tiga puluh tujuh

359 12 0
                                    

Desember selalu identik dengan dua hal, yakni salju dan Natal.

Di bawah balutan jas hujan, kukayuh sepedaku pelan melintasi jalan yang berbalut salju. Butiran salju sehalus kapas itu tampak terbang perlahan sambil tertiup angin ke barat daya. Beberapa butiran itu mendarat di tubuhku dan ranting pohon yang telanjang oleh daun. Beberapa lagi mendarat di atap bangunan.

Aku merapatkan kupluk rajutan sampai sepenuhnya menutup telinga. Aku sembunyikan rambut yang terkepang di balik mantel. Salju yang nakal masih bisa mencapai mantel musim dingin yang di berikan Angga.

Malam menuju Natal ini, jalanan sedang ramai walaupun hujan salju belum berhenti sejak sore tadi. Perayaan menuju Natal membuat jalanan di dominasi warna Merah, hijau dan emas. Pohon-pohon Natal yang sudah di hiasi pernak-pernik tampak dibalut salju. Ada beberapa sinterklas dengan pakaian tebal dan janggut putih menyemarakkan malam.

Hari ini aku membuat janji dengan Micko dan Angga di sebuah restoran Cina. Mickho akhirnya memenuhi janjinya ke Leiden. Dia datang bertepatan dengan liburan menjelang Natal. Dia bilang, kedatangannya adalah untuk merayakan 894 hari perpisahannya denganku sedangkan dengan Angga ia hanya berpisah 258 hari saja. Kami hanya tertawa menanggapi ide perayaan itu. Andai saja Jesyca dan Lyla dapat kesini juga, pasti ini akan menjadi reuni yang akan sangat seru.

Agak tergesa, langkahku memasuki sebuah chinese restaurant. Sesuai permintaan Mickho, kami sepakat bertemu di restoran Cina. Mickho sepertinya sudah terpikat dengan satu gadis Cina di Negeri singa, tempat dia melanjutkan kuliah sekarang.

Di Belanda memang tak ada restoran asli masakan Belanda. Kalau ku ingat-ingat, selama ini memang tak ada restoran disini yang meletakkan tulisan besar-besar berbunyi 'Holland Restaurant' atau setidaknya menaruh kalimat 'Authentic Holland Cuisine' di bawah nama restonya sebagai penjelasan bahwa restonya sebagai  itu menyajikan makanan khas Belanda.

Justru yang lumayan menjamur di tempat ini adalah afhaal restaurant atau take away restaurant dan kebanyakan mengusung makanan dari Indonesia atau Cina. Kebanyakan judul resto mereka adalah Indische Chinese Restaurant. Makanannya tentu saja hasil interpretasi makanan khas Indonesia dan juga Cina.

Sama halnya dengan Restaurant Cina yang kukunjungi kali ini. Begitu masuk, aku langsung di lempar ke kawasan Asia. Kebetulan sekali saat itu tak ada pengunjung bule. Semua Chinese sudah berbicara dalam bahasa Mandarin yang bagiku sama rumitnya dengan bahasa Belanda.

Dan lagi, suasana negeri panda justru terlihat mengalahkan suasana natal di luar. Benar-benar serasa bukan lagi di Belanda.

Di sebuah meja untuk empat orang, tampak seorang berwajah sunda sedang duduk sendiri, terjerembab di antara puluhan Chinese dalam ruangan itu. Dia melempar senyuman saat aku jadi orang sunda kedua yang akhirnya menemaninya.

"Aletha! Wah, gaya pakaianmu sekarang sudah seperti bule saja"seru Mickho saat kami berpelukan singkat.

Aku melebarkan bola mata. "Tentu saja. Aku nggak mungkin bisa memakai rok pendek ataupun hotpants lagi di musim penguin begini"

Mickho kemudian tersenyum dan kemudian melongok ke belakang punggungku. "Kamu kenapa nggak bareng Angga? "Tanyanya

"Tempat tinggal kami berjauhan. Aku bahkan belum pernah ketemu dia lagi sejak pertama kali sampai di tempat ini. Mungkin hari ini akan jadi hari kedua pertemuan kami di Leiden"ujarku sambil meringis

Mickho membelalakkan mata tak percaya. "Sungguh?  Jadi, seandainya aku gak datang ke sini, mungkin kalian baru akan bertemu lagi di Bandung, begitu selesai menamatkan master kalian"oloknya sambil tertawa keras.

"Sudahlah, lagian juga kita sama-sama memiliki kesibukan masing-masing. Oh iya bagaimana keadaan Jesyca dan Lyla disana? "Tanyaku

"Mereka baik-baik saja. Sejujurnya mereka juga sangat ingin ikut kesini. Namun, bagaimana lagi Jesyca sibuk mengurusi laporan praktikum yang harus di kumpulkan bulan ini. Belum lagi lyla yang menjadi model pastinya dia banyak job dan tidak bisa meliburkan diri"ucap Mickho

Aku tersenyum kecil mendengarnya. Bisa jadi memang begitu. Apakah memang aku akan bertemu Angga saat di Bandung nanti? Sungguh aku bersyukur sekali pada Mickho yang bisa mempertemukan aku dengannya lagi.

Selama 128 hari yang sudah berlalu, aku memang belum bertemu Angga lagi. Bayangan Angga yang masih terekam di otakku adalah sosok Angga di Bandara Schiphol dengan kemeja tartan kusut karena terlalu lama dipakai tidur di pesawat.

Ya,bayangan itu. Angga dengan rambut acak-acakan dan wajah pucat karena baru melewatkan perjalanan enam belas jam di pesawat. Tentu saja, kebiasaan Angga tak pernah berubah dari sejak dulu. Dia masih tetap menjadi penghuni observatorium. Kini, dia sudah berganti markas, observatorium Leiden. Dia juga disibukkan acara riset semalaman dan seperti Angga yang dulu, teleskop kini menjadi sahabatnya kembali.

"Itu Angga sudah datang, Leth!"seru Mickho  membuat telingaku seperti ingin pecah.

Suara Mickho mengagetkan sekaligus membuatku spontan menoleh ke arah belakang. Akhirnya aku menemukan Angga, seorang pemuda yang sudah lama sekali tak kulihat.

Jantungku seolah mendadak berhenti berdetak saat itu juga. Bukan apa-apa, tapi karena kehadiran seorang gadis di sisi Angga. Seorang gadis berwajah Belanda-Indonesia. Dan tangan Angga memeluk bahu gadis itu, yang entah kenapa membuatku berspekulasi macam-macam.

Aku tak yakin kalau aku menaruh perasaan lebih kepada pemuda itu. Pasalnya kita sudah pernah menjalin kasih bersama dan akhirnya berpisah. Hanya saja, siapa yang bisa membohongi kata hati? Walaupun dia mantan sekalipun. Rasa hati itu perlahan-lahan merasuki juga. Apalagi saat aku melihat pasangan itu memakai couple clothes. Mereka memakai jaket berwarna coklat tua dan kupluk yang menutupi kepala.

🦂🦂🦂














Yeahhh updatee nihh

Siapa ya gadis yang bersama Angga?

Yaah mba Aletha malah cemburu nih? Cieeeee cieeee

Gimana feel nya dapet gak?

Thank youuuu....

ALETHA √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang