10

13 4 0
                                    

Pukul 20.55, gadis berkacamata bernama Hinami itu masih asik bercengkrama bersama Rei yang kini tak henti-henti mengeluarkan candaan dari dalam mulutnya itu. Keduanya masih berada di kursi taman yang sama, tertawa dalam balutan mantel dan dinginnya malam. Namun sepertinya hal itu tidak menghalagi keduanya untuk tertawa, Hinami yang awalnya datang ke tempat ini dengan luka kini mulai lupa akan lukanya dan tertawa dengan lepas seolah tidak memiliki beban.

Di tengah canda keduanya, tiba-tiba sebuah suara yang menandakan para cacing yang berdemo minta makan membuat kedua orang itu berhenti tertawa. Rei tersenyum jail ke arah Hinami dengan kedua alis yang dibuat naik turun. Sedangkan yang ditatap hanya nyengir kuda dengan wajah memerah, malu jika Rei telah mendapatinya tengah kelaparan.

“Ayo cari makan,” Rei beranjak dari sosisi duduknya, menarik tangan Hinami yang masih tetap dalam posisi duduknya.

Hinami ikut beranjak, pergelangan tangannya masih tetap dalam genggaman Rei sedangkan gadis itu berusaha keras menyamakan langkahnya dengan langkah Rei yang terbilang lebar. Hinami yang pada akhirnya berhasil menyamakan langkahnya dengan pria jangkung itu hanya mendongak, menatap sekilas wajah pria itu dan beralih melirik tangan Rei yang masih erat menggenggam pergelangan tangannya.

“Rei, kita sedang tidak menyebrang jalan,” seru Hinami dingin sembari menatap tajam ke arah pria itu.

Rei melirik tangannya sendiri yang kini menggenggam pergelangan tangan Hinami erat, pria itu menunjukkan cengirannya lalu melepas genggaman tangannya dari pergelangan tangan Hinami. “Maaf, itu bukan kehendakku” ucapnya setelah tengannya masuk ke dalam saku mantelnya.

“Kau tidak memakai sarung tangan?” tanya Hinami sembari melirik telapak tangan Rei yang bersembunyi dibalik saku mantelnya.

Rei melirik Hinami, gadis itu terlihat menggemaskan dengan topi wol biru yang menutupi kepalanya. Sembari tersenyum hangat pada gadis berkacamata di sampingnya, Rei menggeleng kecil. “Aku suka topimu” ucap Rei sembari menunjuk sebuah gambar micky mause yang ada dibagian depan topi tersebut.

“Karena aku terlihat seperti bocah bukan?” Hinami berseru malas, sudah ia duga topi pemberian adik laki-lakinya ini memang membuatnya seperti seorang anak sekolah dasar.

Rei memegangi dagunya dan menatap serius ke arah jalanan di depannya, berpose seolah-olah pria itu tengah berpikir kristis saat ini. “Tidak memakai itu pun kau tetap terlihat seperti bocah” ucap Rei yang otomatis mendapat pukulan kecil dari gadis disampingnya itu.

“Eeh anak bocah marah” Rei tertawa kecil melihat wajah kesal Hinami yang menurutnya menggemaskan, tangan pria itu yang tidak bersarung tangan mencubit pipi gadis berkacamata disampingnya dengan gemas.

“Hentikan itu Rei!” Hinami berseru garang, memegangi bagian pipinya yang sakit akibat ulah cubitan pria disampingnya. Namun Rei bukannya merasa bersalah dengan ulahnya barusan itu, melainkan tertawa lepas melihat wajah Hinami yang memerah karena entah kesal atau malu.

“Kau ingin makan apa?” tanya Rei saat keduanya tiba di jalanan yang memamerkan beberapa kedai makananan.

Untuk beberapa saat, Hinami tidak menjawab. Gadis itu terlihat fokus memperhatikan setiap kedai makanan di depannya, sibuk menimbang-nimbang makanan apa yang menurutnya akan memuaskan para cacing yang kini sedang berdemo di dalam perutnya. “Bagaimana kalau makan ramen” ucap Hinami masih terlihat menimbang-nimbang.

“Ramen panas di cuaca dingin, pilihan tepat” Rei menjentikan jari telunjuk dan jempolnya, pria itu tersenyum puas dan kembali menarik tangan gadis di sampingnya ke arah sebuah kedai ramen.

“Ah tunggu, aku rasa aku ingin makan Yakiniku” Kaki Hinami berhenti secara tiba-tiba, gadis berkacamata itu menunjuk ke arah kedai makanan yang menyajikan danging panggang itu. Dengan satu gerakan, tangan gadis itu balik menarik pergelangan tangan Rei dan membawanya menuju kedai yang beberapa detik lalu ditunjuknya.

OboemasuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang