Chapter 22

1.2K 84 17
                                    

Burung-burung berkelebat di antara pepohonan, semilir angin yang berasal dari tebing-tebing batu pegunungan berembus menggoyangkan dedaunan. Dengung serangga juga kicauan burung bulbul membentuk paduan simfoni, seakan menyuarakan sebuah kidung akan keindahan alam. Irama kaki putri Xiu Min yang menginjak ranting kering bersahutan dengan irama napasnya yang kian menderu. Sudah berjam-jam dirinya juga putra mahkota Wang Wenxiao berjalan menembus rimbunnya semak belukar yang tersebar di dalam hutan. Samar-samar Indra pendengaran mereka menangkap suara gaung genta yang semakin lama suaranya semakin membahana.
“Kau dengar itu? Ada kuil tidak jauh dari sini.” Putra mahkota Wang Wenxiao memimpin jalan. Ia menunjuk pada jalan setapak yang disusun bertingkat menggunakan bebatuan. “Kita ikuti jalan ini. Sepertinya jalan ini mengarah pada kuil tersebut.”
“Untuk apa kita kesana? Bukankah akan jauh lebih baik jika kita segera melanjutkan perjalanan? Pada jam-jam seperti ini biasanya para biksu sedang bersembahyang.” Keengganan menguasai diri putri Xiu Min. Dirinya tidak ingin menunda-nunda perjalanan.
“Ayahanda harus mengetahui berita tentang penangkapan kita. Penjagaan di kerajaan kita harus diperketat untuk mengantisipasi terjadinya serangan dari kerajaan Shui. Kita bisa menemukan alat tulis di kuil itu. Lagipula cacing-cacing perutku sudah memberontak, kau dengar itu?” Mereka berdua bisa mendengar suara moktak yang di pukul begitu nyaring dari arah kuil. “Moktak telah dipukul, pertanda jika waktu sarapan para biksu telah tiba. Kita bisa memperoleh beberapa suap makanan untuk mengganjal perut kita.”
Tidak mau mendebat putri Xiu Min mengikuti langkah putra mahkota Wang Wenxiao dari belakang. Ia menyetujui perkataan kakaknya bahwa saat ini yang mereka butuhkan adalah beberapa suap makanan untuk membungkam perut mereka yang berdemonstrasi.
Atap kuil yang tinggi menjulang telah nampak dari kejauhan. Aroma dupa yang dibakar oleh para biksu yang bersembahyang menguar begitu kuat  terbawa angin. Kini putri Xiu Min juga putra mahkota Wang Wenxiao telah tiba di depan pintu gerbang kuil yang terbuat dari pilar-pilar yang dinaungi dengan atap. Mereka terus berjalan menyusuri pekarangan yang bersih dengan jajaran tanaman perdu yang terawat rapi. Sebuah pohon ginkgo berusia ratusan tahun tumbuh di tengah halaman yang tampak asri. Dua orang biksu muda terlihat masih bekerja membersihkan halaman dengan sapu daebinya.
“Lihatlah. Para biksu yang lain sedang mengantri di ruang saji, sedangkan kita di sini masih bekerja membersihkan halaman. Ini semua gara-gara kau.” Salah satu dari biksu muda tersebut menggerutu sambil menghentakkan sapunya.
“Enak saja, kau yang memberi ide untuk mencuri kacangnya. Kenapa jadi dirimu yang menyalahkanku.” Ucap biksu satunya tidak ingin disalahkan. “Kau tidak langsung membawa kacang curiannya pergi, kau justru sibuk memakan sendiri kacang itu di tempatnya. Kau tertangkap karena kesalahanmu sendiri.”
“Jangan lupa jika kau yang telah menghasutku untuk mencuri.”
“Itu salahmu kenapa kau mau.”
“Aku akan memukulmu jika kau terus menyalahkan ku.”
“Kau kira aku takut dengan gertakanmu? Aku akan balas memukulmu jika kau melakukannya.” Tak lama perdebatan mereka berubah menjadi perkelahian  Kedua biksu muda tersebut terlibat saling memukul menggunakan daebi. Tiap gerakan yang mereka ciptakan mengakibatkan daun-daun yang beberapa menit lalu mereka kumpulkan kembali berserakan memenuhi halaman. Diam-diam, putri Xiu Min juga putra mahkota Wang Wenxiao memperhatikan perhelatan keduanya dari kejauhan.
Salah satu biksu muda tersebut berhenti menyerang begitu mengetahui kedatangan dua sosok manusia yang saat ini tengah berdiri beberapa meter dari dirinya. “Bau sekali, aroma apa ini?” Keluh biksu muda satunya yang kemudian ikut menghentikan serangannya. Mendengar perkataannya, putri Xiu Min juga putra mahkota Wang Wenxiao saling pandang. Perhatian keduanya segera teralihkan pada lendir tebal juga sisa-sisa kotoran mengering yang masih melekat pada pakaiannya.
“Apa kalian habis tercebur di dalam jamban? Aroma kalian begitu busuk.” Menghiraukan aturan mengenai sopan-santun salah satu biksu muda dengan perawakan lebih tinggi berucap.
“Kurasa tidak lebih buruk dari itu. Kami habis melalui hari-hari yang cukup sulit. Apa yang membuat kalian bertengkar?”
“Biksuni kecil itu memukulku terlebih dahulu.”
“Kau juga memukulku!”
“Cukup. Jangan berdebat lagi. Kalian berdua sama-sama bersalah, jadi salah satu dari kalian itu biksuni?” Mereka mengangguk. Putri Xiu Min memperhatikan dengan seksama wajah biksuni kecil yang dimaksudkan. Sepintas biksuni tersebut tampak seperti seorang lelaki. Namun, setelah diperhatikan dia memiliki bulu mata yang begitu lentik dengan bibir yang ranum, hal tersebut menandakan jika dirinya memanglah benar merupakan seorang biksuni. “Jika dia seorang biksuni mengapa kamu memukulnya? Kelelakian seorang lelaki dipertanyakan jika dia memukul seorang wanita.” Ucap putri Xiu Min menasehati. Samar-samar dirinya teringat akan masa kecilnya bersama Zhang Yiuhuan. Tabib Chou sempat menegur mereka dengan kata-kata yang sama ketika dirinya bersama Zhang Yiuhuan melakukan hal konyol seperti halnya yang dilakukan oleh biksu juga biksuni muda barusan.
“Tapi dia yang sudah memukulku terlebih dahulu. Haruskah aku berdiam diri menerima semua pukulannya? Ini tidak adil.” Keluh biksu muda dengan tatapan kesal yang begitu kentara.
“Bukan seperti itu yang aku maksud. Kau bisa menangkis setiap pukulannya, kau bisa menghindarinya. Bukankah itu jauh lebih baik daripada kau membalas setiap pukulannya?” Putri Xiu Min menatap wajah biksu muda di hadapannya yang masih terlihat ragu-ragu. “Iya, lain kali aku akan menangkis setiap pukulannya.” Setelah keheningan beberapa saat, akhirnya biksu muda tersebut berani membuka mulutnya.
“Ada satu hal lagi yang ingin aku tanyakan kepada kalian. Tidakkah kalian mempelajari tentang lima perintah Buddha?”
“Tentu saja kami mempelajarinya. Dalam perintahnya Buddha melarang kita untuk minum-minum, berzina, berburu binatang, berbohong dan mencuri.” Biksuni kecil tersebut menjawab dengan antusias, dia memelankan suaranya saat menyebutkan perintah Buddha yang terakhir.
Putri Xiu Min mengedikkan bahu. “Jika begitu kalian telah melanggar salah satu larangan Nya.” Dia menatap kedua bocah yang berada di hadapannya dengan tatapan menggoda.
“Iya. Karenanya kepala biksu menghukum kami.” Ucap biksu muda mengakui kesalahannya.
“Ngomong-ngomong mengenai kepala biksu, bisakah kalian mengantar kami untuk menemuinya? Putra mahkota Wang Wenxiao mencuri perhatian ketiganya.
“Kalian ingin menemui kepala biksu? Dengan kondisi seperti ini? Tidak bisa! Aroma kalian sangat busuk.”
“Iya. Kalian harus membersihkan diri terlebih dahulu jika akan menemui kepala biksu.”
“Ide yang bagus. Biksu biksuni kecil, tunjukkan dimana kami bisa membersihkan diri.”
“Ikuti kami. Kami akan menunjukkannya.” Dengan sedikit berlari biksu muda meminta putri Xiu Min juga putra mahkota Wang Wenxiao untuk mengikuti dirinya. Mereka berjalan melintasi jalan berkerikil menuju halaman belakang kuil. Putri Xiu Min juga putra mahkota Wang Wenxiao terpana memandangi halaman belakang kuil yang penuh akan sayuran. Bunga balsam tumbuh di beberapa sudut halaman dengan kelopak bunganya yang berwarna-warni. Mereka segera menghampiri sumber mata air yang berada di sudut belakang halaman. Sumber mata air tersebut memiliki air yang sangat jernih dengan bebatuan berwarna putih mengelilinginya. Dua buah bilik tempat pemandian yang terbuat dari kayu ek berdiri tidak jauh dari mata air tersebut. Bilah-bilah bambu berpenyangga mengular dari sumber mata air menuju bilik-bilik. Lewat bilah bambu itulah air-air dialirkan.
“Kalian bisa membersihkan diri disini. Apa kalian memerlukan pakaian bersih?”
“Apa itu tidak merepotkan?”
“Tentu saja tidak. Hanya saja semua pakaian di kuil ini berupa jangsam, apa itu tak mengapa?”
“Tak masalah, kami akan tetap memakainya disela pakaian kami dicuci.”
Putri Xiu Min memandangi bayangan wajahnya di permukaan air yang berada di dalam bak kayu. Dia mulai menggerai rambut panjangnya yang tampak kusut. Diambilnya seciduk air menggunakan gayung labu, penatnya berangsur menghilang ketika ia mulai mengguyurkan air dari atas kepalanya. Air dingin memberikan efek menyegarkan pada pori-pori kulitnya.

***

Kabar mengenai penangkapan putra mahkota Wang Wenxiao beserta rombongannya telah sampai di telinga Angin Topan. Perasaan bersalah mendera dirinya begitu kuat. Dia merasa gagal dalam menjalankan tugasnya untuk melindungi putra mahkota. “Sedari tadi dirimu belum makan. Aku menemukan beberapa ubi jalar di dekat sungai, sebaiknya kau makan terlebih dahulu.” Seorang wanita dengan beberapa luka memar di sekujur tubuhnya menyodorkan dua buah ubi bakar ke hadapan Angin topan.
“Bagaimana bisa diriku makan dengan lahapnya sementara di luar sana keselamatan putra mahkota sedang terancam?” keluh Angin Topan. Ia menambahkan beberapa ranting kering ke dalam api unggun. Lidah-lidah api berkobar semakin membesar menerangi dinding-dinding gua yang tadinya gelap.
“Ini semua gara-gara aku. Andai engkau tidak menolong kami saat tubuh kami di hanyutkan ke dalam sungai, sudah pasti saat ini dirimu bisa bersama dengan mereka.” Cuhn an menekuk lutut, ia menatap pemuda di hadapannya dengan pandangan bersalah.
Angin Topan memalingkan wajahnya. Dirinya tidak kuat melihat kesedihan yang begitu kentara pada wajah Cuhn an “Belum tentu. Bisa saja diriku ikut di kurung di dalam penjara yang berbeda dengan mereka. Aku tidak menyesal telah menolong kalian, karena menolong kalian merupakan salah satu perintah dari putra mahkota.”
Keheningan terentang. Kawanan kelelawar berkelebat di atas atap gua “Aku mencuri dengar pembicaraan para penjala ikan di bantaran sungai. Putra mahkota berhasil kabur melalui lubang bawah tanah. Saat ini dia berstatus sebagai buronan.”
Mendengarnya Angin Topan terkejut. Ia mengubah posisi duduknya. Kali ini ia menghadap sepenuhnya pada wanita di hadapannya “Putra mahkota berhasil kabur? Kenapa kau baru memberitahuku sekarang?”
“Aku sengaja menunda untuk memberitahumu karena keadaan di luar sana masih terlalu membahayakan untukmu.”
“Aku seorang petarung, aku bisa menanganinya.”
“Tidak untuk saat ini. Ratusan kompi prajurit dikerahkan di seluruh penjuru wilayah kerajaan Shui. Mereka memblokade seluruh akses keluar masuk kerajaan. Jalur utama di tutup untuk sementara waktu hingga beberapa hari kedepan.”
“Tadi kau bilang putra mahkota kabur melalui lubang bawah tanah? Apa kau tahu di sebelah mana lubang itu berada?”
“Aku tidak tahu. Yang jelas lubang tersebut berada di sebuah ruangan penjara bawah tanah.”
Angin topan berusaha untuk mengingat batas-batas wilayah kerajaan Shui. “Wilayah kerajaan Shui berbatasan dengan kerajaan Mao di sebelah timur. Padang gandum di sebelah selatan, kerajaan Huo di sebelah barat juga deretan pegunungan batu di sebelah utara. Aku mengerti kemana putra mahkota melarikan diri.” Ucapnya sambil beranjak dari duduknya. Pegunungan batu merupakan satu-satunya tempat yang paling aman untuk melarikan diri, sudah pasti putra mahkota bersembunyi di antara deretan pegunungan tersebut.
Melihat Angin Topan hendak berjalan menuju pintu keluar perasaan Cuhn an begitu kalut. “Tunggu! Kau tidak bisa pergi.” teriak Cuhn an berusaha untuk menghentikan langkahnya.

To be continue...

THE BLOODY MISSIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang