Ify side's ya gaes...
.
.
.
.
.
.
.
.
.Sesampainya dirumah, gue memberikan bisukuit asin dan perment mint ke Rio. Dia masih lemah dan terkapar di kasur. Gue menghela nafas panjang, sedikit bingung dengan keadaan nya. Mau tak mau gue harus menghubungi ibu. Gue pun ambil ponsel dan mendial nomor yang udah lama gue hafal.
"Hallo assalamu'alaikum, ibu".
" Waalaikumsalam, Ify. Kenapa Nak?".
"Ibu dimana?". Tanya gue.
"Ibu baru aja sampai di Jakarta". Gue mendelik tak percaya, ibu ada disini. Tapi gak ngasih tau gue? Huh jahatnya.
" Kok gak bilang kalau Ibu ke Jakarta? Ada acara apa Bu?". Tanya gue kepo.
"Ibu mau reunian sama temen-temen waktu kuliah dulu. Deket kok sama kampus kamu--".
" Ya kenapa gak bilang kalau mau datang, Bu? Kan bisa aku sama Bang Rio jemput Ibu di bandara". Kata gue memotong ucapan ibu.
"Tadinya ibu mau ngabarin, eh kamu udah nelfon ibu duluan". Heula emak gue.
" Terus ibu ke sini sama siapa? Sama bapak kan?".
"Iya sama bapak--".
"Ify tunggu di rumah ya, Bu. Hati-hati, assalamu'alaikum". Kemudian gue meletakkan ponsel. Ada untungnya juga ibu sama bapak ke sini. Gue bisa 'ngasuh' bayi besar ini sama ibu. Gak kuat coeg, badannya segede gaban gitu.
" Eugh, hueekk". Rio memuntahkan isi perut nya di lantai kamar. Praktis, gue langsung memijat tengkuknya. Membaluri dengan minyak kayu putih agar Rio sedikit mendingan.
"Minum dulu Bang". Gue memberikan segelas air putih untuknya. Dia masih meringis kesakitan, peluh membanjiri kening dan lehernya. Fix dia bener-bener gantiin gue. Ehe.
" Apa nya yang sakit? Bilang coba". Kata gue lembut sembari mengusap punggungnya. Rio memeluk tubuh kecil gue yang tengah berdiri ini.
"Perut gak enak. Kepala sakit gitu, Fy". Adu nya dengan suara serak, efek muntah-muntah. Gue mengangguk paham lalu memberikan teh hangat yang sengaja gue letakin di meja kamar.
"Tiduran aja dulu, aku buatin makan malam sebentar ya--".
" Mau nasi goreng Fy". Pintanya bak anak kecil ditambah lagi raut wajah memelas dan tatapan memohon. Gue tak kuasa untuk tak tertawa. Lucu banget deh suami gue. Jadi makin sayang, ehe.
Gue menepuk pelan pipinya "iya, dibuatin. Harus dihabiskan tapi ya!". Dian mengangguk patuh. Setelah membersihkan lantai yang menjadi wadah muntahan Rio, gue pun bertempur di dapur. Mengingat ibu dan bapak akan datang, gue mau masak ikan goreng aja. Untung udah restock keperluan dapur.
Tak sampai sejam, gue udah selesai memasak. Membawa sepiring nasi goreng ke kamar agar Rio bisa makan.
"Bang, bangun! Ayo makan dulu". Gue lihat Rio masih pucat dan lebih tak bertenaga. Gue meng angsuran satu sendok nasi goreng ke mulutnya.
" Enak gak?".
"Enak kok--".
" Dihabisin ya!".
"Iya". Gue rasa Rio laper campur doyan deh. Tapi gak jamin setelah ini dia bakalan muntah lagi. Terbukti disuapan ketiga dia kembali muntah. Untung aja dia gak muntah di kasur. Bisa repot gue.
Rio menahan berat tubuhnya di wastafel, membasuh wajah dan mengeluarkan isi perutnya. Seketika gue mengelus perut yang masih rata ini.
Niat banget kamu mau nyiksa papa sendiri, Nak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Opposite
ChickLitKepulangan akhir tahun menjadi hal yang dinantikan oleh mahasiswa perantauan, hal itu yang dirasakan oleh Saifyla Tanjung. Ia memutuskan pulang sejenak untuk merehatkan bathin dan fisiknya selama satu bulan. Tapi belum sampai satu minggu, ia harus d...