Menempuh Hidup Baru (5)

131 10 0
                                    

Sayang, buka mata ya, dan jangan pernah menangis lagi! Karena bersama dengan kesulitan ada kemudahan, dan bersama kesulitan itu ada kemudahan.
***

Bu Hani yang duduk menyandarkan kepala di pundak Retno tak henti-hentinya menyeka mata dengan tisu sambil terus berucap, "Rayhan, Annisa!"

Sementara Bu Marni duduk bersebelahan dengan Wira. Tatapannya kosong. Ia seperti mengulang kejadian 13 tahun yang lalu, ketika suaminya harus pergi meninggalkan dirinya dan Nisa untuk selamanya.

Hanya Pak Rama yang berdiri bersandar di dinding dekat pintu ruang gawat darurat. Kepalanya menunduk dalam, mulutnya komat kamit memanjatkan doa.

Krek, terdengar pintu terbuka, dokter pribadi yang biasa menangani keluarga Rayhan keluar membuat semua orang yang menunggu dalam cemas langsung berdiri menghampiri.

"Gimana Dok?" Pak Rama yang terlebih dulu bertanya.

"Annisa dan janin di kandungannya baik-baik saja. Memang ada beberapa luka di kepala namun tim kami sudah bisa menangani."

Bu Marni dan Bu Hani saling tatap dan melempar senyum mendengar penuturan dokter.

"Maksudnya, Nisa hamil?" Pak Rama mengaskan.

"Iya Pak. Usia kandungannya sudah empat minggu."

"Alhamdulillah." Semua orang bersyukur atas kabar baik yang disampaikan oleh dokter. Bu Hani dan Bu Marni berpelukan erat.

"Tapi Rayhan-

Wajah mereka seketika kembali tegang, Bu Hani dan Bu Marni saling melepaskan pelukan.

"Rayhan kenapa?" Pak Rama tak sabar dan sedikit berteriak.

"Rayhan mengalami dampak yang sangat serius. Dadanya mungkin sempat menerima benturan hingga membuat limfanya pecah. Benturan di kepalanya juga sangat keras, menyebabkan pendarahan otak serius. Saya dan tim sudah berusaha semaksimal mungkin. Tapi Allah berkehendak lain."

Innalillahi wa innaillaihi roji'un
Masing-masing mereka berucap lirih dengan mulut yang bergetar.

Bu Hani yang mendengar penuturan dokter langsung jatuh pingsan, beberapa perawat langsung turun tangan. Tangis Bu Marni pecah.

"Apa yang sampeyan katakan? Bicara yang benar?" Pak Rama kalap, ia mencengkeram kerah jas Pak Dokter yang mengabarkan kematian Rayhan.

"Kami minta maaf, kamu sudah berusaha, dan kami mengatakan keadaan yang sebenarnya." Dokter mengakhiri kalimat sambil menunduk dalam-dalam.

Pak Rama yang tadinya berdiri kini ambruk ke lantai, bertekuk lutut, lemas seluruh badannya. Sedangkan Retno menatap ke arah Wira yang berdiri mematung memejamkan mata, berharap pemandangan yang membuat luka lama di hatinya kembali tersingkap ini hanyalah sebatas mimpi.

Tapi ketika ia kembali membuka mata, keadaan semakin kacau dengan suara tangisan yang tiada henti. Sontak Wira menerobos dokter dan beberapa perawat yang masih berdiri di depan pintu, berjalan cepat mendekat ke tempat dimana Rayhan terbaring pucat, memjamkan matanya erat.

Mas Rayhan, kenapa Mas Rayhan tinggalin Nisa? Kenapa Mas Rayhan tega? Nisa sedang mengandung anakmu, Mas. Jangan pergi!

Tanpa bersuara Wira duduk di bangku menatapi wajah Rayhan. Air matanya tak bisa dibendung lagi ketika mengingat masa-masa yang telah lalu. Teringat perbincangan terakhir mereka via telpon.

"Aku,- (Wira sesenggukan) aku mencintaimu, Mas!" Terbata-bata ia mengeluarkan suara lalu membenamkan wajahnya di samping tubuh Rayhan, membiarkan dirinya melepaskan tangis.

Masjid Agung Kiai Ma'sumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang