empat puluh tiga

390 15 0
                                    

"Aletha, saya menyayangimu"

Aku terenyak mendengar suaranya. Sepanjang hari pemuda itu menjaga saya di sini. Di tak pulang sejak pagi karena hari ini hari Minggu. Kadang-kadang, aku tak bisa melihatnya dengan jelas.

Aku sering kehilangan kesadaran. Aku sering lupa tentangnya. Tapi, pemuda itu tak lelah mengajakku mengobrol, mengembalikan kesadaran dan ingantanku.

"Kamu ngomong apa, Ga? Kamu jangan bercanda. Kita bukan lagi anak SMA, " suaraku terdengar sangat pelan.

"Saya nggak akan bercanda soal perasaan Leth, lagipula sejak SMA memang saya tak ingin berpisah denganmu. Memang waktu itu ego saya masih tinggi untuk meminta balikan lagi"ucapnya dengan wajah yang tampak sangat serius.

Aku menggeleng-geleng. Benarkah ada Angga di hadapanku? Apakah semua itu nyata? Kadang aku tak bisa membedakan kenyataan dan bayanganku. Kadang aku kehilangan semua ingatan tentang hal-hal di sekitarku.

"Leth, katakan kalau kamu juga masih punya perasaan yang sama seperti dulu. Saya sangat menyayangimu. Sungguh sampai saat ini saya benar-benar belum rela untuk melepasmu, Leth. Saya nggak akan pernah membiarkanmu sendiri lagi" Angga mengenggam tanganku erat-erat.

"Tapi, saat ini semua keadaan sudah berbeda Ga. Aku bukan lagi Aletha yang kuat, bukan Aletha yang kaya dan berkecukupan, Ayah udah bangkrut sampai ia lumpuh. Aku bahkan sekarang sudah tidak dapat mendengar dengan normal. Belum lagi saat ini keadaan kakiku yang nggak bisa di gerakkan. Buat apa aku di perjuangkan? "Kata-kataku semakin lemah.

"Kenapa kamu ngomong begitu? Bagi saya, kamu tetap normal. Kamu selalu menjadi Aletha yang seperti dulu. Aletha yang kuat dan nggak gampang nyerah. Kenapa saya harus meninggalkanmu justru saat kamu membutuhkan seseorang? Saya nggak seegois yang kamu bayangkan, Leth"ucap Angga dengan suara yang sedikit meninggi.

Kata-kata Angga seperti merasuk perlahan-lahan ke aliran darah, membuatku menggigil mendengarnya. Apakah Angga sungguh-sungguh? Apakah aku harus mencari kebohongan di sepasang mata itu? Tapi, aku tak menemukannya. Justru aku menemukan sebuah ketulusan yang sederhana.

Setitik air mata terjatuh dari kelopak mataku dan segera di hapus jemari Angga. Dia mendekatkan wajahnya hingga aku bisa mencium aroma parfumnya itu dan merasakan desahan nafasnya yang berat. Aku bisa memandang sangat dekat sepasang mata kelabu yang teduh.

"Angga, aku masih sakit. Meningitis bisa menular,menjauhlah aku tidak ingin kau tertular."ucap aku sembari mendorong badannya agar menjauh.

Angga tak mendengarku. Bibir kami saling bersentuhan. Terlebih aku belum sembuh secara total. Dan penyakit meningitis adalah penyakit menular apalagi lewat ciuman. Tapi, Angga tak peduli. Aku tahu dia menyayangiku apa adanya. Dia menghentikan tangisku dengan cara yang tak pernah bisa kumengerti.

Tapi, bayangan itu perlahan memburam. Tak ada Angga di sisiku. Tak kudengar lagi kata-kata manisnya, juga sentuhan lembutnya. Kadang kenyataan dan bayanganku bercampur aduk jadi satu, sulit dipisahkan.

Aku tak bisa membedakan yang hanya imajinasiku. Semua begitu rumit. Dan pandanganku sering berkunang-kunang.

"Apa yang baru kamu lakukan Angga? Aku nggak mau kamu menderita juga karena penyakit yang sama. Apalagi itu karena Aku" ujar saya perlahan.

"Saya akan baik-baik saja, Aletha"Aku mendengar suara Angga samar-samar di telingaku.


~~~ A L E T H A ~~~

Angga On Side

Di suatu pagi buta, saat saya baru pulang dari observatorium, saya lihat lihat dia sedang terjaga di ranjangnya. Dia memperhatikan saya yang sedang sibuk mengenakan baju steril milik rumah sakit.

ALETHA √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang