Haruo mengantarkan gadis berkacamata itu sampai di depan pintu apartemennya, setelah beberapa menit malah asik berbincang di depan apartemen akhirnya pria itu pamit pulang dan meninggalkan Hinami yang telah tenggelam di balik pintu apartemennya yang tertutup.
Di balik pintu apartemen itu, gadis itu melepas kacamatanya dan meletakkannya sembarangan di atas meja kecil di depan sofa berwarna merah marunnya. Dengan posisi duduk dan kepala yang dibiarkan menyender di senderan sofa, gadis itu terlihat memejamkan matanya dan tersenyum kecil. Entah mengapa pikirannya saat ini tengah dipenuhi oleh pria bernama Haruo. Jika boleh jujur, ia masih tidak percaya jika pria menyebalkan yang beberapa tahun lalu ia temui di Musium itu adalah Haruo, pria baik hati yang menyembunyikan sikap jailnya di balik wajahnya yang terlihat ramah.
“Eh, ada apa denganku? Kenapa malah memikirkan pria itu” gumam Hinami sebelum beranjak dari posisinya dan berjalan ke arah dapur.
Baru saja gadis itu berdiri di bingkai pintu dapurnya langkahnya langsung terhenti begitu mendapati dapurnya yang bagai ditabrak pesawat yang jatuh. Sebelum pergi menemui Haruo tadi gadis itu memang tengah asik di dapurnya, dengan celemek yang dipakainya gadis itu sibuk berkutat dengan masakannya, dan karena hal itulah ia terlambat dari janjinya bersama Haruo.
Dengan langkah malas Hinami menyeret kakinya masuk ke dalam dapur, mengambil alat-alat masak yang kotor dan meletakkannya di tempat cuci piring.
Hasil belajarnyanya itu benar-benar membuatnya terkaget sendiri, bagaimana tidak, masakan yang dibuatnya gagal total dan keadaan dapurnya hancur total. Jika bukan karena ejekan Haruo waktu itu yang mengatakan jika seorang wanita harus pandai memasak, gadis berkacamata itu tidak akan mencoba untuk belajar memasak, masa bodoh ia bisa memasak atau tidak.
Saat hendak meletakkan piring-piring ketor ke tempat cuci piring gadis itu meringis kesakitan, dengan satu gerakan piring-piring itu jatuh dan untuknya tidak terlalu jauh hingga tidak membuatnya pecah. Lagi-lagi pergelangan tangan kanannya terasa nyeri. Dengan perlahan gadis itu memijat kecil pergelangan tangannya, setelah membaik mulai berkutat dengan cucian yang menumpuk kembali.
30 menit setelahnya, gadis itu sudah merebahkan tubuhnya di atas ranjang tempat tidur setelah membersihkan tubuhnya. Dengan pandangan yang mengarah pada langit-langit kamar gadis itu mengarahkan tangannya ke atas sana, seperti orang yang hendak menggapai sesuatu tapi tidak ada apa-apa di sana. Itulah kebiasaannya jika berada sendirian di dalam kamarnya, saat kepalanya kosong ia selalu membayangkan ada wajah ketiga sahabatnya di sana, tersenyum ke arahnya dengan tangan yang seolah meminta untuk digapai.
“Sudahlah Hinami-chan, berhenti berkhayal dan tidurlah” seru Hinami pada dirinya sendiri sebelum meringkuk di sudut ranjangnya dengan mata terpejam.
“Selamat malam 3f” gumam Hinami pelan sebelum gadis itu benar-benar terlelap dalam tidurnya.
Di balik itu. Di sebuah kamar yang dengan penerangan yang minin, kamar yang ukurannya lumayan luas itu terlihat remang-remang dengan seorang pria yang terduduk di kursi tepat di depan sebuah jendela yang terbuka. Dengan gitar dalam pelukannya, pria itu terlihat asik memandangi bulan yang mengiasi kegelapan di atas sana. Setelah kepalanya lelah mendongak, pria itu melirik sebuah taman kecil di depannya, ada sepucuk bunga yang mulai mekar di bawah pohon sakura yang gundul. Dengan senyum kecil terukir di wajahnya. Pria itu bergumam “Selamat datang musim semi”
“Maaf, ayo aku bantu” ujar Haruo yang Rei lihat tengah mengulurkan tangannya pada gadis berkacamata yang terduduk di sampingnya, tidak, gadis itu bukannya duduk tetapi lebih tepatnya terduduk karena baru saja terjatuh menubruk pria yang kini tengah mengulurkan tangannya itu.
“Payah, kenapa berhenti mendadak?!” gadis itu berseru kesal, dan hal itu sedikit membuat Rei yang melihatnya dari pinggir lapangan tersenyum kecil. Sudah tiga minggu pria jangkung itu merindukan wajah sebal itu. Namun dibalik itu Rei juga merasa kesal begitu mendapati Hinami yang menjawab uluran tangan pria di hadapannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Oboemasu
Teen FictionTujuanku ke Ibukota memang ingin lari dari masalahku, lari dari luka yang selalu membuat air mataku jebol dan tak bisa di tampung. Aku tahu ini tindakan bodoh, tapi aku berharap dengan perginya aku luka ini akan sembuh. Tapi buktinya? Semuanya tetap...