Gila aja gue males ngetik di lapak baru, pengennya nulis kelanjutan kisah si kecambah idup di lapak ini aja. ala-ala extra part biar pada puas. Huehehe. Entah ada yang masih baca ataupun enggak, ya gak tau lah ya. Yang jelas, menulis adalah sebagian kebutuhan lahiriah gue juga ketika waktu kosong 😂🤭
***
Adrian tiba dirumah dengan perasaan bercampur aduk. Hatinya bersorak bahagia ketika menemukan titik terang dari rasa yang selama ini terkubur dan akhirnya bersinar kembali. Tapi di sisi lain, ia mengutuk rasa itu. Rasa yang entah kapan sirna nya kepada pemilik yang tidak bisa ia genggam lagi. Sosok yang sudah memiliki kehidupan sendiri bersama hati yang menjadi pelabuhan terakhirnya. Sementara dirinya, masih begitu-begitu saja.
"Ahhh sialan!". Umpat nya. Ia menatap cermin dan menampakkan pantulan gagah dari tubuh nya. Mapan, sukses, tampan, hampir berkepala empat namun masih betah melajang. Ia benar-benar mengutuk dirinya sendiri yang belum bisa mengenyahkan Ify di hati dan pikiran nya.
"Kenapa mereka kuliah disini? Apa Ify gak tau kalau gue ngajar disini?". Andrian mencoba menerka-nerka peristiwa dihari ini. Ia mencoba menyusun benang yang tidak tau entah sejak kapan kusut begitu saja.
Tanpa pikir panjang ia menghubungi seseorang dan memintanya bertemu malam itu juga.***
"Kenapa ya Bang, kok Pak Adrian kaget gitu pas kita nyebut nama mama dan papa?". Alika bertanya dengan rasa penasaran nya. Ada hal yang mengganjal bagi nya ketika tadi mereka menyebut nama kedua orang tua mereka.
Malik mengedikkan bahunya tak tau, ia tak mengambil pusing seperti yang adiknya pikirkan. "Gak penting lah! Mungkin dia cuma kaget biasa aja. Toh, siapa yang gak nyangka kalau anak temennya kuliah di tempat dia ngajar kan? Manusiawi kok!". Kata Malik.
Alika turut mengangguk setelahnya "Tapi ya, beliau itu baik deh kayaknya. Ramah gitu pas kita ngobrol tadi".
Malik mendelik kepadanya "First impressions ya gak masalah dong. Biar dia gak di cap dosen killer sama maba kayak kita". Lanjut nya.
"Abang kenapa sih kok sinis mulu jawabnya? Alika cuma muji doang loh". Katanya melempar gas pada Malik. Pemuda itu malah tertawa melihat adiknya.
"Kenapa kamu ngegas sih? Perasaan abang biasa aja deh!". Alika mencibir.
" Taulah! Aku telfon papa dulu". Ia pun beranjak ke depan mengambil ponselnya yang tertinggal di depan televisi.
Sedangkan Malik menggeleng heran melihat sikap Alika.
Sekeluarnya Alika, senyum Malik luntur dan menampilkan wajah datarnya. Feelingnya dan Alika jarang meleset. Jadi, apapun yang Alika pikirkan tentang keluarga mereka akan sama dengan apa yang dirinya pikirkan.
Artinya, ia punya firasat yang agak mengganjal sama seperti Alika sebutkan tadi. Malik berharap semua itu hanya angin lalu semata.
***
Shilla dan Viana menatap datar kearah Adrian yang meminta mereka datang. Sebenarnya yang di minta datang adalah Viana, tapi wanita itu merasa butuh teman lain untuk mendampingi nya bertemu dengan masa lalu sahabat mereka itu.
"Jadi, apa gunanya kami disini Pak Adrian?". Tanya Viana. Adrian menghela nafas berat. Semenjak Ify tak lagi di kampus dan ia mendaftarkan diri menjadi tenaga pendidik di Universitas tempat menimba ilmu dulu. Ia tak pernah lagi mendengar kabar tentang Ify. Meminta informasi dari kedua wanita dihadapan nya saja ia enggan. Jangan kan itu, mengobrol saja rasanya malas. Tapi malam ini, dengan kerendahan hati ia melunturkan egonya.
"Kita gak tau ya, maksud bapak meminta kita ketemu disini ngapain. Jujur ini udah malem. Anak saya di rumah butuh saya soalnya". Tambah nya kesal. Adrian mengerang didalam hati.
"Ify". Tiga huruf itu membungkam keduanya.
"Kenapa dengan Ify?". Tanya Shilla.
"Di.. Dia dimana sekarang?". Sebenarnya bisa saja Adrian menanyakan langsung kepada Malik dan Alika, tapi karena terlalu stock bercampur gengsi ia mengurung kan niat.
"Ify di Batam. Dia tinggal disana sekarang". Kejutan untuk nya lagi, Adrian kira mereka tidak akan memberi tau informasi sekecil itu kepadanya.
"Ha?".
"Iya! Dia tinggal dengan suami dan anak-anak nya disana".
"Bukannya anak-anak Ify kuliah disini?". Shilla dan Viana saling pandang dan tersenyum kecil.
"Jadi bapak udah bertemu dengan mereka?--".
"Stop ngomong formal dengan gue! Ini bukan lagi jam kampus!". Adrian kesal.
"Heh dasar manusia!". Desis Shilla. Adrian mendelik tak suka.
"So, tujuan lo minta gue datang bareng Shilla cuma nanyain itu doang?". Berganti lah panggilan bapak tadi menjadi 'elo'.
"Gue ketemu mereka, dan mereka mahasiswa di kelas baru gue.
"Ya wajar, namanya juga mereka kuliah disini. Sistem yang ngatur mereka bakalan ketemu dengan dosen siapa aja. Apa yang lo permasalahkan?". Sambar Shilla.
"Gue melihat Ify di diri Alika". Aku Adrian.
"Ya iyalah! Alika itu anak kandung Ify. Beda ceritanya kalau lo lihat mantan lo di diri Alika". Kata Shilla lagi. Adrian menggeram kesal mendengar nada sinis dan cerewet Shilla. Dosen kimia yang kata nya baik seantero mahasiswa FMIPA.
"Sudah sudah! Intinya lo rindu Ify kan? Lo masih belum move on karena perasaan terlambat lo itu tertuju untuk Ify. Jadi, ketika lo ketemu Alika yang notaben nya anak Ify dan mirip Ify lo langsung Dejavu. Right?".
Adrian mengangguk lemah.
"Move on, please! Jangan sampai karena perasaan lo gak berbalas dulu nya hanya karena terlambat mengakui, lo jadi berpaling ke anaknya. Ke Alika. Dia masih anak-anak tau gak!". Perkataan Viana sukses membekukan seluruh saraf Adrian. Sangat tepat sasaran sekali.
"Lo diem begini, gue dan Shilla makin curiga! Gak usah nambah daftar pedofil deh, Dri!". Adrian merasa tertampar.
Tanpa pikir panjang kedua wanita itu meninggalkan nya.
Sekelebat memori terakhirnya bersama Ify bermain bagaikan kaset rusak yang terus di ulang-ulang. Sesak itu kembali mengetuk, tanpa permisi dan menertawakan nya. Hingga kepada pilu lah ia bercerita. Bercerita tentang rasa yang tak mampu bersua bersama dia yang terlambat di damba.
***
See you on top
#SalamAnakRantau
KAMU SEDANG MEMBACA
Opposite
ChickLitKepulangan akhir tahun menjadi hal yang dinantikan oleh mahasiswa perantauan, hal itu yang dirasakan oleh Saifyla Tanjung. Ia memutuskan pulang sejenak untuk merehatkan bathin dan fisiknya selama satu bulan. Tapi belum sampai satu minggu, ia harus d...