Matahari tenggelam sempurna menyisakan hembusan angin sepoi-sepoi yang membawa gerimis sampai pada halaman Masjid Agung At Taubah. Di dalam, ada lima shaf laki-laki berjajar rapih, dan di balik tirai pembatas, dua shaf perempuan pun tak kalah rapih.
Sholat maghrib berjama'ah telah sampai pada rakaat terakhir, dipimpin oleh Rayhan yang tengah memperkeras bacaan sholat agar tak tenggelam oleh suara gerimis yang mulai menjadi hujan yang sangat deras.
Seusai salam, tak sedikit jamaah yang tetap duduk di posisinya. Rayhan dan Nisa pun sama, mereka menunggu hujan di luar sana mereda.
Melihat jama'ah yang tetap pada posisi semula, Kiai Ma'sum berdiri lalu berjalan ke arah mimbar. Ia duduk di bangku, membenarkan mikrofon kemudian membuka sesi tanya jawab."Assalamu'alaykum Pak Kiai!" Salah seorang jama'ah laki-laki berusia sekitar 25 tahunan mengangkat tangan membuat semua mata tertuju padanya.
"Wa'alaykumussalam warohmatullahi wabarokatuh. Ada yang mau sampeyan tanyakan anak muda?" Suara Kiai Ma'sum lembut, wajahnya tersenyum cerah.
"Pak Kiai, dengan siapa nanti kita di surga?"
Kiai Ma'sum tersenyum, "Nak Rayhan, coba bacakan Qur'an surah Fushshilat ayat 31!"
Rayhan memejamkan mata sejenak, berusaha membuka lembaran Qur'an di ingatannya. Tak lama ia langsung melantunkan surah yang diminta Kiai Ma'sum dengan sempurna.
"MasyaAllah, arti dari surah itu adalah bahwa di dalam surga nanti kita akan mermperoleh segala kenikmatan yang kita inginkan, yang kita minta."
Jama'ah mengangguk serempak.
"Coba surah Ar Ra'du ayat 23 Nak Rayhan!" Lanjut Kiai Ma'sum.
Rayhan kembali membuka lembaran-lembaran Qur'an yang ada di ingatannya kemudian melantunkan kembali ayat Al-Qur'an yang diminta oleh Kiai Ma'sum dengan sempurna.
"MasyaAllah. Di ayat ini Allah masih bercerita tentang kenikmatan di dalam surga, yaitu kenikmatan berkumpul dan masuk surga bersama keluaraga. Seperti ini arti firman Allah tersebut,
(yaitu) surga ‘Adn yang mereka masuk ke dalamnya bersama orang-orang saleh dari bapak-bapaknya, istri-istrinya dan anak cucunya. Surah Ar Ra'du ayat 23."
Jama'ah mengangguk paham.
"Bagaimana dengan istri Pak Kiai?" Salah seorang pria paruh baya mengangkat tangan sambil bertanya.
"Seorang istri, adalah menjadi bidadari untuk suaminya yang terakhir."
Tak terasa, forum tanya jawab yang diadakan oleh Kiai Ma'sum berlangsung lumayan lama. Sampai air hujan yang turun menghujam halaman masjid sudah mereda, dan waktu isya pun akhirnya tiba. Kiai Ma'sum memberi aba ke salah satu jama'ah untuk mengumandangkan adzan. Beberapa jama'ah kembali mengambil wudhu dan kembali ke shaff masing-masing lagi untuk melaksanakan sholat isya berjama'ah yang dipimpin oleh Wira.
*Aneh, gerimis malam ini kayak jatuh tepat di permukaan hati menekan lapisannya perlahan, membentuk kawah luka, perih, menyesakkan dada.
Wira berdiri beberapa langkah dari bibir pintu Masjid Agung melihat Rayhan dan Nisa berjalan berdampingan menuju mobil. Rayhan melindungi kepala Nisa dari rintikan gerimis dengan jaketnya.
"Masih mau menikah jumat depan?" Suara Kiai Ma'sum membuat Wira kaget, ia langsung memalingkan wajah ke segala arah sambil bersuara lirih, "masih lah, Bah!"
"Abah ndak yakin."
"Terserah Abah aja mau yakin apa ndak. Yang mau menikah kan Wira."
Seolah tak ingin mendengar lagi tanggapan Kiai Ma'sum, Wira memilih langsung berjalan menuju halaman menerjang gerimis yang masih berjatuhan. Mengambil sepeda onthel, mengendarainya hendak ke pondok Ar Rayan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Masjid Agung Kiai Ma'sum
General Fiction"Jatuh cinta adalah fitrah, menikah adalah taqdir. Jodoh sudah ditentukan. Tapi bisakah diubah? Menjadi jatuh cinta kepada jodoh, atau berjodoh dengan yang kita jatuh cintai. Bisakah?"