Di meja komputer yang terletak di salah satu sisi kamar, Nisa terduduk sambil memainkan hp. Terheran ketika mendapati banyak pesan masuk.
Nis kok ndak masuk kerja?
Nis dimana?
Nis kok pak Ray bilang kamu risain?
Nis ada apa? Plis jangan bikin khawatir.
Nis cerita ke aku, plis!
Beberapa pesan dari Salma dua hari lalu yang baru sempat ia baca, masih banyak pesan lain yang diabaikan olehnya. Tangannya meraih kertas biru bersampul plastik yang terletak di keyboard komputer. Membaca ulang nama dua orang yang tertera, tercetak tebal di bagian depan sebagai sampul, Rayhan & Annisah.
"Nduk, sedang apa?" Bu Marni menghampiri Nisa.
"Hmm, ndak papa, Bu. Nisa bosan di rumah. Biasanya kan sibuk kerja." Meletakkan kertas undangan kemudian memeluk Bu Marni.
"Setelah menikah, pasti Nisa ikut Nak Rayhan." Bu Marni mengusap kepala Nisa yang tengah larut dalam pelukannya.
Nisa melepaskan pelukannya perlahan,
"Bu, ndak ada yang salah kan dengan menerima pinangan Pak Rayhan?" Nisa menatap Bu Marni.
"Apa yang membuat kamu berpikir ada kesalahan, Nduk?"
"Cinta, Bu. Sampai sekarang Nisa ndak tau perasaan Nisa ke Pak Rayhan itu apa. Padahal, Nisa calon istrinya."
"Itu karena kamu belum paham betul tentang personal Nak Rayhan, semua hanya persoalan waktu. Lagipula, Nduk pernikahan adalah ibadah termahal, nilainya setara dengan separuh agama. Modal utama untuk memulainya bukan cinta, harta, apalagi ketampanan atau kecantikan. Tetapi kesiapan untuk taat kepada Allah dan RosulNya. Menjadikan Al-Quran dan Sunnah sebagai tuntunan dalam memulai hingga menjalani kehidupan pernikahan."
Kalimat-kalimat Bu Murni membuat sirna kebimbangan hatinya.
"Nisa takut mengecewakan Pak Rayhan."
"Mengecewakan itu kalau Nisa menjadi istri Nak Rayhan, tapi hati Nisa menyimpan cinta untuk lelaki lain."
Kalimat ibunya kali ini membuat ia teringat Masjid Agung yang lama tak ia datangi, teringat imam sholat maghrib, teringat Pak Kiai, teringat Wira yang sering mengusik hati.
Mas Wira, apa kabar? Dulu, memperhatikanmu dari kejauhan adalah sebuah kebahagiaan. Kesederhanaan, keteduhan. Sampai seiring waktu Allah memperkenalkan, sungguh diluar dugaan.
Mas Wira, Nisa ndak tau bagaimana perasaan ini sebenarnya. Semakin Allah mendekatkan, semakin Nisa merasa biasa, meskipun kekaguman ini masih sama.
Mas Wira, Nisa pikir juga ndak perlu berlelah-lelah memikirkan, mendalami, ataupun menelaah perasaan ini. Karena belum tentu juga Mas Wira melakukan hal yang sama. Bapak berpesan, sebaiknya seorang perempuan ndak usah terlalu memusingkan hal yang belum pasti.
Entahlah, yang pasti hidup selalu bercerita tentang sebuah pilihan. Dan inilah pilihanku, salah atau benar akan menjadi tanggunganku.
***"Niiisaaa!!!" Salma berteriak sambil berlari dari kejauhan melihat Nisa muncul di halaman kantor Faeza Group.
Tak mempedulikan apapun, dia langsung memeluk Nisa seolah bertahun-tahun tak jumpa."Eits, ngomong-ngomong ada perlu apa kesini? Pak Ray sedang meeting penting." Tatapan Salma mengintrogasi.
"Siapa yang nyari Pak Rayhan. Aku cuma mau ambil beberapa barang yang masih tertinggal." Jawab Nisa cuek sambil berjalan melalui Salma.
KAMU SEDANG MEMBACA
Masjid Agung Kiai Ma'sum
General Fiction"Jatuh cinta adalah fitrah, menikah adalah taqdir. Jodoh sudah ditentukan. Tapi bisakah diubah? Menjadi jatuh cinta kepada jodoh, atau berjodoh dengan yang kita jatuh cintai. Bisakah?"