Di ruang tamu yang sangat luas, Retno duduk mematung dengan kepala menunduk.
"Ada apa Ret?" Rayhan mencoba bertanya untuk kedua kalinya karena Retno tak kunjung bersuara.
"Ada masalah di pondok? Tentang Najwa? Atau apa?" Rayhan kembali bersuara.
Tak menjawab, Retno hanya melirik ke arah Nisa."Mm, aku ke kamar dulu ya!" Ucap Nisa ketika manangkap bahasa tubuh Retno yang merasa terganggu dengan kehadirannya.
"Ndak enak badan lagi apa?" Rayhan bertanya lembut sambil menyeka kening Nisa. Nisa hanya menggeleng sambil berjalan ke arah tangga kemudian menaiki anak tangga satu per satu.
"Hmm, aku ndak bakat lho Ret nebak isi kepala orang. Ndak pernah belajar ndukun soalnya. Kalau mau cerita ayok, kalau mau diem aja ya mending aku ke ruang kerja, kerja." Rayhan mulai berdiri hendak meninggalkan ruang tamu
"Mas, tunggu!" Akhirnya Retno bersuara. Rayhan tersenyum, kembali duduk.
"Aku.. Aku ingin melamar Ustadz Wira." jelasnya lirih membuat Rayhan kaget terbelalak dan spontan berucapa 'apa?' dengan nada lumayan tinggi.
*"Apa? Melamar Ustadz Wira?" Nisa kaget, menelan ludah berkali-kali mendengar suara dari seberang telepon.
"Emang kenapa sih?"
"Astaghfirullah Sal, konyol banget sih sampeyan itu.
"Konyol? Bukannya boleh ya perempuan melamar laki-laki? Terus bukannya patokan kita mencari pasangan hidup itu ya pertama parasnya, kedua hartanya, ketiga tahtanya, keempat agamanya. Nah itu komplit ada di Ustadz Wira semua." Dengan polosnya Salma menyuarakan pendapat.
Apa yang ada di pikiran Salma tentang Mas Wira? Kenapa berani sekali dia?
"Halo Buk, Ibu masih disitu kan?" Celetuknya kagi karena Nisa belum merespon.
"Iya iya tau, tapi pahami dulu ilmunya Sal. Kenali dulu pemudanya, timbang matang-matang. Ini menyangkut pernikahan lho. Disamain kayak ngambil hidangan prasmanan aja." Nada Nisa sedikit meninggi.
"Duh Bu Annisah istri Bapak Rayhan, aku udah tau itu Ustadz orang baik-baik. Kan ustadz."
Nisa memejamkan mata tak mengerti harus berkata apa. Ingin mencegah tapi bukan haknya, hendak mendukung tapi kurang yakin. Ia memilih mematikan sambungan telepon daripada melayani perbicaraan yang ia rasa entah berlabuh ke arah mana. Memijit-mijit batang hidungnya pelan sambil sambil bergumam dalam hati, "mimpi apa aku semalem? Eh, Mas Rayhan sama Retno lagi ngomongin apasih? Duh, rungsing banget sih ini pikiran, kayak pohon kebanyakan cabang. Astaghfirullah."
*"Kenapa? Emang se ndak pantas itu Retno buat Ustadz Wira?"
"Bukan Ret. Tapi, apa udah dipikir matang-matang?"
"Apalagi yang perlu Retno pikirkan, Mas. Retno udah cape banget menyimpan hati, mencintai dalam doa. Perasaan yang ada di hati Retno ndak bisa lagi disuruh menanti dalam diam, Mas. Dia butuh kepastian. Kalaupun-
"Apa?"
"Kalaupun nanti Ustadz Wira ndak menerima lamaran Retno. Itu ndak masalah. Seenggaknya, lewat jawaban Ustadz Wira nantinya, Retno bisa tau mesti berbuat apa."
Rayhan memejamkan mata sambil memijit-mijit batang hidung pelan.
Aku yang ndak tega lihat kamu kecewa Ret. Karena Mas Rayhan tau ke siapa hati Wira menuju. Mas Rayhan pengen sampeyan itu dapat pendamping yang mencintai sampeyan sepenuh hati.
"Mas!" Seru Retno.
"Mas ndak tau mesti gimana, jujur. Kita butuh Pak Kiai untuk masalah ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Masjid Agung Kiai Ma'sum
Ficción General"Jatuh cinta adalah fitrah, menikah adalah taqdir. Jodoh sudah ditentukan. Tapi bisakah diubah? Menjadi jatuh cinta kepada jodoh, atau berjodoh dengan yang kita jatuh cintai. Bisakah?"