EPILOG ㅡ Kepercayaan

796 63 11
                                    

Feyya menatap sosok yang tengah membeli teh botol pada pedangang kaki lima. Setelah meminta izin kepada Adrian untuk membawa dirinya. Arvin membawa dia ke Taman Menteng, yang tidak begitu jauh dari rumahnya.

Arvin juga bilang agar sedikit bisa lebih lama dan menghantarnya dengan tepat waktu. Memang Arvin ingin punya waktu berdua saja dengan Feyya. Karena ia tidak punya seseorang yang lain, yang mengerti dirinya seperti Feyya mengerti dirinya.

Arvin berjalan menghampiri Feyya dengan senyumnya, kedua tangannya memegang teh botol.

"Ini Fey."

"Thanks Kak."

Feyya menerima teh botol itu, lalu Arvin duduk disampingnya. Arvin melipat satu kakinya seraya menyesap teh botolnya. Ia sedikit bingung bagaimana cara membuka topik pembicaraan, padahal dia sendiri yang mengajak Feyya.

Feyya mengedarkan pandangan keseluruh sudut Taman Menteng di sore hari ini. Lagi-lagi ini adalah pertama kalinya Feyya datang ke taman ini. Padahal kalau dari rumahnya hanya 8 menit dengan berjalan kaki. Cukup dekat.

Suasana disana cukup ramai dengan anak-anak kecil yang bermain bersama Ibunya, ada juga pasangan yang tengah asik menikmati suasana sore ini. Dan disini Feyya dan Arvin duduk di salah satu bangku taman, terdiam dengan pikiran masing-masing.

Feyya enggan untuk membuka topik, biarlah pria itu yang membuka pembicaraan terlebih dahulu.

"Sorry, tiba-tiba muncul di depan rumah kamu." Suara Arvin terdengar sangat pelan namun telinga Feyya menangkap ucapannya itu.

Feyya menoleh pada pria itu. Begitu juga dengan Arvin yang akhirnya memberanikan diri untuk menatapnya.

"Gue gak tahu lagi harus pergi kemana." Perkataan Arvin menimbulkan tanda tanya di kepala Feyya. Satu sudut bibir Arvin tertarik membentuk senyuman tipis. "Cuma lo yang ada dipikiran gue sekarang."

"Ada apa kak? Kakak baik-baik aja kan?"

Satu tarikan napas terdengar. "No. I'm not okay Fey." Pria itu menengadahkan kepalanya, melihat langit yang semakin menjadi gelap. "I feel slowly dying."

Feyya menegakan badannya.

"So, what happened to you?" Feyya menunjuk tangan Arvin yang terperban.

"Ah ini? Gue abis mecahin cermin di kamar mandi." Arvin tersenyum. Tidak dengan Feyya, Feyya menatap Arvin dengan empati. Ia tidak tahu apa yang tengah dialami pria yang dulu menyukainya itu. Tapi yang ia tahu pasti bahwa pria ini cukup menderita.

"Omaㅡmasuk ICU Fey."

"Oma?"

Arvin mengangguk. "Nenek gueㅡyang ngebesarin gue dari bayi. Sakitnya kambuh, abis pulang makrab gue di telpon sama mbak kalau Oma jatuh di kamar mandi."

"Padahal Oma baru sembuh dari strokenya. Sekarang malah kembali stroke, dan dirawat di ICU karena Oma belum juga sadar sampai sekarang." Arvin menunduk sangat dalam, bermain dengan jari-jari tangannya. Setetes air mata terjatuh membasahi tangannya itu.

Feyya menggigit bibir bawahnya. Tubuh Arvin bergetar, Feyya tahu pria itu tengah menahan tangisnya. Feyya menggeser tubuhnya mendekat, melingkarkan tangannya pada tubuh bergetar pria itu. Memeluknya cukup erat, Feyya menopang dagunya pada bahu Arvin seraya tangannya mengusap punggung Arvin.

Tindakan itu tanpa disangka membuat pria itu semakin mencurahkan tangisnya. Arvin menangis dalam diam. Feyya tahu itu, karena ia merasakan sesuatu membasahi bahunya.

"Oma bakal baik-baik aja Kak."

"Engga Fey. Sampai sekarang Oma belum membuka matanyaㅡdokter bilang gue harus kuat menerima kemungkinan yang terburuknya."

Shoot Me StraightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang