Mas Rayhan, maaf. Bukan maksudku untuk mengabaikan hari besarmu, Mas. Namun aku merasa, di tengah jutaan kebahagiaan di dalam sana, sangat ndak pantas aku terus berdiri menyangga luka. Aku mencintai istrimu, itu adalah kenyataan memalukan yang ndak mungkin aku katakan. Aku bisa melepas hasratku, aku bisa merelakan yang memang bukan taqdirku, hanya saja untuk berpura-pura terlihat bahagia, aku ndak mampu. Karena kini yang aku rasa, kemanapun kaki melangkah, ia seperti berjalan di atas pecahan kaca. Sampeyan tau rasanya? Perih.
Annisah, apa yang harus kukatakan tentangmu? Segala yang indah ada padamu meski kamu menorehkan luka di hatiku.
Fajar di ufuk timur tersennyum, mengusir embun-embun yang masih bergelayut manja pada dedaunan. Mengiringi langkah gontai Wira perlahan meninggalkan Masjid Agung. Kicauan burung bersautan, terabaikan olehnya yang sibuk berbicara dalam hati.
Srek srek srek, Wira berhenti ketika mendengar suara langkah kaki lain mengganggu lamunannya.
"Assalamualaykum, Ustadz! Akhirnya sampeyan berhenti juga."
Wira menarik napas lega ketika mendengar sapaan yang tak asing baginya, tersenyum kemudian membalikkan badan, "Waalaykumussalam warohmatullah, Ustadzah."
Keduanya menelungkupkan tangan di depan dada tanda memberi salam. Wira celingukan, pandangannya menyapu ke segala arah.
"Saya sendiri, Ustadz." Sambil tersenyum Retno bicara, seoalah mengerti gestur tubuh Wira.
"Oh, ndak ikut ke tempat Mas Rayhan?" Mereka berjalan beriringan, namun memberi jarak yang cukup jauh.
"Ustadz sendiri?"
"Aku mau ke pondok dulu."
"Sama."
Suasana hening sejenak. Digantikan dengan suara kendaraan bermotor yang mulai lalu lalang di jalan."Ustadz baik-baik saja, kan?" Retno memecah keheningan.
Wira tersenyum, mengusap muka tak menjawab. Kemudian suasana hening kembali.
"Ustadzah ndak ke syukuran? Najwa gimana?"
"Najwa baik-baik saja, lagipula ada Mba Nisa. Najwa ndak bakal kehilangan saya." Jelas Retno sambil menunduk, tersenyum kecut. Wira melirik sebentar ekspresi Retno.
"Ustadzah cemburu?"
"Apa orang-orang yang cemburu biasanya pergi untuk menghindari kebahagiaan orang?"
Perasaan Wira terhenyak mendengar pertanyaan Retno. "Maksudnya?"
"Ya seperti saya hari ini, pergi dari kebahagiaan Najwa yang menemukan sosok lain yang membuat dia nyaman."
"Mungkin. Bisa jadi."
"Jika mungkin, bagaimana dengan Ustadz sendiri? Siapa yang Ustadz cemburui?"
Wira terdiam, seperti ada sesuatu menyumbat pita suaranya. Sedang Retno terus memandang ekspresinya seolah menunggu jawaban.
"Kan saya bilang mungkin, belum tentu pasti." Wira berdalih.
"Baiklah, alasan diterima." Retno tersenyum lebar. Meski tak akrab, Retno paham betul sifat Wira yang sangat tertutup. Di depan manusia lain, yang ia bisa hanyalah tersenyum, tapi di hadapan dirinya sendiri, tak ada yang mengerti persis seperti apa keadaannya.
***Jam dinding besar di ruang tamu rumah Rayhan, menunjukkan pukul 22.00. Acara syukuran dan silaturahmi berjalan dengan lancar. Satu per satu undangan mulai meninggalkan tempat. Suasana haru sempat menghiasi ujung acara ketika Bu Marni pamit pulang.
Begitulah hidup, kebahagiaan ataupun kesedihan, pertemuan ataupun perpisahan yang silih berganti harus kita telan bagaimanapun itu rasanya.
"Nanti kan bisa maen tiap hari ke tempat Ibu, Nis." Rayhan membujuk Nisa yang masih terus memeluk Bu Marni.
KAMU SEDANG MEMBACA
Masjid Agung Kiai Ma'sum
General Fiction"Jatuh cinta adalah fitrah, menikah adalah taqdir. Jodoh sudah ditentukan. Tapi bisakah diubah? Menjadi jatuh cinta kepada jodoh, atau berjodoh dengan yang kita jatuh cintai. Bisakah?"