Akhir Kisah Annisa-Wira

245 16 7
                                    

Menunggu senja di sore hari, Pondok Yatim Ar Rayyan terlihat begitu ramai. Kuncup-kuncup bunga merekah sempurna bergoyang-goyang tertiup angin sepoi-sepoi.

"Najwa, sini!" Wira yang tengah duduk di bangku taman meneriaki Najwa.
Dengan wajah sumringah dan tawa gembira Najwa berlari ke arah Wira.

"Nih!" Wira menyodorkan dua buah polybag kecil.

"Apa ini Ustadz?"

"Ini bibit bunga lili blasteran."

"Hah? Serius?" Mata belonya berbinar.

Wira mengangguk. Najwa langsung berlari menuju arah kerumunan para santri, memamerkan bibit bunga lili yang ia dapat dari Wira.

"Ngelamun, Le?" Kiai Ma'sum tiba-tiba duduk di samping Wira.

Menyaksikan Wira yang terus tersenyum, Kiai Ma'sum mengekor pandangan mata Wira. Ia mendapati Bu Marni dan seorang perempuan berhijab tengah saling bercanda, asyik bermain dengan dua makhluk kecil yang berada di dua troler berwarna hitam.

"Oh, lagi ngliatin bidadari ngasuh bayi?"

"Abah ini bicara apa to?" Wajah Wira memerah menahan malu.

"Lhawong sampe ndak kedip gitu matanya." Kiai Ma'sum terus menggoda.

Wira hanya melirik, tak menanggapi. Tak lama dua perempuan yang sedari tadi Wira perhatikan berjalan mendekat ke arahnya sambil mendorong stroller bayi.

"Eh, ada Pak Kiai. Assalamu'alaykum!" Salma mengucap salam ramah.

"Wa'alaykumussalam. Sudah lama Nduk disini?"

"Lumayan, hari ini kantor setengah hari. Terus Ustadz Wira ngajakin nengokin si kembar ni. Ndak ada salahnya ajak main bentar." Tutur Salma yang kemudian berjongkok, mengusap-usap pipi bayi kembar Nisa bergantian.

"O diajak Ustadz Wira!" Kiai Ma'sum menekankan kalimatnya, membuat Wira sedikit melotot ke arah Kiai Ma'sum disusul Bu Marni yang diam-diam tertawa kecil.

"Ya udah lah, kalian berdua jagain disini. Ada yang mau Abah bicarakan sama Bu Marni." Kiai Ma'sum berucap sambil menoleh ke arah Bu Marni. Bu Marni mengangguk, kemudian mengikut Kiai Ma'sum menghamburkan diri bersama para santri yang sedang asyik merawat tanaman meninggalkan Wira dan Salma di taman dekat gerbang.

"Hmm." Salma duduk di bangku, bersebelahan dengan Wira tapi tetap memberi jarak, menghela napas panjang, menghembuskan perlahan.

"Kenapa?"

"Kadang taqdir itu aneh, ya. Sampeyan merasa ndak?"

"Aneh gimana?"

"Saya masih kepikiran lho waktu sampeyan bilang ke dokter untuk selamatkan Nisa. Dan dokter pun berusaha untuk itu. Tapi lihat hasilnya, si kembar ni tetap hidup dengan lucunya. Gemes." Ucap Salma sambil mengusap-usap pipi bayi kembar di hadapannya.

"Ya itulah rahasia Allah, Sal. Allah selalu tau apa yang terbaik untuk umatNya. Siapa sangka, kan Yusuf dan Zulaikha yang masih bayi ini ternyata jauh lebih kuat dibanding Nisa. Ibunya."

"Tapi kasihan sekali mereka berdua ini, di dalam kandungan ia kehilangan bapak, pas lahir mereka kehilangan ibu."

Wira menatap Salma yang memandang iba kedua bayi yang tengah pulas memejamkan mata.

"Jangan salah, mereka punya Paklik Ustadz yang bakal nemenin perjalanan mereka melewati taqdir-taqdir yang sudah digariskan."

"Siapa itu?"

"Saya lah."

Mereka tertawa bersama kemudian, membuat Kiai Ma'sum dan Bu Marni yang memantau mereka dari kejauhan ikut tersenyum sambil mengangkat kedua alis.

"Ustadz. Apa sampeyan punya doa yang ndak diijabah sama Allah?" Dengan muka polos yang khas Salma bertanya.

"Bukan ndak diijabah Sal. Tapi belum."

"Kok yakin sekali sampeyan kalau belum?"

"Ya karena saya yakin Allah pasti ijabah semua doa hambaNya. Apalagi yang suka bermanja. Kita cuma butuh kesabaran aja. Karena ndak semua doa langsung diijabah seketika. Ingat kisah Nabi Zakaria? Nabi Zakaria menunggu keturunan selama berpuluh-puluh tahun, sampai rambutnya memutih. Beliau seorang Nabi yang terjaga dari dosa saja masih disuruh nunggu selama itu. Lalu, siapa kita yang hanya manusia biasa tapi menuntut agar Allah langsung memenuhi segala apa yang kita pinta."

Salma tersenyum menatap Wira.
"Memangnya apa doa sampeyan yang belum diijabah?"

"Menikah." Wira menjawab sambil menatap Salma dalam. Seketika Salma menundukkan pandangan, meremas-remas telapak tangan yang berkeringat, merasakan jantung yang berdebar lebih cepat.

"Salma, sampeyan sayang kan sama Yusuf Zulaikha?"

Salma menatap ke arah bayi kembar yang masih tertidur pulas kemudian mengangguk dengan mata berkaca-kaca.

"Ibu dari anak-anak ini adalah manusia terbaik yang pernah Salma temui. Bagaimana bisa saya ndak jatuh cinta sama mereka?"

"Sampeyan mau merawat mereka sama saya?"

Salma melongo, menatap Wira yang tengah memandangnya dengan tatapan yang paling indah.

"Sampeyan mau kan menikah sama saya?" Wira berucap lagi membuat detak jantung Salma semakin tak beraturan.

"Apa sampeyan sedang melamar? Setau Saya bukan seperti ini cara seorang Ustadz melamar."

Kalimat yang keluar dari mulut Salma membuat Wira tersenyum lebar.

"Tunggu aja di rumah. Saudara kembar direktur utama Faeza Grup beserta keluarga bakalan datang melamar."

Salma tertawa kecil mendengar pernyataan Wira.

"Ditunggu ya!"
***

Masjid Agung Kiai Ma'sum mungkin telah mengantarkan Rayhan bertemu dengan bidadari syurgaNya. Mengantarkan Annisa bertemu dengan laki-laki yang penuh kasih sayang dan bertanggung jawab seperti bapaknya.

Masjid Agung Kiai Ma'sum mungkin juga telah menyatukan sepasang anak kembar yang terpisah sejak lama. Membuat Salma akhirnya tau bahwa tidak ada doa yang sia-sia.

Masjid Agung Kiai Ma'sum dengan segala kisah anak-anak manusia di dalamnya. Berjalan beriringan dengan waktu melewati taqdir-taqdir yang telah tertulis. Mengajari mereka tentang apa itu cinta, apa itu ikhlas, apa itu luka, apa itu berkorban, apa itu kesedihan ,apa itu kehidupan.

Dan untuk Yusuf dan Zulaikha. Masjid Agung Kiai Ma'sum menanti kisahmu, Nak!
***

TAMAT

Masjid Agung Kiai Ma'sumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang