[22] Serba Salah

3.4K 452 18
                                    

Dua bulan yang lalu tepat di minggu pagi. Ali ingin memasuki indomaret, namun lelaki itu mengurungkan niatnya ketika melihat seorang perempuan di depan hotel yang sama dengan yang di datangi Arga dan Illyana beberapa waktu yang lalu. Awalnya Ali mencoba tak peduli tapi lagi-lagi rasa cemas membuat kakinya melangkah menghampiri perempuan itu.

"Itte?" panggil Ali.

Perempuan yang Ali panggil itu menoleh. Ali sempat tertegun melihat penampilan teman sekelasnya itu. Rambutnya berantakan, pakaianya basah kuyup, wajahnya pucat, mengenaskan. Awalnya Ali sempat tidak percaya dengan apa yang ia lihat, beberapa orang pun memperhatikan Itte. Mungkin berpikiran sama menganggap bahwa perempuan itu sudah tidak waras.

"Ali," panggilnya lirih.

"Lo kenapa?"

Itte menggeleng pelan dengan kepala yang menunduk, bahu perempuan itu berguncang, isakan kecil keluar dari mulutnya.

Ali menggaruk tengguknya yang tidak gatal, orang yang memperhatikan mereka bertambah banyak. Ali bingung harus berbuat apa. Takut orang yang memperhatikan mereka berpikir macam-macam.

"Jangan nangis Te, malu diliat orang. Ke mobil gue yuk," ajak Ali.

Itte mengangguk, perempuan itu mengikuti Ali memasuki mobil.

Ali hanya diam. Lelaki itu membiarkan Itte meluapkan tangisnya. Tangis yang semula hanya isakan kini berubah menjadi kencang. Ali mencoba memahami kondisi Itte. Lelaki itu tidak ingin bertanya lebih.

"Ini cukup menjadi rahasia kita," ujar Itte setalah berhasil meredakan tangisnya.

Ali mengerutkan kening. "Lo ada masalah apa?"

"Cukup gue yang tau, tugas lo di sini cuma harus diam. Jangan kasih tau hal ini ke siapa pun termasuk ke Illyana," jelas Itte.

Ali mengangguk kecil, sebenarnya ia penasaran namun lelaki itu menghargai privasi Itte. "Semoga masalah lo cepet selesai."

Itte terkekeh pahit. "Masalah ini enggak akan selesai, gue hancur Li. Gue enggak tau gimana jadinya hidup gue setelah ini." Itte kembali menangis.

"Jangan bersedih sesungguhnya Allah bersama kita." Ucapan Ali tak di respon apa-apa oleh Itte, perempuan itu masih menangis. "Mau gue anter pulang?" tanya Ali ketika Itte hanya diam.

Ali menghidupkan mesin mobil. Tatapannya fokus ke depan namun bukan pada jalan, melainkan pada sosok yang berdiri di depan hotel sambil celingak-celinguk seperti mencari seseorang.

"Arga," gumam Ali pelan, lelaki itu menoleh ke arah Itte yang masih menangis sambil menutup wajahnya dengan kedua tangan.

Berbagai macam pertanyaan dan dugaan bermunculan di otak Ali. Namun lelaki itu tidak ingin menyimpulkan suatu hal hanya dengan sesuatu yang tampak dilihat mata.

Tak ingin ambil pusing Ali pun melajukan mobilnya ketika Itte bersedia diantar pulang.

"Te, rumah lo di mana?" tanya Ali, pandanganya fokus pada jalan.

"Te?" Ali kembali bersuara. Tak ada sahutan sama sekali.

Ali menoleh mendapati Itte yang sedang tertidur. "Te bangun." Tak ada respon apa-apa.

Beberapa kali Ali memanggil perempuan itu. Namun, sama sekali tak ada tanggapan. Itte pingsan, mungkin karena terlalu lelah menangis. Tak ada pilihan lain Ali pun membawa Itte ke rumahnya. Dalam keadaan seperti ini Ali jadi teringat pertemuan pertamanya dengan Illyana.

Ali mengacak rambutnya kasar. Kejadian beberapa waktu yang lalu berputar di otaknya. Ia tidak menduga masalah Itte sebesar itu dan pada akhirnya berakibat fatal. Perasan Ali tidak karuan, apa diamnya sudah benar? Apa dengan tidak memberi tahukan kejadian itu pada siapapun akan membuat keadaan baik-baik saja? Ali semakin bingung, Itte memintanya diam dan Ali menuruti permintaan perempuan itu. Dan sekarang Itte telah pergi, apa Ali harus tetap diam? Dipikir-pikir apa pun keputusan yang Ali ambil, itu tidak akan bisa merubah keadaan. Semuanya telah terjadi.

***

"Ini semua bukan salah gue. Gue ngelakuin itu karena gue sakit hati sama Itte, dia belain lo. Dia ngelindungin lo dari gue."

Kata-kata itu terngiang-ngiang di telinga Illyana, perempuan itu merasa bersalah pada Itte. Ia merasa tidak berguna menjadi seorang sahabat, di mana dirinya disaat Itte butuh sandaran? Dimana dirinya disaat sahabatnya itu terpuruk? Illyana sama sekali tidak ada. Bahkan ia tidah tahu bahwa Itte memiliki masalah dengan Arga, perempuan itu menanggung masalah yang begitu besar sendirian, dan itu semua karena Illyana, karena Itte melindungi dirinya.

Illyana mengambil figura yang terletak di atas meja belajarnya, memeluk benda itu dengan air mata yang mengalir. "Gue kangen sama lo Te," ujar Illyana. Diusapnya kaca figura foto itu. "Maafin gue," lirihnya terdengar memilukan.

"Gue sahabat yang enggak berguna, ya?" Illyana terkekeh pelan, perempuan itu menghapus air matanya saat Aisya membuka pintu kamar.

"Mama," ujar Illyana seraya memeluk Aisya.

"Ikhlasin Itte, Sayang. Dia udah tenang di sana, kamu enggak boleh terus menerus sedih kayak gini. Itte pasti enggak suka, dia juga ikut sedih kalau liat kamu kayak gini." Aisya berujar lembut.

"Illyana enggak berguna jadi sahabat Ma."

"Sstt, kamu enggak boleh ngomong kayak gitu." Aisya mengelus punggung Illyana yang bergetar. "Sebentar lagi Isya, mending kamu wudu terus salat. Biar hati kamu tenang dan jangan lupa doakan Itte," lanjut Aisya.

Illyana mengurai pelukan lantas mengangguk.

Aisya tersenyum. "Mama ke bawah dulu. Abis selesai salat kita makan malam bareng sama papa."

"Iya Ma," balas Illyana lalu menutup pintu setelah Aisya berlalu pergi.

Illyana pun berwudu dan bersiap untuk salat, usai salat tak lupa ia mendoakan sang sahabat.

"Ya Allah, ampunilah segala dosa dan kesalahan Itte. Terimalah dia disisimu, tempatkan lah dia di tempat yang indah ya Allah. Hamba berharap Itte bukan hanya sahabat di dunia melainkan juga sahabat di akhirat."

Illyana mengakhiri doanya. Setelah itu mengambil Al-Quran lalu membaca surah yasin.

Sajadah Cinta Illyana | Sudah TerbitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang