Holaa... Ketemu lagi ama Xiu Min 🤗😃
Let's read and vote 😉Angin topan menghentikan langkahnya. Tatapannya bersirobok dengan tatapan Cuhn an. Dengan jelas dirinya bisa melihat air mata yang menggenang di kedua pelupuk mata wanita tersebut. “Persetan. Aku tidak bisa terus berdiam diri di dalam sini.” Ujar Angin Topan dengan nada kesal.
“Kalau begitu ijinkan aku untuk ikut.” Cuhn an berucap dengan suara bergetar. Dia belum siap untuk kembali melanjutkan hidup seorang diri. Seluruh anggota keluarganya telah tiada karena pembantaian masal beberapa hari yang lalu. Ketakutan di dalam dirinya begitu kuat, dirinya masih bisa mengingat dengan jelas kepulan asap hitam yang membubung tinggi di atas langit. Api berkobar dengan ganasnya meluluhlantakkan rumah-rumah penduduk. Para gadis di ikat kemudian di bawa paksa dengan cara di gotong layaknya babi guling. Mayat-mayat tak bersalah tergeletak dengan luka bakar di sekujur tubuhnya. Di antara deretan peristiwa mengerikan yang ia saksikan kematian kakaknya lah yang ia yakini paling mengenaskan. Tubuh kakaknya yang masih terikat di gantung paksa di depan peraduan dengan kedua matanya yang membelalak juga lidahnya yang terjulur. Kengeriannya semakin menjadi ketika teringat kucuran darah yang mengalir dari organ inti kakaknya. Semua urutan kejadian tersebut terekam jelas dalam ingatan Cuhn an.
“Tidak! Sudah cukup dirimu merepotkanku. Aku telah mengangkatmu dari dalam sungai, menggali kuburan kakakmu juga mencarikanmu pakaian layak. Misiku untuk menolongmu telah usai, kau tidak bisa ikut denganku.”
“Tapi misiku untuk membalas kebaikanmu belum di mulai. Ijinkan aku untuk tetap ikut, aku bisa menjadi seorang mata-mata yang baik untukmu. Aku mengetahui jalur tercepat untuk menuju pegunungan batu.” Cuhn an memaksa untuk tetap ikut.
Angin Topan goyah mengetahui Cuhn an tahu jalur tercepat untuk menuju pegunungan batu. “Ayo, tunjukkan jalan itu.” Katanya. Keduanya segera mematikan api unggun yang sebelumnya mereka buat. Dalam pekatnya malam mereka melangkah menuju bantaran sungai. Sebuah rakit tersandar di dekat tiang jembatan, tidak membuang kesempatan mereka menggunakan rakit tersebut untuk menyusuri sungai.
Selang beberapa jam Angin Topan juga Cuhn an telah menepi di pinggiran sungai yang terletak di tengah-tengah jajaran pegunungan batu. Mereka berjalan ke arah barat melintasi pegunungan yang penuh akan tumbuhan hijau. Daratan di sekelilingnya berupa tebing-tebing batu yang memiliki puncak curam. Hutan belantara membentang di sisi sungai yang airnya tampak keperakan membiaskan cahaya bulan. Mereka berdua berjalan dalam kegelapan hutan yang begitu pekat. Pada malam hari pepohonan bagaikan raksasa penghuni bumi yang bertubuh gelap. Mereka terus mendaki lereng pegunungan yang membentang luas di hadapannya. Menghiraukan rasa penat juga suara hewan pemangsa yang terus mengaum di kejauhan.
“Achhh…” Cuhn an tiba-tiba saja memekik. Ia berjongkok sambil menyibakkan kain hanfunya. Angin Topan yang tadinya berjalan tepat di belakangnya segera menghampiri. “Ada apa denganmu?”
Cuhn an meringis. “Kurasa ada sesuatu di kaki kananku.”
Dengan kecepatan menakjubkan Angin Topan mengeluarkan pemantik dari buntalannya. Ia membuat api kemudian mengarahkannya pada kaki jenjang Cuhn an. Ada kepanikan pada raut wajahnya, ia khawatir jika ada ular liar yang berhasil mematuk kaki Cuhn an. Cahaya api dari pemantik menerangi kaki kanan Cuhn an yang penuh akan memar juga guratan yang mulai membiru.
“Aku tidak mengira jika lukamu separah ini.” Angin topan mengamati tiap luka dengan tatapan prihatin. “Apa yang kaisar keparat itu lakukan hingga lukamu bisa separah ini?”
“Dia mencambukku juga memukuliku dengan rotan. Tapi bukan luka ini yang harus di perhatikan. Ada sesuatu yang lunak di sisi betisku.”
Pandangan Angin Topan segera beralih pada bagian yang di tunjukkan oleh Cuhn an. Tampak seekor lintah bertubuh gemuk tengah melekat erat pada betis Cuhn an.
“Singkirkan hewan penghisap darah itu dari kakiku.” Cuhn an tampak ketakutan, ia menutup kedua matanya menggunakan telapak tangannya. Bayangan seorang bocah lelaki dengan ribuan lintah berada di sekujur tubuhnya yang telanjang kembali melintas di dalam kepalanya.
“Cepat singkirkan!” Bentak Cuhn an dengan tubuh menggigil. Lagi-lagi trauma masa lalu kembali menghantuinya. Sungguh sebuah kesialan bagi dirinya ketika tidak sengaja menyaksikan proses pengambilan ramuan panjang umur milik pamannya. Dia tidak pernah menyangka jika ramuan panjang umur yang biasa di konsumsi pamannya berupa darah seorang bocah lelaki yang cara pengambilannya harus menggunakan ribuan lintah. Setiap bulan purnama seorang bocah lelaki akan di korbankan untuk di jadikan umpan, tubuhnya yang sudah di telanjangi akan dimasukkan ke dalam bak besar berisikan ribuan lintah. Lintah-lintah inilah yang akan menghisap darah sang bocah. Baru setelahnya lintah-lintah tersebut akan di jadikan santapan yang paling diminati oleh para pemburu hidup abadi.
“Tidakkah kau lihat? Aku sedang melakukannya.” Kening Angin Topan berkerut. Ia mematahkan segelintir cerutu, menyortir tembakaunya kemudian menaburkannya di sekitar tubuh lintah. Selang beberapa detik lintah tersebut mulai bereaksi. Ia menggeliatkan tubuhnya yang lunak hingga akhirnya ia terjatuh di atas tanah saking tidak kuatnya menahan rasa getir dari tembakau.
“Kau memiliki cerutu?” Tanya Cuhn an begitu hewan lunak tersebut sudah terkapar di atas tanah.
“Aku membutuhkannya untuk menyuap para penjaga.” Samar-samar Angin Topan bisa mendengar suara-suara dari kejauhan. Ia mengangkat tangan, mengisyaratkan Cuhn an untuk diam. Keduanya segera beringsut menyembunyikan diri di balik semak belukar.
Suara-suara seruan terdengar semakin lantang. Diiringi dentang senjata juga langkah kaki yang membentuk sebuah irama. Ribuan pasukan terlihat berarak, berjarak beberapa puluh meter dari tempat persembunyian keduanya.
Dari posisinya yang lebih tinggi mereka bisa melihat barisan panjang prajurit dengan kilasan baju perang hilang timbul diantara pepohonan. Ribuan obor tampak mengular menerangi jalan mereka. Kerisik dedaunan terdengar selaras dengan pola langkah mereka.
“Untung saja kita bergerak lebih cepat dari kedatangan mereka.” Cuhn an berucap sambil mengamati barisan para prajurit yang jumlahnya seakan tidak ada habisnya.
“Ya. Sepertinya mereka akan menyisir tepian sungai. Kita harus lekas pergi dari sini. Naiklah ke punggungku sekarang juga.”
Kedua mata Cuhn an membola di antara kegelapan malam. “Apa? Kau bermaksud untuk menggendongku hanya karena kakiku tergigit lintah?” Ujarnya.
Angin Topan mendengus kesal tampak frustasi. “Aku lebih peduli dengan guratan luka yang mulai membiru di sepanjang kakimu. Persetan dengan bekas gigitan hewan sialan itu.”
Cuhn an terkesiap. “Kau pengumpat!”
“Jangan mendebat. Lekaslah naik ke atas punggungku.”
“Baiklah tuan pemaksa, aku akan naik ke atas punggungmu. Menyiksamu dengan berat badanku hingga kau tidak akan kuat lagi untuk melangkahkan kaki.” Gumam Cuhn an seraya naik ke atas punggung lelaki pengumpat di hadapannya. Ia bergelayut melingkarkan kedua tangannya pada leher Angin Topan.
“Aku akan menjatuhkan tubuhmu jika kau tidak juga bisa diam.” Ancam Angin Topan sebelum akhirnya ia melangkahkan kaki meninggalkan tempat tersebut. Mereka semakin masuk ke dalam pekatnya hutan, menjauh dari pasukan militer kerajaan Shui yang sedang berpatroli. Terus berjalan dalam kesunyian, melintasi hutan yang banyak di tumbuhi rumput liar. Di atas langit jernih tak berawan, jutaan bintang bersinar dalam kegelapan. Sesekali suara dekut burung hantu bergema di seantero hutan.
***
Di kerajaan Tang kaisar Xingguang Zao telah menerima surat dari putra mahkota Wang Wenxiao mengenai penghianatan kaisar Chen Guang juga penangkapan putra putrinya. Kini keamanan kerajaan Tang semakin di perkuat untuk mengantisipasi terjadinya serangan dari kerajaan Shui. Seisi istana di buat gempar dengan adanya berita tersebut. Tak terkecuali pangeran kedua Wang Shen.
“Sudah ku katakan jika mereka akan membutuhkan diriku. Inilah akibatnya jika kakak pertama melarangku untuk ikut.” Pangeran Wang Shen meninggikan suaranya. Dirinya masih merasa kesal dengan keputusan kakaknya tempo waktu yang melarangnya untuk ikut berkunjung ke kerajaan tetangga.
Putri Xian yang duduk tidak jauh dari dirinya menghela napas. “Tapi kakak pertama melarangmu bukan tanpa alasan. Secara tidak langsung kakak pertama memintamu untuk melindungi istana ini sepeninggal dirinya.”
“Demi Dewa, di luar sana mereka hanya berdua. Angin Topan tidak tahu kemana rimbanya, dia mangkir dari tugasnya untuk melindungi putra mahkota. Petarung terbaik macam apa dirinya? Jika melindungi kakak pertama saja tidak pecus.”
“Mereka hanya berdua? Lalu kemana perginya para prajurit?”
“Sudah pasti mereka di jadikan tawanan. Aku akan segera menyusul kakak pertama andai saja ayahanda mengijinkanku.”
“Tidak boleh!” Putri Xian tiba-tiba saja berteriak nyaring. “Kau harus tetap di sini menjaga kami. Aku tidak ingin sesuatu terjadi kepada kami juga kerajaan ini.” Dia berucap dengan penuh harap, ada ketakutan yang membayang di pelupuk matanya.
Pangeran Wang Shen menghentak napas, ia mengusap wajahnya dengan kedua tangan. “Baiklah, aku akan tetap tinggal di istana ini menjaga kalian.”
Sesaat mereka terdiam, terperangkap dalam keheningan total. Hanya terdengar kicau burung kenari dan desah lirih angin di pepohonan.To be continue...
Chapter 22 udah aku update ya.
Sekedar pemberitahuan, dalam waktu dekat ini aku mau ngerombak chapter-chapter awal, untuk jalan ceritanya masih sama hanya saja ada banyak perbaikan pada pemilihan katanya. Malam ini dari prolog-chapter 2 dulu yang aku perbarui, untuk perubahan berikutnya bakal aku info lagi lain waktu.Berhubung hari ini mood aku lagi baik aku kasih double update deh... Jangan lupa vote ya 😃😉

KAMU SEDANG MEMBACA
THE BLOODY MISSION
FantasyKerajaan Tao merupakan penguasa inkarnate, di mana kaisar Huan Hong sebagai kaisarnya. Dalam inkarnate tersebut terdapat lima kerajaan, yang mana keempat kerajaan lainnya tunduk di bawah kekuasaan kaisar Huan Hong. Empat kerajaan tersebut terdiri da...