkan di samping piringnya. Setelah itu berdiri dari bangkunya dan menyandang tasnya.

"Loh-, Udah mau berangkat? Gak nunggu kak Gilang dulu sayang?"

"Gak mi, Eya naik go-car aja. Kak Gilang kan udah gak ada matkul mi."

"Tapi, biar diantar kak Gilang aja ya. GILANG!!" teriakan mami bergema diseluruh sudut rumah besar itu.

Tak lama yang dipanggil turun dari tangga. "Mami teriaknya biasa aja dong." ucapnya lalu mengambil susu yang menganggur di atas meja makan dan meminumnya.

"Ayo, nanti kamu telat lagi."

"Tapi gak apa-apa kak Gilang Cuma anterin aku aja?"

"Kakak sekalian mau ketemu pak Bambang buat bimbingan."

Feyya menganggukkan kepalanya. "Kalau gitu Eya sama kak Gilang berangkat ya Pi--Mi."

"Hati-hati ya lang bawa mobilnya." ucap sang Papi.

Gilang dan Feyya tidak lupa untuk cium tangan kepada kedua orang tuanya sebelum akhirnya berangkat kuliah.

  ̶»̶ ̶̶̶ ̶ ̶ ̶̶̶ ̶»̶ ̶̶̶ ̶ ̶ 

Selama diperjalanan menuju kampus tidak ada satupun dari Gilang maupun Feyya berbicara. Bukan karena mereka tidak begitu akur, melainkan turun-temurun sifat itu diturunkan dari Papinya. Gilang dan Feyya memang tidak banyak bicara sama dengan Papinya. Kalau bisa dibilang ketika di rumah mungkin hanya suara Maminya saja yang terdengar. Ketika mengandung Feyya, Mami berharap anak perempuannya nanti akan mengikuti DNA miliknya. Tapi, hampir semua DNA di turunkan dari suaminya itu-.

"Kamu nanti pulang jam berapa?" suara Gilang memecahkan keheningan tepat saat mereka sudah memasuki lingkungan kampus.

"Hm... mungkin sore kak. Aku ada kegiatan klub melukis nanti siang."

"Kamu jadi masuk klub melukis?"

"Iya kak."

Gilang menganggukkan kepalanya mengerti. Mau bagaimana pun Feyya tidak bisa dipisahkan dari kegiatan itu---Feyya mulai menyukai melukis sejak SD. Ketika dia hanya menggambar dengan crayon, lalu semakin lama Feyya menekuni melukis hingga sekarang.

"Kak Gilang pulang duluan aja. Eya nanti pulang bareng Ghina kok."

"Ghina yang rambut pendek itu?" Tanya Gilang seraya mengingat teman pertama Feyya yang dia kenalkan kepadanya.

"Iya."

"Yaudah, kamu hati-hati ya pulangnya."

Mobil SUV yang mereka tumpangi sudah memasuki parkiran. Gilang menarik rem tangannya lalu membantu Feyya membuka seatbelt-nya. Feyya tersenyum kecil kepada kakaknya itu. Dia sangat mengagumi sikap Gilang terhadapnya. Walau kakaknya itu terlihat sangat cuek dan tidak banyak bicara tapi dia selalu perhatian kepada dirinya.

"Makasih kak Gilang"

"Iya.. yaudah kamu masuk kelas gih. Nanti telat-,"

Feyya mengangguk lalu mencium tangan Gilang sebelum akhirnya keluar dari mobil. Suara ringtone chat masuk terdengar. Sambil berjalan, Feyya merogoh tasnya untuk mengambil HPnya. Tanpa sadar sebuah kendaraan mengarah padanya-,

Shoot Me StraightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang