Yang Tak Terungkap (2)

133 12 0
                                    

"Istirahat dulu Nduk!"
Bu Marni menghampiri Nisa yang masih fokus menatap layar komputer di ruang kerja, ia membawakan air putih dan obat yang mesti diminum Nisa tiap malam.

"Iya, Bu. Bentar!" Nisa menoleh sebentar sambil memasang senyum lalu kembali fokus bekerja.

"Udah jam 9 malam. Minum obatnya dulu."

"Nanti aja, Bu! Obat itu bikin ngantuk, nanti kerjaan Nisa ndak kelar."

Bu Marni tak bicara lagi, dia duduk di sofa menemani Nisa sambil membereskan buku-buku dan map-map tak terpakai, menyusunnya ke rak kecil. Di sela-sela map, ia menemukan foto hasil USG Nisa yang terakhir.

"Ini hasil USG mu kemarin, Nduk?"

Nisa berhenti mengetik, "Eh iya, Bu. Nisa belum sempet kasih tau ibuk ya?"

"Anakmu kembar?"

"InsyaAllah, Bu!"

"MasyaAllah!" Bu Marni berkaca-kaca menatap poto bayi-bayi kecil yang menggemaskan.

"Oh ya, Bu. Di keluarga kita apa ada keturunan kembar? Setauku kan ibu sama bapak anak tunggal. Simbah juga udah ndak ada."

Bu Marni terdiam, pandangannya menerawang, dahinya mengkerut, "mmm ada."

"Oh ya! Siapa, Buk?"

Bu Marni belum sempat menjawab, ponsel Nisa yang tergeletak di meja tiba-tiba berdering.

"Assalamu'alaykum warohmatullah, Mas!"

"Wa'alaykumussalam warohmatulah, Nis. Lagi sibuk?"

"Mm lagi nyatet poin-poin penting aja buat sampeyan besok."

"Kenapa ndak istirahat aja. Aku tau kok apa yang mesti dikerjain besok."

"Bentar lagi juga kelar. Aku ndak mau ada salah-salah. Jadi mesti detail pokoknya."

"Bener juga kata Salma kalau masalah kerjaan sampeyan ini mirip sama Mas Rayhan."

"Hee!" Nisa nyengir.

"Oh iya Nis."

"He em?"

"Aku minta maaf atas nama Retno, aku ndak habis pikir dia bisa ngomong kasar ke sampeyan."

Nisa menarik napas panjang, menatap ke arah Bu Marni yang tengah mentapnya pula.

"Udah ndak usah dibahas. Mas Wira denger obrolan aku sama Salma tadi?"

"Hee, iya. Tapi tenang aja, besok aku mau ngomong ke Retno. Aku mau kasih keputusan."

"Alhamdulillah. Memang seperti itu harusnya dari dulu, Mas."

"Iya."

"Jadi, kapan kalian menikah?"

"Itu tergantung Retno."

"Lho?"

"Aku kan mau fokus bantuin sampeyan sama Pak Rama di kantor. Kalau dia terima ya kita bisa nikah, kalau ndak ya udah."

"Memangnya ada kemungkinan Mba Retno ndak bakal terima?"

"Besar kemungkinannya. Dia kan cemburu sama sampeyan?"

"Cemburu? Atas dasar apa?"

"Aku juga ndak tau. Ya udah lah Nis, aku cuma mau minta maaf malah curhat."

"Hmm, ndak ada yang perlu dimaafin, Mas."

"Ya udah, sampeyan istirahat ya. Assalamu'alaykum warohmatullah."

Masjid Agung Kiai Ma'sumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang