Hinami terduduk sendirian di sudut kantin rumah sakit, secangkir teh hangat yang ia pesan tidak disentuhnya sama sekali. Gadis itu terdiam di tempatnya dengan pikiran yang entah berada dimana. Ia tahu menguping pembicaraan orang adalah hal yang tidak sopan, tapi beberapa saat lalu ia benar-benar tidak sengaja mendengarkan obrolan Natsumi dan kakaknya yang justru membuatnya seperti ini sekarang. Perkataan Haruo beberapa saat lalu benar-benar menyakitkannya, ia tidak mengerti apa alasannya, tapi begitu telinganya menangkap kata-kata itu rasanya dadanya sesak.
Haruo kehilangan sebagian ingatannya itu tidak jadi masalah bagi Hinami, tapi saat tahu Haruo tidak mau berusaha bahkan tidak ingin mengingatnya itu sungguh menyakitkan. Bagaimana pun, selama ini ia masih bertahan di sini karena ia percaya jika Haruo akan kembali mengingatnya, pria itu akan kembali menjadi Haruo yang dikenalnya dulu.
Jika Hinami tahu jawaban Haruo akan seperti ini, ia mungkin sudah pulang jauh-jauh hari. Ia tak perlu mengarang alasan pada ibunya yang menyruhnya untuk pulang ke Okinawa. Dan setelah ia memutuskan untuk tetap tinggal, Haruo malah berkata lain, menjatuhkannya yang sudah berada di tengah jalan.
“Hei, kau di sini juga ternyata” sebuah seruan membuat Hinami menoleh pada asal suara, dilihatnya Rei yang kini telah terduduk di kursi kosong di hadapannya. Pria itu tersenyum ke arah Hinami, sebelum menyeruput minuman yang dibawanya. “Ku pikir kau berada di kamar rawat Haruo” lanjutnya.
“Apa yang kau lakukan di sini?”
“Menemani Yuki, dia bekerja di sini dan memintaku untuk datang saat makan siang." Jawab.
Hinami tak menjawab, gadis berkacamata itu lagi-lagi sibuk dengan pikirannya. “Sepertinya aku akan pulang lusa nanti, ibu selalu memintaku untuk segera pulang” ucap Hinani setelah lama terdiam.
“Eh, ada apa? Kenapa tiba-tiba?” Rei bertanya tak mengerti, bukannya selama ini gadis itu selalu membuat seribu alasan saat ibunya menelepon dan memintanya untuk pulang. “Apa Haruo menyakitimu?” tanya Rei hati-hati, pria itu meletakan minuman di tangannya, memperhatikan raut wajah gadis berkacamata di hadapannya yang terlihat murung.
Hinami menoleh, gadis itu menggelengkan kepalanya sembari tersenyum kecil. “Aku harus menyiapkan barang-barangku, sampai jumpa” ucapnya sembari beranjak dari posisinya dan meninggalkan Rei yang menatapnya dengan pandangan yang sulit dimengerti. Dari tempatnya, pria itu menggeram, kesal pada dirinya sendiri yang lagi-lagi gagal membuat gadis itu tersenyum.
Dua hari berlalu dengan cepat, Hinami menemui Natsumi di rumahnya dan pamit untuk pulang. Di kediaman Haruo itu, gadis berkacamata itu juga sempat bertemu Haruo yang sudah diperbolehkan pulang oleh dokternya. “Neesan akan pulang sekarang?” Tanya Natsumi yang terduduk di sofa panjang di samping kakak laki-lakinya itu.
Hinami mengangguk “Ya seperti itulah, ibu selalu menelepon Neesan dan meminta Neesan untuk pulang. Lagi pula, Haruo sudah sembuh sekarang” jawab Hinami.
“Terimakasih sudah merawatku selama di rumah sakit, maaf selalu merepotkanmu selama ini” ucap Haruo sebelum mengantarkan Hinami sampai di depan rumahnya dan membiarkan gadis itu berlalu begitu saja menaiki taksi menuju bandara.
Dilihatnya mobil taksi yang ditumpangi Hinami berbelok di persimpangan jalan, membuat pria itu tidak bisa lagi melihatnya. Haruo menghela napas berat, entah mengapa rasanya berat melihat gadis itu pergi darinya begitu saja.
Haruo benar-benar tak mengerti apa yang terjadi pada dirinya sendiri, saat berada bersama gadis itu rasanya ia merasa nyaman, tapi mengapa memorinya akan gadis itu tidak ia ingat sama sekali. Dan sejak melihat gadis itu datang padanya untuk pamit, ingin rasanya ia menahannya, meminta gadis itu untuk tetap tinggal bersamanya.
“Kenapa Neesan pulang tiba-tiba? Padahal Natsumi ingin mengajaknya ke karnaval lagi seperti dulu” Seru Natsumi begitu Haruo kembali mendudukan tubuhnya di samping adiknya itu.
Haruo menoleh, mendapati adiknya yang kini tengah tertunduk dengan pandangan yang terlihat sangat kecewa. “Dulu? Kapan?” tanya Haruo bingung.
“Niichan tidak akan ingat, sebelum Hinami-Neesan hendak pulang dulu Niichan mengajaknya pergi ke karnaval. Niichan memberiku boneka beruang besar dan kita pergi menaiki seluruh wahana bertiga saat itu.”
“....”
●●●
Hari berlalu begitu saja, keadaan Haruo yang mulai sudah benar-benar pulih membuat aktivitasnya berjalan dengan biasanya. Pria itu terduduk sendirian di sudut kedai tempatnya bekerja, entah mengapa rasanya hari-harinya saat ini terasa ada yang hilang. Dalam pikirannya, ia selalu bisa melihat Hinami yang terduduk sendirian di pojok kedai dan menontonnya yang sedang bermain piano di panggung kecil itu. Ia tahu itu hanyalah sebuah delusinya semata, sejak gadis itu merawatnya di rumah sakit gadis itu benar-benar membuatnya merasa nyaman di dekatnya.
Haruo teringat beberapa saat lalu saat ia masih berada di rumah sakit, saat ia terbangun dari tidurnya ia telah mendapati gadis berkacamata itu tengah tertidur di kursi samping ranjangnya dan menjatuhkan kepalanya di sisi tubuh Haruo. Haruo tersenyum dibuatnya, rasanya ia mengenal wajah saat tidur itu, dengan kacamata yang masih berada di wajahnya gadis itu terlihat begitu menggemaskan dalam tidurnya.
Haruo tersenyum jail, pikiran jailnya muncul begitu matanya mendapati sebuah spidol di atas nakas di samping tempat tidurnya. Diraihnya secara perlahan benda itu dan mulai melakukan aksinya.
Haruo tertawa, membuat Hinami yang tadinya tertidur pulas terbangun dari mimpinya dan memandang heran ke arah Haruo yang tertawa lepas di hadapannya. “Kau kenapa?” Tanya Hinami sembari membenarkan posisi kacamatanya yang merosot.
Awalnya Haruo tidak menjawab, pria itu masih sibuk mengendalikan tawanya sembari memperhatikan wajah gadis berkacamata di hadapannya itu. “Ada seorang badut dihadapanku” ucapnya masih dengan sisa tawa.
Hinami bingung dibuatnya, namun saat matanya mendapati sebuah spidol di tangan Haruo gadis itu langsung mengerti apa yang membuat pria di hadapannya itu tertawa. Hinami menatapnya dingin, beranjak dari posisi duduknya dan mengambil cermin kecil yang ia bawa di dalam tasnya.
“Hei, apa yang kau lakukan pada wajahku?!” seru Hinami tak terima begitu mendapati wajahnya yang penuh dengan coretan.
Kembali pada masa kesakarang, di kursinya Haruo tertawa miris, jujur ia merindukan gadis bernama Hinami itu.
“Hei, kau di sini ternyata” sapa seseorang yang sontak membuat Haruo menoleh ke arahnya, dilihatnya Rei yang telah terduduk depat di kursi di hadapannya. “Ada apa? Seperti kau tengah memikirkan sesuatu” tanya Rei.
“Entahlah, aku hanya sedang memikirkan gadis itu. Dia selalu marah jika aku mengatakan kau adalah pacarnya, dan saat ia pergi rasanya ada yang hilang. Aku selalu membayangkan ia duduk di meja ini dan menontonku yang tengah bermain piano di atas sana” tutur Haruo yang malah membuat Rei tersenyum di buatnya.
“Itu bukan bayanganmu” jawab Rei yang sontak membuat Haruo menatapnya dengan tatapan tak mengerti. “Kau harus tahu, Hinami itu milikmu bukan milikku. Bukankah saat festival dulu aku sudah memberikannya padamu, tidak salah jika Hinami marah saat kau berkata seperti itu” lanjut Rei yang membuat mata Haruo terbelalak kaget dengan perkataan Rei barusan.
"Kau bisa menceritakan semuanya, semuanya selama musim panas sampai kejadian kecelakaan itu?" Pinta Haruo yang tentu saja diiyakan oleh Rei.
Haruo memegangi kepalanya yang kini terasa pusing, beberapa potongan ingatan lewat di kepalanya seperti kaset rusak. Ada bayangan dimana ia dan Hinami tengah bermain seluncuran, bahkan sampai bayangan di karnaval yang Natsumi ceritakan benar-benar sama persis seperti yang ada di kepalanya saat ini.
“Bagaimana, Kau mengingatnya?” tanya Rei sembari memperhatikan Haruo yang terdiam di tempatnya.
Haruo terdiam sesaat, sibuk mencerna ingatannya sendiri yang sedikit terasa asing baginya.
“Ya, aku ingat.”
●●●
KAMU SEDANG MEMBACA
Oboemasu
Teen FictionTujuanku ke Ibukota memang ingin lari dari masalahku, lari dari luka yang selalu membuat air mataku jebol dan tak bisa di tampung. Aku tahu ini tindakan bodoh, tapi aku berharap dengan perginya aku luka ini akan sembuh. Tapi buktinya? Semuanya tetap...