Angga On Side
Berliburan sendiri di Ibu kota ternyata cukup menyiksa. Saya belum pernah liburan sendiri di hari pertama bulan Januari.
Yang tak menyenangkan adalah saat orang-orang tampak ramai bergerombol dengan kerabat mereka, sementara saya berjalan sendiri di sini.
Tiba di Amsterdam, saya langsung menyewa sepeda untuk keliling kota. Saya cuma perlu membayar tujuh Euro dan bebas membawa sepeda pergi, asalkan nanti dikembalikan sebelum perang tiba.
Dari Tante Warsih, saya pernah dengar kalau nama kota Amsterdam ini berasal dari kata Amstelredamme. Artinya dam atau bendungan yang ada di sungai Amstel.
Di tempat ini ada banyak sekali kanal yang berbatasan langsung dengan jalan dan bangunan. Di atas kanal-kanal ada ratusan jembatan yang melintang. Kota klasik yang cukup menyenangkan.
Tapi, hari itu saya sungguh merasa aneh. Saya tersesat empat kali di jalan yang sama. Entah karena memang banyak bentuk jalan dan kanal yang mirip atau karena saya kurang konsentrasi.
Memang sejak meninggalkan Leiden, ada rasa aneh yang mengganggu pikiran. Seperti ada firasat-firasat buruk. Saya sempat menelepon Mama di tram tadi, untuk memastikan keadaan beliau. Dan Lieve memastikan kalau Mama baik-baik saja. Tante Warsih juga sedang ada bersama mereka. Jadi, tak ada yang perlu di khawatirkan.
Di dekat kanal ada coffeshop mungil yang di dominasi warna cokelat. Saya berhenti disana. Coffeshop itu tak besar. Di bagian depannya tampak kaca terang berukuran selebar dinding. Warna bangunan itu didominasi warna cokelat. Warna yang identik dengan kopi.
Saya memilih tempat duduk outdoor yang berbatasan langsung dengan sebuah kanal dengan gemericik air mengalir kecil. Di luar, tak ada orang lain selain saya. Tentu saja. Siapa yang mau menikmati kopi dijalan, dengan udara menusuk kulit seperti ini? Pengunjung kafe lain memilih menikmati kopinya di ruangan yang dilengkapi pengahangat.
Saat itulah, saya mendapat telepon dari Tante Warsih. Beliau tak berkata apa-apa, hanya menyuruh cepat-cepat pulang. Saya harus pulang ke Leiden sesegera mungkin dan meninggalkan Amsterdam sekarang juga. Begitu pesannya.
Tante Warsih bungkam tentang apa yang terjadi. Tapi, saya bisa mendengar nada khawatir dalam getaran suara beliau. Firasat saya benar. Mungkin sudah terjadi sesuatu yang buruk.
Espresso pahit yang baru saya minum sebagian itu kini saya tinggal begitu saja di meja. Tangan saya segera meraih sepeda dan mengayuhnya ke Centraal station. Menunggu tram menuju Leiden rasanya seperti lama sekali. Padahal waktu mungkin saja sedang berjalan normal.
Tapi, saya tak bisa tenang menunggu tram datang. Sudut mata saya terus melihat ke arah jam dinding di seberang. Kemudian terdengar suara kereta listrik dari arah seberang.
Saya cuma habiskan tiga jam di Amsterdam.
~~~ A L E T H A ~~~Angga On Side
Butuh usaha keras untuk meyakinkan diri saya sendiri kalau ini bukan mimpi buruk.
Ya, betapa kacaunya pikiran saya saat melihat gadis itulah yang tergolek di hadapan saya dan bukan orang lain. Bukan Mama dan bukan Tante Warsih yang bahkan sudah saya khawatirkan dari awal. Tapi, Aletha.
Di balik ruang ICU yang tertutup, saya cuma bisa menyaksikan tubuh kecilnya tergolek di ranjang putih. Wajahnya penuh luka gores dan ada sebuah jahitan di atas pelipisnya. Kalau hanya goresan-goresan kecil, saya tak terlalu mempermasalahkannya. Tapi, dokter bilang kaki kirinya telah mengalami cedera yang cukup serius karena hampir sebagian tulang kakinya sudah remuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALETHA √
Teen FictionFinish Aku cemburu Aku ingin memilikinya kembali Aku menyayangi dia " Ya, itulah yang sebenarnya aku rasakan. Aku tak mungkin bisa berpura-pura lagi. Aku tak bisa berbohong lagi. Aku tak bisa berpura-pura tak membutuhkannya. Sudah sekian lama kami...