Mataku begitu berat. Tapi, samar-samar aku bisa menelusuri benda-benda di sekelilingku. Selang infus terhubung hingga menembus kulit dan menusuk nadi.
Ada meja kecil di sisi ranjang. Hearing aid-ku tergeletak di sana. Kemudian, tanganku bisa merasakan ada perban tebal di kaki kiri. Aku lihat gorden tertutup, ruangan ini tampak steril. Warnanya hijau muda. Sama dengan warna baju yang ku kenakan. Juga baju yang dikenakan seorang pemuda di sisi ranjang.
Di ambang sadar, aku melihat seorang pemuda tengah tertidur di sisi ranjang. Tangannya menggenggam jemariku erat.
Pemuda itu kemudian terbangun. Seseorang yang begitu kukenal. Tapi, aku lupa di mana mengenalnya. Pemuda itu terkejut melihatku sudah siuman. Dia segera memasang hearing aid ke kedua telingaku.
Dia memasangnya dengan gusar dan membuat telingaku sakit. Tapi, sekarang aku jadi bisa mendengar tetesan air infus dan suara alat pengukur detak jantung. Lantas, pemuda itu berlari ke depan dan berteriak di koridor.
"Zus! Zus!"
("Suster, suster")
Aku ingat sekarang. Itu Angga. Aku ingat dengan suaranya yang berat dan mata kelabu itu. Angga kembali bersama seorang wanita Belanda berpakain serba putih. Dia sibuk mengecek kondisiku.
"Dimana Kakek?" Aku mendengar suaraku sangat pelan.
Angga mendekat. "Kakek? Siapa ? Apa perlu ku telepon kakekmu? "Tanyaku dengan heran.
Aku menggerakkan kepala yang terasa berat. Aku menggeleng. "Bukan. Kakek yang bersamaku"
Lalu, ingatanku kembali menjelaskan apa yang terakhir kulihat. Kakek terjepit atap tram. Tapi, atap tram itu menghadap ke bawah dan bersinggungan langsung dengan aspal.
Lalu, atap robek dan kepala serta tubuh Kakek bergesekan keras dengan jalan. Kakek sudah meninggal? Aku menggigit bibir bawah kuat-kuat. Apa yang kemarin terjadi pada tram kami?
~~~ A L E T H A ~~~
Angga On Side
Saya tak tahan melihatnya, kenapa harus Aletha?
Saya cuma berdiri di ambang pintu. Gadis itu terus bergumam aneh. Soal kakek dan soal tram naas. Saya tak sanggup melihatnya dalam kondisi seperti itu.
Dia baru sadar. Tapi, matanya masih sulit beradaptasi dengan cahaya di ruangan. Aletha tampak menghindari sorotan cahaya. Dia juga merasa terganggu dengan suara keras. Suster bilang kalau itu gejala meningitis.
Suster sudah pergi. Sekarang Jesyca dan Lyla menemaninya. Mereka mulai bicara banyak, entah soal apa saja. Lalu, tangan Aletha mulai meraba kaki kirinya.
"Kamu baik-baik aja, Leth"ucap Jesyca
Lyla menarik tangan Aletha untuk menjauh dari kakinya.
"Katakan apa yang terjadi sama kakiku, Jes" Gadis itu menuntut.
"Nggak ada apa-apa. Tenanglah."ucap Lyla
Gadis itu terus meraba sambil menggerakkan kaki kirinya. Dengan posisi terbaring ia terus saja mencoba menggerak-gerakkan kakinya. Tapi, Jesyca masih saja melarangnya. Jesyca masih menjaga tangannya menjauh.
"Jes, La, bilang apa yang terjadi, arghhh.. "Pintanya memohon sambil menahan rasa sakit di kakinya.
Saya benar-benar tak tahan lagi melihat mereka. Langkah saya mendekati ranjang tidur dengan sesegera. "Kaki kiri kamu mengalami lumpuh namun hanya sementara. "
KAMU SEDANG MEMBACA
ALETHA √
Teen FictionFinish Aku cemburu Aku ingin memilikinya kembali Aku menyayangi dia " Ya, itulah yang sebenarnya aku rasakan. Aku tak mungkin bisa berpura-pura lagi. Aku tak bisa berbohong lagi. Aku tak bisa berpura-pura tak membutuhkannya. Sudah sekian lama kami...