DUA PULUH SATU: RAHASIA

6.1K 237 2
                                    

Aku pergi dengan membawa luka, menengadahpun kecewa datang menimbun. Bisakah kamu datang dan membawakan penawarnya? Aku benar-benar butuh karena luka ini bukan candaan yang harus di abaikan dengan gurauan.


                            ~Alnaya~

***

"Raf lo ngerasa nggak sih kalau kota Bandung lagi turun salju?" Tanya Ruben sambil bergidik

Rafa pura-pura menggigil "iya, kok dingin banget yah."

Sedangkan sosok yang mereka sindir itu tetap diam dengan tatapan tajam yang menusuk.

Rafa menghela nafas beratnya "gue udah peringatin lo kan Al? Seharusnya lo nyadar kalau sebenarnya itu lo udah suka sama Annaya, lo terlalu keras kepala sama hati lo sendiri sehingga lo selalu menutupi setiap kemungkinan yang ada."

Rafa benar-benar sudah kehabisan akal, cowok keras kepala yang duduk dihadapannya ini benar-benar minta ditimpuk.

Ruben saja sudah frustasi dibuatnya, dasar manusia es!

"Tadi gue liat Naya pelukan sama Aldi."

Pernyataan tersebut sontak membuat Ruben dan Rafa saling pandang " lo.... bercanda kan Al?"

Algis yang mendapat pertanyaan itu tersenyum miring "gue nggak bercanda."

Rafa masih tidak bisa percaya, bukan kepada Algis melainkan Annaya. "Lo pasti salah liat, Annaya itu good girl dan lo tau sendiri Aldi itu sebrengsek apa annaya mana mau sama cowok kayak dia." Sanggah Rafa

Ruben mengangguk menyetujui pendapat Rafa "gue setuju sama ucapan Rafa Al, coba lo pikir baik-baik Annaya mana bisa lupain elo secepat itu apalagi dia perjuangin lo udah selama ini."

Algis menatap datar kedua sahabatnya "mungkin dia udah muak sama gue."

"MAKANYA AL!"

Algis menaikan satu alisnya melihat Rafa yang tampaknya sedang frustasi.

Rafa mencondongkan wajahnya kemudian nenatap Algis lekat-lekat "sekarang udah waktunya lo perjuangin cinta lo, gue yakin banget kalau di hatinya masih ada nama lo."

***

"Gimana? Lo udah enakan?" Tanya Aldi begitu Annaya menyesap teh hangat yang ia bawakan beberapa menit yang lalu

Annaya mengangguk "thanks ya kak"

Aldi mengusap kepala Annaya dengan penuh kasih sayang "iya sama-sama."

Saat ini mereka ada dirumah keluarga Stevan, beberapa jam yang lalu Aldi memaksa Annaya untuk beristirahat dirumahnya meskipun dengan usaha yang lumayan keras karena Annaya selalu saja menolak.

Mereka kini duduk bersisian di balkon memandang langit yang masih kelabu dan rintik hujan yang belum saja reda.

Annaya tenggelam dalam pikirannya sendiri sedangkan Aldi juga tampak sama, entah apa yang mereka pikirkan.

Lima menit telah berlalu, Aldi memandang Annaya yang tampak sendu. Mungkin gadis itu sedang terpukul, pikirnya.

Pelan-pelan tangannya merangkul Annaya dan membawanya kedekapan cowok itu "nangis aja, gue nggak bakalan ngatain lo cengeng kok."

Annaya menangis dalam diam, ia merasakan usapan lembut dikepalanya.

"Kak" lirih Annaya dengan nada bergetar

"Iya?" Sahut Aldi pelan

"Makasih udah mau jadi kakak gue."

Aldi tersenyum pedih "iyaa, semoga lo betah ya jadi adek gue."

Annaya mengangguk "selama lo nggak rese gue bakalan betah"

Aldi terkekeh "sana gih lo istrahat aja, gue mau balik ke kamar kalau lo butuh sesuatu tinggal lo ketuk aja pintu kamar gue."

Annaya tersenyum "siap Captain!"

Setelah itu Aldi keluar dari kamar tamu yang ditempati Annaya kemudian masuk kedalam kamarnya.

Aldi terduduk dengan lemas setelah menutup pintu. Kepalanya tertunduk dengan bahu yang bergetar.

Flashback

Aldi hendak pergi kedapur namun langkahnya terhenti ketika mendengar kedua orang tuanya sedang membicarakan sesuatu yang serius.

Perlahan kakinya melangkah pelan mendekati pintu kamar yang sedikit terbuka itu.

"Mas gimana keadaan Algis dan Adiknya?"

Lidya-mamahnya duduk dibibir kasur sambil menatap lekat suaminya

Bram berdehem "mereka sehat-sehat kok, aku nggak pernah absen buat transfer mereka uang. Lily juga udah nggak rewel  lagi dan Algis.... kayaknya dia udah banyak berubah."

Lidya menangis "aku merindukan mereka mas, aku nggak sanggup melihat mereka berjuang sendiri."

Bram memeluk Lidya "aku udah berusaha semampu aku buat penuhin segala kebutuhan mereka."

"Aku mau ketemu mereka mas, aku mohon.."

"Nggak Lidya, lagian kamu udah tinggalin mereka dari bayi pasti mereka mikir kalau kamu udah mati."

Lidya menatap Bram dengan tajam "kalau kamu nggak ancem aku, aku nggak mungkin ninggalin mereka. Ini semua gara-gara perjanjian bodoh itu!"

Bram murka, ia menampar Lidya dengan keras membuat Aldi yang mengintip dibalik pintu spontan menutup matanya.

"Apa perlu aku bunuh Algis ganendra Alvaro, anak yang sudah kamu telantarin itu." Ancam Bram

Lidya menggeleng "Aldi pasti nggak tau sifat monster kamu mas"

Bram menjambak rambut Lidya "berani kamu kasih tau Aldi soal ini, aku akan kirim kepala anak kamu Lidya."

Tubuh Aldi menegang dibalik pintu, ia tidak menyangka papanya yang ramah ternyata berhati iblis.

Aldi tidak jadi kedapur, ia malah kembali kekamar dan mengunci pintu.

Flashback of

"Lo berhak bahagia Al, maafin gue karena selama ini masa bodo sama lo. Gue baru tau ternyata lo adalah adik tiri gue, dan gue janji akan mempertemukan lo dengan nyokap lo." Lirih Aldi

Cowok itu  mengusap wajahnya kasar, ia ingin mandi dan menenangkan pikirannya.




VOTE DAN KOMEN YA!

I LOVE YOU💙

ALNAYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang