Seluruh ruangan dipenuhi melodi merdu dari gitar yang dimainkan Rei, sedangkan sang pemain terlihat asik memperhatikan ekspresi gadis berkacamata di hadapannya yang terlihat tengah tenggelam menikmati melodi yang ada. Dengan mata yang terpejam di belakang kacamatanya, gadis itu terlihat mengoyang-goyangkan kepalanya pelan menikmati melodi. Sepertinya gadis itu menyukai lagu yang dibuat oleh pria jangkung bernama Rei itu.
"Aku senang kau menyukainya" ucap Rei dalam diam sembari masih memperhatikan gadis berkacamata di hadapannya. Ia tahu, mungkin saja posisinya telah tergantikan di mata gadis itu, namun Hinami tetap memiliki tempat khusus dalam hidupnya. Rei pikir ia tidak perlu memberitahukan gadis itu jika lagu ini dibuat khusus untuknya, cukup ia mendengarkannya dan menikmatinya seperti saat ini.
Hampir tiga menit berlalu, dan akhirnya Rei menghentikan permainan gitarnya. Pria itu terlihat menunjukkan senyumannya pada gadis berkacamata di hadapannya begitu mendapati Hinami telah membuka kelopak matanya.
Hinami mengangguk kecil, setelah itu tersenyum sebagai jawaban dari senyuman yang dilontarkan Rei juga.
“Itu melodi yang indah Rei, tapi kurang indah karena kau bungkam,” tutur Hinami dengan mata yang kembali menunjukkan binar memohon.“Apakah aku harus bernyanyi juga?” ujar Rei yang seketika dijawab dengan anggukkan mantap gadis berkacamata itu.
Rei menarik napas perlahan, sebelum mengganguk dan kembali dalam melodinya. Berbeda dengan permainannya berusan, kali ini pria jangkung ini bermain gitar sembari bernyanyi dengan suaranya yang khas. Dan mendengar itu, Hinami tersenyum cerah, gadis berkacamata itu kembali memejamkan matanya dan menikmati lagu yang dimainkan Rei dengan merdu.
“Kenapa kau tak pernah cerita jika kau pandai membuat lagu?” tanya Hinami begitu seluruh melodi dalam ruangan lenyap.
Rei melirik gadis itu, tersenyum sembari menggelengkan kepalanya kecil “Ini pertama kalinya aku membuat lagu” jawab Rei singkat.
“Itu lagu yang indah Rei! Apakah itu untuk Yuki?” sahut Hinami antusias yang seketika membuat pria jangkung di hadapannya itu mamatung. Tunggu, kenapa jadi Yuki? Pikir Rei, tidak mengerti dengan jalan pikiran gadis berkacamata di depannya.
“Selamat atas pertunangan kalian!” gadis itu kembali tersenyum cerah, kali ini dalam matanya itu terdapat binar keceriaan yang hanya bisa Rei jawab dengan sorot mata redupnya.
“Bagaimana kau tahu?” Tanya Rei.
“Kau tidak bisa menyembunyikan cincin di jarimu itu Rei” Hinami menjawab mantap sembari menunjuk cincin yang melingkar di jari manis milik Rei yang besar.
Rei mendengus, pria itu melirik cincin di jarinya dan menyembunyikannya dengan tangan yang satunya. “Jika bukan karena kakekku aku tidak akan memakai benda ini. Jadi jangan berpikir aku mencintai gadis perawat itu” sahut Rei dengan nada bicara yang terkesan dingin.
“Kau tidak boleh berbicara seperti itu Rei, bagaimanapun juga Yuki gadis yang baik” Hinami menjawab tak terima, bagaimanapun di mata Hinami Yuki benar-benar gadis yang baik. Saat gadis perawat itu tinggal bersamanya di apartemen, ia benar-benar banyak membantunya, menjadi teman sekaligus keluarganya di sini.
“Ah sudahlah, jangan bicarakan hal itu lagi. Sepertinya ketua sudah datang” sahut Rei dengan pandangan yang mengarah ke ambang pintu.
Hinami menoleh, gadis berkacamata itu tengah mendapati Haruo dan beberapa anak-anak klub telah tiba di tempat latihan. Sepertinya gadis itu terlalu tenggelam dalam obrolannya bersama Rei hingga tak sadar jika ruang latihan sudah ramai saat ini.
●●●
Hari ini Haruo memberinya libur dari mengajar Natsumi di rumahnya. Setelah acara latihan selesai, gadis berkacamata itu terlihat sedang terduduk di kursi di dalam bus bersama Rei di sampingnya. Biasanya Haruolah yang selalu menemaninya pulang saat Rei di Okinawa, namun kali ini pria itu harus membersihkan tempat latihan karena memang sudah jadwalnya untuk membersihkan tempat itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Oboemasu
Teen FictionTujuanku ke Ibukota memang ingin lari dari masalahku, lari dari luka yang selalu membuat air mataku jebol dan tak bisa di tampung. Aku tahu ini tindakan bodoh, tapi aku berharap dengan perginya aku luka ini akan sembuh. Tapi buktinya? Semuanya tetap...