"Assalamualaykum warohmatullah, Mas Wira!" suara sapaan yang akrab ditelinganya membuat ia menghentikan langkah, membalikkan badan.
"Waalaykumussalam warohmatullah, Nisa." Jawabnya dengan senyum simpul.
Betapa dirinya merindukan saat saling sapa bersama Nisa. Jika tak mampu menahan ego dan gejolak hati, mungkin Wira sudah menghamburkan diri memeluk perempuan yang ia rindui kini berada di hadapannya."Mm apa kabar?" kalimat tanya yang terlontar dari mereka secara bersamaan, membuat suasana sedikit canggung. Masing-masing tersenyum tipis sambil sesekali menggaruk kepala mengalihkan rasa canggung tersebut.
"Oh ya, selamat ya Nis, semoga esok hari berjalan dengan lancar. Bahagia sekali pasti ya bertemu kekasih yang akan menggenapkan separuh agama. Aku seneng dengernya."
Kalimat Wira membuat Nisa tak bisa membalas dengan kalimat pula. Ia hanya tersenyum simpul sambil bertanya dalam hati sebenarnya apa yang dia ingin bicarakan hingga memberanikan diri menyapa Wira.
"Mm sampeyan kenapa buru-buru pergi? Ndak mau ikut rame-rame disana?"
Wira diam, melempar pandangan kearah kerumunan di teras masjid, menangkap sosok Rayhan yang asyik bergurau dengan Najwa.
"Nisa!" tatapannya berubah serius tepat di bola mata Nisa.
"Ya!"
"Aku senang sekali Mas Rayhan akan menikah, apalagi calon istrinya itu sampeyan?"
"Mas Rayhan?" Nisa mengernyitkan dahi, agak sedikit heran dengan cara Wira menyebut Rayhan.
"Ya. Aku tumbuh besar bersama Mas Rayhan. Aku tau betul bagaimana dia. Sampeyan beruntung sekali."
"Sampeyan kenal dekat tho sama Mas Rayhan?"
"Nanti setelah kalian resmi menikah, sampeyan bisa tanya langsung ke Mas Rayhan tentang ini. Yang jelas Nisa, aku pesan satu hal, jangan pernah membuat Mas Rayhan sakit hati, sampeyan adalah sumber bahagianya. Nisa, bagiku Mas Rayhan adalah malaikat, aku bisa melihat dua sayap di punggungnya. Mas Rayhan pantas mendapatkan balasan berupa limpahan kebahagiaan, dia ndak pantas mendapatkan kesengsaraan dalam bentuk apapun. Jadi Nisa, sampeyan akan jadi bagian darinya, sampeyan akan menjadi satu-satunya manusia yang paling dekat denganya, 365 hari dalam setahun, 30 hari dalam sebulan, 7 hari dalam seminggu, 24 jam dalam sehari, sampeyanlah satu-satunya. Jadi, aku mohon jaga hatinya, jaga raganya, jaga Mas Rayhan ya, aku-"
Wira tiba-tiba gagap, merasakan ada sesuatu menyumbat pita suaranya, matanya tiba-tiba berkaca-kaca. Dan ia tak paham kenapa.
Nisa tertegun, "sampeyan sedih?" sambil mendekatkan wajahnya guna mempertegas garis muka Wira yang terlihat menahan air mata.
"Aku cemburu Nisa, maka dari itu aku buru-buru pergi." Suaranya parau, tertahan tapi masih sempat membuat jantung Nisa berdetak semakin tak karuan.
"Maksud sampeyan apa?"
Wira terdiam, dia bingung harus jawab apa. Bahkan dia bingung kenapa kata cemburu harus terlontar dari mulutnya. Ia menatap tepat ke mata Nisa yang tengah menatapnya pula dengan seksama.
"Sejak jatuh cinta sama sampeyan, aku dimata Mas Rayhan hanya menjadi nomer kesekian." Setelah memutar otak, akhirnya kalimat itulah yang berhasil ia ucapkan.
Nisa menarik napas, tersenyum kemudian menimpali, "Astaghfirullah hampir aja."
"Kenapa? Jangan salah paham, aku cemburu layaknya seorang adik ke mas nya. Kan aku masih normal." Celetuk Wira sambil tersenyum tipis membuat Nisa tertawa kecil.
KAMU SEDANG MEMBACA
Masjid Agung Kiai Ma'sum
General Fiction"Jatuh cinta adalah fitrah, menikah adalah taqdir. Jodoh sudah ditentukan. Tapi bisakah diubah? Menjadi jatuh cinta kepada jodoh, atau berjodoh dengan yang kita jatuh cintai. Bisakah?"