tiga puluh delapan

378 14 0
                                    

Angga dan gadis itu menghampiri meja. Angga tampak tak berubah. Dia masih suka memakai kemeja formal walaupun sekadar bertemu teman lama. Bagiku, yang membuatnya tetap khas seperti Angga yang dulu adalah tatapan iris mata abu-abu yang teduh itu.

Sedangkan si gadis di sebelah Angga itu berwajah khas Indonesia namun blasteran Belandanya terlihat sangat mendominasi. Kulitnya putih berseri dan rambut pirangnya tergerai. Cara berpakaiannya sangat modern seperti orang Eropa kebanyakan. Sangat fashionable.

Sejauh perjalanannya dari pintu hingga menuju meja, matanya memandang ke arahku dan Mickho dengan pandangan tajam. Belum ada senyum yang menghias bibirnya.

Kami saling berpeluk singkat. Kemudian, mereka berdua mengambil tempat di hadapanku dan Mickho. Mickho memberi kode rahasia pada Angga yang entah apa artinya.

"Wah Neng geulis ketemu Angga di mana? "Ucapan Mickho membuka pertemuan kami berempat

Angga tersenyum mendengarnya. "Hei dia nggak bisa bahasa Indonesia apalagi bahasa Sunda, "ujarnya

"Wat zei je vriend zeggen?   ( Apa yang temanmu bilang? ) "Gadis itu mengucapkan sepotong kalimat dengan fasih.

"Hij zei dat je mooi bent,   ( Dia bilang kamu cantik ) " jawab Angga

Aku dan Mickho saling memandang saat mendengar mereka bicara dalam bahasa Belanda dengan lancar. Apalagi Angga yang baru berpisah dua bulan dengan kami pun sudah lancar memakai bahasa itu.

Tampaknya aku dan Mickho jadi seperti patung yang tak bisa ikut dalam perbincangan pribadi mereka.

"Kenapa dia nggak bisa bahasa Indonesia, Ga? Tapi, wajahnya kelihatan mirip dengan muka orang Indonesia walaupun sebagian besar didominasi wajah Eropa"tanyaku

"Ya, karena dia sudah lama menetap disini. Jadi dia sudah sedikit lupa bahasa Indonesia"jawabnya

Aku akhirnya mengangguk mengerti sekalipun di otakku masih tersimpan belasan pertanyaan. Aku berusaha menghapus pertanyaan-pertanyaan tentang gadis itu.

Aku berusaha meyakinkan diri kalau aku tak cemburu dengan kehadiran gadis itu malam ini. Lagi pula, aku sendiri pun tak yakin dengan perasaanku. Malam itu, kami akhirnya memilih pakai bahasa internasional saja supaya semua mengerti apa yang dibicarakan.

"By the way, you have not introduce us to your friend, Ga"ujarku lagi, tak bisa menahan rasa penasaran.

Gadis yang dimaksud itu melempar senyum. Senyum pertama  sejak di duduk di bangku itu.

"Let me introduce myself. I'm Lieve. Lieve Araya. Lieve means loved by the god"

Mickho mengerutkan kening sejenak, lalu dia tertawa. "Oh, my Gosh. Lieve! This is you! I can't believe it"

Aku tak mengerti ucapan Mickho. Jadi, dia sudah mengenal Lieve sebelumnya? Semakin merasa kalau aku harusnya tak ikut dalam lingkaran mereka. Aku merasa terasing.

"Yes, it's me. What's the matter? "Tanya Lieve.

Sedangkan Angga dan Mickho hanya tersenyum. Aku tak mengerti dengan mengerti dengan semua ini. Seperti ada sesuatu yang mereka rahasiakan dariku.

Lieve lebih muda dari kami bertiga. Dia baru memulai tahun pertama sekolah kejuruannya di tahun ini. Sekolahnya itu sangat dekat dengan kampus yang ditempati Aletha. Mungkin hanya berjarak beberapa meter.

Dia ingin megambil jurusan sastra karena sangat suka bidang itu. Lieve bahkan lebih tahu tentang sastra Indonesia daripada kami. Dia sudah membaca buku sastrawan-sastrawan Indonesia yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda.

ALETHA √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang