"Bagaimana, masih berminat untuk bermain gitar?" Hari yang sudah hampir memasuki musim dingin membuat kabut putih keluar dari mulut pria jangkung itu, pria jangkung dengan gitar di punggungnya itu menatap gadis berkacamata yang berjalan tepat di sampingnya.
Pria itu mengenakan sweater berwarna merah marun dengan gaya rambut acak-acakan, namun meskipun begitu dilihat dari sudut manapun dia akan tetap terlihat tampan, apalagi dengan dada bidangnya yang seolah menunjukkan bahwa ia adalah seorang pria kekar.
"Tentu," gadis yang berjalan beriringan dengan pria tadi berhenti sejenak, memperhatikan jari-jarinya yang terasa tidak nyaman.
“Ada apa?" Pria tinggi itu mendekati gadisnya, memperhatikan arah pandangan gadis di hadapannya dan mulai meraih tangan gadis itu. Tangannya yang besar bagai milik raksasa menenggelamkan tangan gadis di hadapannya, jarinya meraba-raba ujung jari gadis itu lalu tersenyum seolah memamerkan deretan giginya yang tertata rapi. "Tidak apa-apa, itu biasa. Dulu jariku juga begitu," tuturnya.
"Hari ini jadi kan menemaniku berlatih?" Pria tinggi itu kembali berseru, menoleh pada gadis yang kini sudah kembali berjalan sejajar dengannya.
"Tentu, hanya seperempat jam bukan?"
"Ya, aku harap kau tidak bosan saat menungguku nanti," pria tinggi itu berjalan berbelok ke arah kanan menuju ruang latihannya, suasana kampus sudah mulai sepi di jam segini dan hal itu membuat suara sepatu yang menyentuh lantai kampus terdengar nyaring ketika mereka melangkahkan kaki.
"Aku membawa buku," gadis di sampingnya tersenyum, menunjuk tas yang ada di punggungnya yang terlihat berisi.
"Hhmm, dasar kutu buku. Kau membawa buku berapa? Sepertinya tasmu itu kekenyangan dengan buku-bukumu," pria tinggi itu berhenti melangkah untuk melihat barang bawaan gadis di hadapannya, diperhatikannya tas punggung berwarna coklat yang mengembung karena berisi buku-buku tebal. "Biar aku yang bawa," lanjutnya mengulurkan tangan pada gadis di hadapannya yang kini menatapnya bingung.
"Tidak usah, aku bisa membawanya sendiri."
"Ayolah, aku mengenalmu dari dulu. Kau tidak akan segan-segan untuk membawa puluhan buku kemanapun kau pergi, jadi biarkan aku yang membawanya," pria itu mengulurkan tangannya lebih dekat pada gadis di hadapannya, meminta atau lebih tepatnya memaksa.
"Hhmm, baiklah."
Dengan terpaksa akhirnya tas punggung berwarna coklat beralih tangan pada pria jangkung itu, meskipun merasa tidak enak karena merepotkan orang lain, namun gadis itu merasa lega dan leluasa karena akhirnya bebannya berpindah.
Pria jangkung itu mengerjit begitu tas punggung itu berada di tangannya, sebenarnya seberapa banyak buku yang gadis itu bawa di dalam tasnya?
“Ada apa? Sudah ku bilang tasku akan merepotkanmu, jadi sini biar aku bawa sendiri saja,” gadis itu kembali berseru, merasa tidak enak pada pria yang berjalan di sampingnya itu.
“Tidak apa-apa, bukankah seorang laki-laki sudah sepatutnya untuk melindungi seorang gadis,” ucap pria jangkung itu sembari menunjukkan deretan giginya yang rapi lalu kembali melangkah.
“Kau pikir aku gadis lemah apa?! Jangan pernah bandingkan aku dengan gadis lain, aku berbeda dengan mereka!” gadis itu kini berjalan di depan pria itu, lebih tepatnya berjalan mundur sembari menatap pria di hadapannya dengan tatapan horor. Tidak terima dianggap sebagai gadis yang lemah.
“Oke oke, kau memang gadis yang kuat Hinami-chan. Tapi biarkan aku membawa barangmu sebagai seorang pria, dan satu lagi, berhentilah berjalan mundur seperti itu, kau bisa terjatuh,” pria itu menyamakan langkahnya dengan gadis yang dipanggilnya Hinami, membalikkan tubuh gadis yang masih berjalan mundur itu dan menyeretnya berbelok saat tiba di ujung koridor.
KAMU SEDANG MEMBACA
Oboemasu
Teen FictionTujuanku ke Ibukota memang ingin lari dari masalahku, lari dari luka yang selalu membuat air mataku jebol dan tak bisa di tampung. Aku tahu ini tindakan bodoh, tapi aku berharap dengan perginya aku luka ini akan sembuh. Tapi buktinya? Semuanya tetap...