Angga Pov
Rumah itu sederhana, berbentuk sama seperti rumah-rumah di sebelahnya. Terbuat dari bata merah, tak mempunyai teras. Pintunya begitu dekat dengan jalan raya. Rumah itu ada di pinggiran Kota Leiden.
Kami baru saja mencapainya dengan tram dan berjalan kaki. Di bagian depan rumah hanya ada kanopi kecil yang menjadi shelter tempat saya dan Oki segera berteduh.
Oki segera membentuk pintu. Saya masih sibuk menggosok-gosokkan telapak tangan, sibuk menghangatkan diri. Saya masih sibuk membayangkan, seperti apa keadaan adik perempuan saya? Seperti apa keadaan mama sekarang? Bagaimana wajah beliau? Apa kini sudah ada keriput di wajahnya atau uban sudah mulai tumbuh diantara rambut hitamnya? Atau mama masih tetap secantik dulu?.
"Kemana sih, mereka? "Gerutu Oki sambil menahan dingin.
"Kenapa, Ki? "Tanya saya
"Dari tadi nggak terdengar suara orang di dalam"ujar Oki
Kemudian, Oki beralih mengintip ke jendela kecil yang ada di samping pintu. Dia menghapus timbunan salju di kayu kosennya. Dia bersihkan kacanya dari embun salju. Lalu, dia menghela napas berat.
"Sepertinya mereka memang nggak ada dirumah"ujar saya
"Coba kutelepon Lieve dulu"balas Oki
Oki mengeluarkan ponselnya. Dia diam menunggu sejenak. Kemudian, dia mulai berbicara dengan seseorang di seberang. Bahasa Belanda nya cukup lancar. Yang kutangkap dari pembicaraan itu, Lieve memang sedang berada di luar rumah. Sejenak kemudian Oki mengembalikan ponselnya ke saku jaket.
"Lieve sedang mengantar Tante check up di rumah sakit. Sebentar lagi mereka pulang"ucap Oki
"Oke"balas saya
Hari itu, saya dan Oki pun akhirnya menunggu di depan pintu. Kami berjongkok sambil memeluk lutut. Udara hari ini benar-benar kacau. Oki bilang kalau ini memang musim dingin paling buruk di Leiden.
Saya pun teringat dengan berita yang di siarkan tadi pagi. Temperatur mencapai enam minus derajat celcius! Benar-benar temperatur yang sangat rendah sepanjang sejarah musim dingin di Leiden.
Kami berdua merapatkan wind breaker masing-masing. Trenchcoat, kupluk, dan sarung tangan itu tak banyak membantu. Udara benar-benar membekukan siapa saja yang berkeliaran di luar. Apalagi rumah ini tak punya teras sehingga kehadiran salju pun bisa dengan mudah tertiup ke arah kami. Laju kendaraan di jalan Raya membuat angin tertiup kencang menerpa wajah kami.
"Gimana kalau kita cari coffeeshop untuk berteduh?"tawar Oki
Saya melayangkan pandangan ke sepanjang jalan. Kebanyakan cuma terdiri dari rumah-rumah yang pintunya tertutup rapat. Kalaupun ada toko, itu bukan coffeeshop.
"Kita tunggu di sini saja"ucap saya
"Ayolah,Angga. Kamu bisa membeku kalau terus di sini. Apalagi kamu belum pernah bertemu musim dingin. Tubuhmu belum pernah beradaptasi sama udara seburuk ini"ujar Oki
"Tapi, sebentar lagi mereka datang"balas saya
"Seingatku di ujun jalan ada resto kecil. Ayolah, sebelum kita membeku"pinta Oki
Saya menggeleng.
Oki kemudian menyerah. Kami berdua kembali terdiam, memeluk tubuh masing-masing lebih erat. Bibir saya mulai menggigil dan saya yakin kuku saya pasti sudah membiru di dalam wind breaker. Tapi, saya tidak peduli. Saya cuma mau menunggu mereka disini.
"Kalau kamu mau pergi, pergi saja. Saya tunggu di sini saja"ucap saya kepada Oki
"Mana mungkin aku meninggalkanmu disini"cibirnya
KAMU SEDANG MEMBACA
ALETHA √
Teen FictionFinish Aku cemburu Aku ingin memilikinya kembali Aku menyayangi dia " Ya, itulah yang sebenarnya aku rasakan. Aku tak mungkin bisa berpura-pura lagi. Aku tak bisa berbohong lagi. Aku tak bisa berpura-pura tak membutuhkannya. Sudah sekian lama kami...