05

3.3K 159 4
                                    

Sesampainya di rumah, gue menuntun Ify ke kamar. Dia masih sedih lantaran mengingat adanya anak di dalam rahimnya. Gue bukannya gak tau, jelas sangat tau. Dan gue juga merasakan hal yang sama.

"Lo mau makan?". Tanya nya pelan. Gue menukar baju di hadapannya. Hal yang sering gue lakukan di hadapan Ify.

"Enggak. Lo mau makan?". Dia menggeleng pelan. Sorot matanya memandang sendu ke arah jendela. Gue menghampiri dia dan menyentuh pundaknya lembut.

Kayaknya dia mudah terkisap dengan sentuhan tiba-tiba gue. "Apa gue selalu buat lo terkejut?".
Dia menghela nafas panjang.

"Enggak. Sorry. Refleks, i guest!". Kata nya santai. Gue meremas pundaknya menyalurkan setitik dorongan positif agar dia tidak sedih lagi.

"Gue mau bicara". Dia menoleh ke gue meminta penjelasan.

Gue menarik nafas sebentar menyiapkan kata - kata yang pas " Gue minta maaf, Fy".

"Gue minta maaf atas segala sikap gue yang gue lakukan ke elo selama ini, sampai kita menikah lo masih mendapatkan perlakuan yang gak baik dari gue--". Dia masih menatap gue dalam.

"Gue tau kalau maaf ini mungkin gak akan berarti untuk lo. Lo pasti berpikir kalau gue pencitraan. Haha, lucu".

"Gue mau kita baik-baik aja. Baik-baik dalam arti sesungguhnya, gue sama lo layaknya seperti suami istri pada umumnya. Tolong jangan ungkit lagi pernikahan yang hanya di atas kertas itu. Karena gue gak suka mendengar nya". Tatapan Ify tak lepas dari pandangan gue. Dia tersenyum kecil dan menarik ujung kaos yang gue pakai.

"Tapi--".

" Gue sama Alista gak ada hubungan apapun, Fy. Kami selesai!". Kata gue menyuarakan apa yang menjadi buah pikir Ify.

Dia menunduk dan kembali bergetar "Gue takut, Bang. Gue takut kalau Kak Alista marah sama gue. Pasti dia mikir kalau gue ngerebut elo dari dia--". Gue mendengus mendengar keluhannya.

"Alista gak tau kalau gue udah nikah sama lo, gak ada temen-temen gue di kampus yang tau. Kecuali temen gue di cafe. Tempat gue kerja".

" Lo kerja?". Tanya polos. Gue terkekeh lalu mengangguk. Karena terlalu lama bertumpu pada lutut, gue pun duduk di sebelahnya.

"Gue masih takut aja, Bang--".

" Takut apa Ify? Gak ada yang tau soal pernikahan kita. Kecuali, mungkin ketiga temen lo itu--". Praktis Ify mengangguk.

"Haa kecuali mereka. So, apa yang lo takutin? Kita jalanin semua nya berdua. Gak mungkin gue gak ngelindungin elo, gak mungkin gue gak bertanggung jawab atas elo". Kata gue lagi.

" Kenapa tiba-tiba lo mau berubah, Bang? Apa yang membuat lo berubah pikiran?".

"Gue ngerasa ini udah gak bener. Pernikahan seharusnya gak seperti ini. Gue,, dari awal gue ingin mengubah diri. Meskipun menolak, tapi lambat laun semuanya akan terjadi. So ya, kenapa enggak untuk berubah duluan? Toh, untuk lebih baik lagi". Kata gue masih ber usaha membuat Ify paham.

"Maafin gue juga. Maaf atas sikap cuek gue. Sebenernya, gue gak boleh gitu. Ibu pernah bilang, kalau suami bersikap acuh, istri tetap harus bersikap lembut. Tapi gue malah bersikap lain". Katanya menunduk lirih. Gue tersenyum lalu membawanya kepelukan gue. Gue tau dia sedikit kaku, entah karena gugup atau apa.

"Jangan pernah bilang kalau pernikahan kita sebatas kertas, Fy. Jangan pernah pergi dengan lelaki lain selain gue, atau tanpa seizin gue. Kita mulai mencoba kehidupan baru, setidaknya hormati pernikahan ini. Gue mohon". Gue merasakan jika Ify mengangguk dalam dekapan gue. Akhirnya gue dan dia bisa berdamai. Bendera putih itu berkibar setelah sekian lama terabaikan.

OppositeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang