Ketika Hari itu Tiba

151 13 0
                                    

Lalu lintas lengang, bulan purnama menyorot sempurna menambah terang lampu-lampu jalan yang mengiringi kemelut pikiran Rayhan. Nisa dan Bu Marni sudah ia antar pulang. Tersisa dirinya dan ribuan tanya yang belum sempat ia tanyakan.

Semoga saja memang ndak seperti yang aku pikirkan, kalau iya, sudah keberapa kian kali aku merebut posisinya?

Setengah melamun, Rayhan tetap menyetir mobil pelan. Arloji di tangannya sudah menunjukkan pukul 22.00. Ia harus segera sampai dan beristirahat karena besok harinya begitu padat.

"Mas Rayhan, malam banget pulangnya?" Tegur satpam rumah yang beberapa detik lalu membukakan pintu pagar untuk Rayhan.

"Iya, Pak. Tadi sengaja pelan-pelan nyetirnya sambil menikmati suasana jalan. Nih buat sampeyan!" Rayhan menyodorkan bungkusan plastik.

"Martabak? Masyaa Allah, makasih Mas. Mas Rayhan selalu aja baik sama Bapak. Bapak doakan acara Mas Rayhan besok bukan cuma lancar, tapi juga diberkahi sama Gusti Allah, aamiin."

"Aamiin." Rayhan menjawab untuk kemudian berlalu, membuka pintu masuk ke dalam rumah.

Sejak hari ini, Rayhan sudah menempati rumah baru. Rumah yang akan ia gunakan untuk menghabiskan waktu bersama keluarga kecilnya nanti. Tak sebeasar rumah keluarganya, tapi tetap penuh dengan perabotan mahal kekinian, dan juga desain interior dan eksterior apik yang membuat rumah bercat biru itu terlihat begitu mewah.

Sudah sejak lama ia membeli rumah dan merancang sendiri impian tentang membangun sebuah keluarga harmonis.
Biasanya ia hanya datang ke rumah ini untuk sekedar menyapa Pak Jono, satpam rumah dan Mbok Imah,  yang mengurus seluruh isi rumah. Kali ini, Rayhan sudah mulai menempatinya dengan harapan-harapan baru di kehidupannya yang baru.

Sampai di kamar utama, Rayhan melepas sepatu, merebahkan badan lepas ke kasur. Sambil menatap langit-langit kamar pikirannya tak berhenti bekerja.

*
Setelah selesai berwudhu dan merapihkan lengan baju, Rayhan sedikit kaget ketika melihat tubuh Pak Kiai ambruk di bahu Wira. Refleks, ia cepat-cepat melangkahkan kaki hendak menghampiri beliau. Namun, dalam beberapa langkah dari mereka, Rayhan memutuskan mengurungkan niat ketika mendengar Pak Kiai berkali-kali mengatakan, "maafkan abah, maafkan abah," di balik bahu Wira.

Rayhan mengernyitkan dahi, tak mengerti apa yang sedang terjadi antara keduanya. Namun kemudian ia paham ketika Wira melanjutkan bicara.
"Wira paham sekarang, Abah memberi perintah agar Wira melamar Nisa karena Abah sudah tau rencana Mas Rayhan. Abah baik, memberi jalan yang sama buat Wira dan Mas Rayhan. Dan mungkin Wira ndak seteguh Mas Rayhan. Ya sudahlah, Bah. Abah sudah mengartikan nama Wira sebagai laki-laki yang berani kalah. Ndak papa, Bah. Wira ndak papa."

Wira mencintai Nisa? Calon istriku. Ya Allah.

Sejak saat itu pikiran Rayhan sedikit kacau. Langkahnya menjadi tak semantap biasanya ketika hendak memimpin shaf sholat. Tiba-tiba masa kecilnya dan Wira tergambar jelas. Wira si rapuh, dan ia yang tak menepati janji. Hatinya perih, dadanya sesak, kepedihan menyeruak hingga surah Yusuf yang ia lantunkan terdengar penuh kesedihan.
*

Masih dalam posisi berbaring yang sama, pikiran Rayhan terus bekerja sampai pada mengingat adegan Nisa berdiri berhadapan dengan Wira di gerbang masjid malam tadi, seolah terlibat percakapan yang serius.

Sebenarnya apa yang terjadi antara Nisa dan Wira? Wira mencintai Nisa, itu pasti. Tapi apa Nisa juga mencintai Wira?  Apa yang mereka bahas tadi?  Tapi kalau Nisa mencintai Wira, kenapa dia menerima lamaranku? Astagfirulloh

Menyadari dirinya yang kian kacau, hati yang resah, dan pikiran yang semakin membuat gelisah. Rayhan beranjak, mengambil wudhu kemudian sholat.

Ya Allah ya Rabbi, hamba datang dengan keresahan hati.
Wahai Sang Maha Agung, jika besok acaraku menunaikan perintahMu berjalan lancar, itu semua karena kuasaMu. Tapi jika tidak, itu juga karena kuasaMu. Hamba pasrahkan urusan hamba esok hari padaMu. Karena keputusanMu tak pernah mengecewakanku.

Masjid Agung Kiai Ma'sumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang