Angin dingin masih setia menyelimuti kota Tokyo, dalam keramaian kampus seorang gadis dengan biola di tangannya terlihat sibuk melirik kesana kemari, sibuk mencari seorang Rei yang katanya akan mengajarinya bermain gitar lagi sejak sekian lama hilang karena mencarikan Yuki apartemen.
Di depan tangga, terlihat beberapa mahasiswa yang asik berbincang maupun mengerjakan tugas kuliahnya. Awalnya gadis itu hendak melangkah pergi, namun seketika langkahnya terhenti begitu mendapati seseorang tangah memanggil namanya.
Seorang pria yang Hinami kenal dengan panggilan Kazu tengah terlihat melambai ke arahnya dari arah tangga, namun bukan hal itu yang membuat Hinami mematung di tempatnya saat ini, melainkan seorang gadis di samping Kazu yang kini tengah menatapnya dengan kikuk pula.Kazu kembali melambaikan tangannya, meminta gadis berkacamata itu untuk mendekat ke arah mereka. Dengan berat hati, Hinami menyeret kedua kakinya ke arah mereka berdua dan tersenyum canggung.
“Mencari siapa? Hari ini ada jadwal latihan bukan?” ucap kazu ramah.
Hinami mengganggukkan kepalanya sebagai jawaban “Ya, tapi aku harus pergi sekarang. Aku punya janji bersama Rei.”
Kazu mangut-mangut dengan mulut membentuk huruf O, sedangkan gadis yang bersama Kazu sejak tadi hanya menundukkan kepalanya dalam-dalam. Sepertinya gadis itu juga menolak untuk saling bertatap muka dengan Hinami. “A...Aku melihatnya di depan mading” Gadis itu ahkirnya bersuara, namun pandangannya masih tetap menunduk dalam-dalam.
Mendengar suara Anaya yang selama ini selalu ingin didengarnya Hinami langsung menoleb ke arah gadis itu, dan hal itu malah membuat Anaya semakin menenggelamkan wajahnya. “Te..terimakasih Anaya-chan” ucap Hinami sebelum meninggalkan kedua pasangan itu.
Di koridor yang masih terlihat ramai, Hinami memperlebar langkah kakinya. Perasaannya tidak karuan saat ini, senang karena akhirnya bisa berbincang bersama Anaya meski hanya beberapa kata, namun juga merasa bodoh karena selalu bersikap kikuk di depan sahabat lamanya sendiri. Eh tunggu, apakah mereka masih bisa dibilang sahabat?
Dengan pandangan yang menunduk dan pikiran yang entah sedang berada di mana, gadis berkacamata itu dengan bodohnya tidak memperhatikan jalan di depannya. Hanya dengan beberapa detik tubuh gadis itu terjatuh di lantai koridor karena menubruk tubuh seseorang yang lebih besar darinya, kacamata yang ia kenakanpun terlepas dan kini Hinami hanya bisa mengaduh sembari merapa-raba lantai koridor untuk mencari kacamatanya.
“Jika berjalan itu perhatikan apa yang ada di depanmu, beruntung aku yang kau tubruk bukan truk besar yang mungkin saja akan menghancurkan tubuhmu” tutur seseorang yang suaranya terdengar familiar di telinga Hinami.Sang pemilik suara berjalan beberapa langkah dari Hinami, membungkuk untuk mengambil sesuatu di lantai dan menyondorkan kacamata Hinami yang tadi terjatuh. “Ini” ucapnya.
Hinami menerima kacamatanya, memakainya dan mendapati Rei tengah berdiri di hadapannya dengan kedua tangan yang dibiarkan terlipat di depan dadanya yang bidang. “Kau sedang memikirkan apa hah?” tanyanya.
Hinami menggelang, dan dengan satu gerakan menarik pergelangan pria itu ke suatu tempat. “Bukan urusanmu. Urusanmu saat ini adalah kembali mengajariku bermain gitar” ujarnya sembari berjalan dengan tangan yang menarik bergelangan pria jangkung itu.
“Kenapa tidak meminta Haruo yang mengajari, dia juga menguasai gitar?”
“Aku ingin kau yang mengajariku bukan Haruo” jawab Hinami dengan nada ketus sembari tetap menarik pria jangkung itu ke tempat latihan mereka nanti.
Tiba di sana, gadis berkacamata itu mendudukkan tubuh Rei di kursi kosong di sana, menyondorkan gitar pada pria itu dan duduk di kursi lain di samping Rei dengan gitar di tangannya juga.Dengan pikiran yang masih tersesat di tempat lain, Hinami memetik gitarnya sembarangan, membuat pria di sampingnya mengerjit kebingungan dengan tingkah gadis berkacamata itu.
“Hentikan itu, ada apa denganmu?” ucap Rei sembari mengambil alih gitar di tangan Hinami.
Hinami tidak membantah, gadis berkacamata itu hanya menggeleng kecil sembari menundukkan kepalanya dalam-dalam, bingung harus bicara seperti apa saat ini."Hei ada apa?” Rei kembali berseru, namun kali ini nada bicaranya terdengar lebih lembut dan hati-hati dari sebelumnya.
Untuk beberapa saat tidak ada yang berubah, Hinami masih tetap diam dan menundukkan kepalanya, sedangkan Rei menunggu gadis itu untuk bercerita. “Aku tidak tahu harus bicara seperti apa Rei” Hinami akhirnya bersuara, gadis itu mengangkat kepalanya dan melirik Rei yang duduk di kursi tepat di sampinya.
“Aku menghilangkan album kami, benda itu hilang. Aku sudah berusaha mencarinya tapi hasilnya tetap nihil” suara Hinami bergetar, sepertinya gadis itu tengah menahan tangisnya agar tidak menerobos keluar. “Dengan susah payah aku menggambilnya saat hari itu, aku menjaganya selama bertahun-tahun sebagai sisa kenangan kami. Tapi sekarang benda itu hilang, mereka juga Hilang.” Oke, kali ini gadis itu gagal menahan tangisnya. Dengan kepala yang menunduk gadis berkacamata itu berusaha keras untuk menghapus air matanya.
“Barusan kau bertemu Anaya?” tanya Rei yang dijawab dengan anggukan kepala oleh Hinami.
Rei menghela napas sesaat, membenarkan posisi duduknya dan meletakkan kedua tangannya di bahu gadis itu “Dengarkan aku, kau membawaku ke tempat ini bukan untuk meminta diajari bermain gitar bukan? Kau menghindarinya, menghindari Anaya, menghindari orang yang dulu kau sebut sahabat terbaikmu” ucap Rei yang malah membuat gadis dihadapannya itu semakin terisak.
“Bukan sahabat Rei, kami orang asing sekarang”
“Itu hanya dugaanmu, cobalah untuk berdamai dengan lukamu itu. Mereka tetap sahabatmu. Soal album itu, aku akan berusaha membantumu mencarinya” ucap Rei sembari mengangkat wajah gadis dihadapannya itu dan memberikannya sapu tangan untuk mengapus air matanya.
Hinami mengangkuk kecil, gadis berkacamata itu menerima sapu tangan yang diberikan Rei dan menggunakannya untuk menghilangkan jejak air mata di wajahnya.Untuk beberapa menit keduanya hanya bungkam di tempat masing-masing, hanya terdengar alunan gitar yang dimainkan Rei dalam diam sedangkan Hinami sendiri hanya diam dengan pandangan yang masing menunduk.
“Konnichiwa minna!” sebuah seruan membuat kedua orang itu menoleh ke asal suara. Mata mereka mendapati seorang Kazu dengan cengirannya disusul dengan seorang gadis yang memiliki rambut berwarna kecoklatan dengan kacamata di depan matanya yang bulat.
“Konnichiwa” jawab Rei sembari beranjak dari posisinya setelah melirik Hinami sesaat yang kembali mematung di tempatnya.
“Tersenyumlah, kau bisa” gumam Rei dalam diam dengan gerakan bibir kapada Hinami yang memandangnya dengan tatapan yang meredup.
●●●
Latihan berjalan seperti biasanya, setelah lelah bermain selama hampir tiga puluh menit semua orang di tempat latihan diberikan waktu istirahat selama dua puluh menit. Dalam waktu singkat itu, semua orang menggunakan waktunya dengan sebaik mungkin. Bahkan ada beberapa orang yang pergi keluar untuk membeli makanan, hanya menyisakan beberapa orang di dalam ruang latihan termasuk Hinami dan juga Anaya.
Tidak seperti saat masa SMA dulu, kini keduanya malah terlihat bungkam dan seperti orang yang baru saling mengenal. Dengan pikiran yang masih mengarah pada albumnya yang hilang Hinami hanya terduduk di kursinya sembari kembali mengingat kembali dimana terakhir kali ia meletakkan benda itu.
Gadis berkacamara itu beranjak dari posisinya, melangkah keluar dan memandangi langit yang terlihat tanpak mendung. Sepertinya hari ini akan turun hujan. Dan benar saja dugaannya, dalam beberapa menit rintik hujan mulai turun membasahi bumi. Udara yang memang sudah dingin terasa semakin dingin dan membuat tubuh gadis itu menggigil.
Hinami melangkahkan kakinya ke depan, mengarahkan tangannya ke arah air hujan yang jatuh dan membiarkan sebagian dari tangannya basah karena air, begitupun dengan sepatunya yang terlihat sedikit basah akibat cipratan air yang jatuh ke tanah.
Gadis itu tetap berada di posisinya itu, bahkan bisa dibilang gadis itu lebih mendekat ke arah guyuran hujan. Entah mengapa berada di bawah hujan selalu bisa membuatnya tenang.
“Hei, apa yang kau lakukan?!” seseorang menarik tubuh Hinami ke belakang, membuat tubuh gadis itu sedikit menjauh dari tempatnya barusan.
Dengan kesal, Hinami melirik ke arah orang itu dan mendapati Haruo tengah memandangnya dengan tatapan aneh. “Apa yang kau lakukan? Kau bisa sakit karena ulahmu itu!” ucap Haruo dengan intonasi suara yang tak jauh beda dengan sebelumnya.
“Biarkan saja, aku merasa nyaman seperti itu”
“Payah, ayo ikut aku” Haruo menarik tubuh Hinami, membawanya masuk ke dalam ruang latihan dan mendudukkan tubuhnya di atas kursi.
“Pakai ini” seru Haruo, tangan pria itu kini menyelimuti tubuh Hinami yang basah kuyup dengan jaketnya. Sedangkan Hinami sendiri hanya diam di tempatnya, baru sadar jika tubuhnya benar-benar sudah basah kuyup saat ini.
“Sebenarnya ada apa denganmu hari ini? Permainan biolamu kacau dan kau malah bermain hujan di cuaca sedingin ini” itu suara Haruo, pria itu menyeret salah satu kursi yang kosong di sana dan mendudukkan tubuhnya di atasnya.
Tidak ada jawaban, gadis dihadapannya itu tidak menjawab. Dengan kepala yang menunduk dalam Hinami hanya bisa menggelengkan kepalanya kecil sembari menggenggam tangannya sendiri.●●●
KAMU SEDANG MEMBACA
Oboemasu
Teen FictionTujuanku ke Ibukota memang ingin lari dari masalahku, lari dari luka yang selalu membuat air mataku jebol dan tak bisa di tampung. Aku tahu ini tindakan bodoh, tapi aku berharap dengan perginya aku luka ini akan sembuh. Tapi buktinya? Semuanya tetap...