Masjid Agung Kiai Ma'sum

155 16 0
                                    

Hari ini, satu hari sebelum dilangsungkannya akad nikah Rayhan dan Nisa. Ba'da isya, para santri pondok Ar Rayyan memenuhi Masjid Agung. Beberapa diantara mereka membersihkan lantai, mengelap kaca, memasang karpet, mendekor halaman masjid dengan berbagai macam bunga. Wajah mereka penuh keceriaan, bersenda gurau ditengah lantunan lagu-lagu sholawat yang sengaja distell sebagai pembangkit semangat.

Nisa dan Bu Marni baru saja hadir bersama Rayhan untuk menyaksikan persiapan venue di hari H.

"Kok berlebihan dekorasinya? Kan ndak baik to Buk masjid didekorasi?" Nisa yang baru turun dari mobil terheran melihat antusias anak-anak pondok memperindah tampilan masjid tanpa sepengetahuannya.

"Mereka dekor di luar aja Nis, di dalemnya ndak diapa-apakan kok. Paling cuma dibersihkan." Rayhan yang menjawab.

Di seberang sana, tampak lelaki tua tergopoh-gopoh memasang senyum lebar, mendekat, memeluk Rayhan erat.

"Anakku!" Ucap Pak Kiai lirih dalam pelukan Rayhan.

Nisa memperhatikan ekspresi Rayhan. Dia tampak tersenyum, matanya berkaca-kaca tapi tetap bercahaya. Nisa tak mengalihkan pandangan sampai Bu Marni menyikut lengannya memberi kode agar meninggalkan Pak Kiai dan Rayhan berdua saja.

Masjid Agung Kiai Ma'sum, kubah berwarna keemasan, taman kecil mengelilingi bangunannya, Pak Kiai, imam sholat maghrib, sepeda onthel, dan Wira. Itulah beberapa hal yang terlintas dalam benak Nisa ketika mendengar kalimat Masjid Agung Kiai Ma'sum.
Rayhan? Entah dari paragraf mana dirinya muncul dalam diary kehidupan Nisa.

Adakah yang pernah merasa, mencintai suatu tempat seperti aku mencintai Masjid Agung?

Aku mulai merangkai mimpi sejak pertama kali menginjakkan kaki di sini. Bukan kebetulan, aku sengaja mengikut seseorang. Seseorang yang entah mengapa menjadi sosok yang sangat aku dambakan.

Seseorang dengan koko, sarung, peci, dan sepeda onthelnya. Ya, sebagai perempuan biasa yang haus akan ilmu agama, aku mulai mendambakannya menjadi penyempurna agama.

Bagiku, Masjid Agung adalah jamaah sholat maghrib, Masjid Agung adalah lantunan surah pendek imam sholat maghrib, Masjid Agung adalah Pak Kiai, Masjid Agung adalah laki-laki pengayuh sepeda, Masjid Agung adalah Wira.

Lalu, beri tau aku, bagaimana aku bisa mengubah definisi Masjid Agung yang sudah paten di otakku dengan kemunculan Rayhan?

"Nduk, ada Pak Kiai sama Nak Rayhan itu." Cubitan Bu Marni membuyarkan lamunan Nisa.

"Astaghfirulloh, ada apa Pak Kiai?" Nisa gugup.

"Ayo kesini, duduk ngobrol-ngobrol." Ajak Pak Kiai sambil berjalan menuju emperan Masjid Agung.

Nisa dan Bu Marni duduk lesehan berhadapan dengan Pak Kiai dan Rayhan.

"Bapak mau kenalin kamu ke qori di acara akad nikahmu besok."

"Maksudnya, imam sholat maghrib?" Mata Nisa berbinar, wajahnya sumringah, meremas-remas jemari menutupi kegugupan yang lainnya.

"Iya, Nduk!" Pak Kiai tersenyum memperhatikan tingkah Nisa yang lebih atraktif dari biasanya.

"Yang sopan!" Bu Marni berbisik pelan sambil melirik Rayhan seolah berbicara 'jangan banyak tingkah di depan calon suamimu'. Nisa menurut.

"Apa dia hadir juga malam ini, Pak Kiai? Dimana?" Nisa tak sabar.

"Tentu dia datang, dia di hadapanmu sekarang." Ucap Pak Kiai lembut sambil menyentuh punggung tangan Rayhan.

Nisa menelan ludah, mengernyitkan dahi, sambil menunjuk ke arah Rayhan, ragu-ragu ia bersuara, "maksudnya imam sholat maghrib selama ini, Pak Rayhan?"

Masjid Agung Kiai Ma'sumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang