Sore hari sepulang dari kampus,aku melihat Bu Warsih sedang duduk sendiri di dapur. Di meja makan yang bersih itu tampak selembar kertas. Bu Warsih menulis sesuatu disana. Perlahan aku duduk disisinya, menyunggingkan senyum.
"Sedang apa buk"tanyaku pada Bu Warsih
"Menulis surat buat seseorang"balasnya
"Apa aku boleh bergabung disini, menggambar tugasku? "Tanyaku
"Tentu"Bu Warsih mengangguk
Aku kemudian langsung menggelar kertas sketsa di atas meja. Seraya menikmati pemandangan musim gugur Leiden lewat jendela dapur, aku mulai menggoreskan sketsa di kertas. Ide-ide menggambar tiba-tiba muncul di kepalaku begitu saja.
Sebuah rumah dengan balkon berlantai papan kayu di lantai atas. Balkon cukup luas dihiasi bunga-bunga menjalar. Bunga-bunga itu nantinya akan merambat hingga menjadi kanopi yang Teduh. Tempat terbuka akan jadi tempat untuk meneropong Bintang. Ada teleskop yang ditempatkan di sudut sana, tempat mengamati langit sepanjang malam.
Mungkin aku harus menambahkan tempat nyaman lain, tempat untuk menggambar. Ya, tepat di belakang balkon itu, ada sebuah ruangan yang dipisahkan pintu kaca. Diruangan itu ada meja gambar yang menghadap kearah luar. Semua peralatan gambar tersedia disana. Ada banyak jendela kaca disana, tempat aku bisa meletakan semua koleksi miniatur pesawatku. Lewat kaca jendela, aku bisa melihat pesawat-pesawat itu berpadu dengan latar belakang langit.
"Kok bisa senyum-senyum sendiri? "Ujar Bu Warsih sambil menyenggol lenganku.
"Gak papa, Buk. Aku hanya sedang menggambar rumah impian. Ini tugas pertamaku saat kuliah. Rasanya asyik saja membayangkan ruangan-ruangan dalam rumah itu"ujarku
"Oh iya, bagaimana dengan kuliah pertamamu tadi nak? "Tanya Buk Warsih
"Alhamdulillah lancar,akupun menyukai suasana kuliah disini. Bahkan para dosennya pun banyak yang ramah"ucapku pada Bu Warsih
Bu Warsih mengangguk-angguk sambil mengintip gambarku yang masih berupa sketsa.
"Ini tempat apa? Apa yang tampak keritinh-keriting ini"ucapnya sambil menunjuk salah satu ruangan yang ku gambar.
Aku terseyum kecil "itu bunga, buk. Aku tidak bisa menggambar bunga"ucapku sambil tertawa kecil.
Bu Warsih mengangguk-angguk,
"jadi tempat apa ini ?"tanyanya
"Ini balkon di lantai dua. Balkon yang sangat luas, Buk. Ada pagar besi rendah yang membatasinya. Ada bunga-bunga menjalar yang bersatu dengan lantai kayunya"ucapku pada Bu Warsih
"Kenapa harus pakai lantai kayu ?"tanya Bu warsih
"Hmm... Karena kayu itu hangat, Buk. Mungkin pemilik rumah ini akan sering begadang sepanjang malam untuk mengintip langit"ujarku
"Siapa itu si pemilik rumah yang suka begadang melihat langit ? "Tanyanya
"Bukan siapa-siapa buk"ucapku sambil menggelengkan kepala
Kami pun kemudian kembali sibuk dengan pekerjaan kami kembali. Aku dengan kertas gambar, sedangkan Bu Warsih dengan kotak-kotak kardus. Bu Warsih tampak memasukkan alat-alat masak, kesitu. Beliau juga menata piring, gelas, cangkir, dan beberapa sendok-garpu ke dalamnya.
"Buat siapa itu, Bu? " tanyaku penasaran
"Bukan buat siapa-siapa kok"Bu warsih membalas pertanyaanku dengan jawaban yang sama. Kami pun tertawa kecil.
"Sebentar lagi Ibu akan ajak kamu jalan-jalan ke kota, ya. Sekaligus Ibu akan mengantar barang ke kantor pos"ucapnya
Aku mengganguk semangat. Sejak hari pertama sampai disini, aku memang belum pernah jalan-jalan berkeliling di kota ini. Yah, kecuali kalau pengalaman tersesat mencari apartemen bisa disebut jalan-jalan. Berarti aku sudah pernah berkeliling sendiri sebelumnya.
"Kita naik tram ya, Buk?"tanyaku
Entah kenapa mendadak aku ingin naik angkutan ular besi itu.Bu Warsih menggeleng. "Nggak, hari ini kita pakai mobil saja"
Sebelum petang turun, aku dan Bu Warsih sudah bersiap-siap di mobil. Sore ini aku memakai mantel coklat yang pernah diberikan Angga kepadaku. Angin bertiup ke barat daya sehingga menjadikan negeri ini mempunyai iklim kepulauan. Di negeri ini, bahkan musim panas pun bakal terasa dingin.
Mobil milik Bu Warsih jarang dipakai karena beliau lebih suka jalan kaki kalau ingin keluar rumah. Lagi pula, Leiden adalah kota kecil sehingga jarak satu fasilitas umum yang satu ke fasilitas lain sangat dekat. Jadi, orang-orang di kota ini lebih memilih jalan kaki atau naik sepeda.
Di dalam garasi Bu Warsih juga terdapat banyak sepeda milik teman-teman penghuni apartemen. Hanya dua orang yang belum punya sepeda. Aku dan seorang teman dari medan. Temanku memilih tak membeli sepeda lantaran setiap hari dia dijemput kekasihnya, seorang pria Belanda yang sudah punya mobil.
"Bu, apa nanti bisa sekaligus mengantarku beli sepeda?"tanyaku pada Bu warsih
Bu Warsih duduk di balik kemudi. Seperti biasa Wangi Coriander tropis membuat Ibu itu tampak bersemangat. Bu Warsih menyalakan mesin mobil sambil menoleh ke arahku.
"Rupanya sudah bosan jalan kaki ya? "Canda Bu Warsih sambil tersenyum.
"Hmmm, pemandangan di Leiden memang cantik sekali buat dinikmati sambil jalan kaki, Bu. Tapi, rasanya nggak lengkap kalau kuliah di Belanda tanpa punya sepeda. Kota ini kan kotanya para pesepeda"ujarku
Bu Warsih mengangguk-angguk setuju. Leiden disebut kota sepeda karena dimana-mana orang tampak memakai sepeda dan ada puluhan sepeda yang selalu berjajar di tempat parkir. Buktinya di depan stasiun utama, persisnya di sebelah kiri, ada sepeda yang diparkir bertingkat karena begitu banyal. Bahkan, banyak sepeda yang ditinggalkan pemiliknya sampai berminggu-minggu di tempat parkir, sampai roda depan atau belakangnya hilang.
Sambil menyetir, Bu warsih bercerita padaku tentang kota ini.
"Ada satu cara kalau ingin dapat sepeda gratis, Let, "ujar Bu Warsih
Aku mengerutkan kening. "Oh, ya? Di sini, Buk? "
Bu Warsih tertawa kecil "kalau kamu ingin punya sepeda gratis dan kuat dengan temperatur air yang dingin, coba saja terjun ke kanal"
"Hahaha, Ibu bercanda mulu ih"ucapku sambil tertawa kecil
"Wah, ini serius nak. Di kanal bisa ditemukan sepeda yang konon dilemparkan oleh anak muda Belanda yang sedang mabuk oleh Tuborg. Pemabuk-pemabuk itu suka melempar sepeda yang kebetulan diparkir dekat kanal dan kuncinya tidak dikaitkan ke tempat parkir atau pohon. Kanal disini kan sering dirawat dari pendangkalan. Nah, Ibu sering lihat sampahnya berupa sepeda"ujar Bu Warsih
Aku terkejut sekaligus tertawa. "wah, kalau sungai di Bandung, kebanyakan sampahnya cuma kantong plastik,Buk"seruku. Kami sama-sama tertawa.
🦂🦂🦂
Yeahh update lagi nih. Btw maaf ya kalau untuk berikutnya aku bakal telat update soalnya Author lagi sibuk ujian nih.
Thank youu
KAMU SEDANG MEMBACA
ALETHA √
Teen FictionFinish Aku cemburu Aku ingin memilikinya kembali Aku menyayangi dia " Ya, itulah yang sebenarnya aku rasakan. Aku tak mungkin bisa berpura-pura lagi. Aku tak bisa berbohong lagi. Aku tak bisa berpura-pura tak membutuhkannya. Sudah sekian lama kami...