Jam dinding di apartemen Hinami sudah menunjukkan pukul 20:35, di luar sana salju pertama turun dengan lebat dan mulai menyelimuti kota Tokyo.
Hinami yang baru saja membersihkan tubuhnya dan mengganti pakaiannya kini terlihat tengah asik menyeduh mie instan yang dibelinya beberapa hari lalu. Gadis itu menyimpan cup mie yang sudah diisi air panas di atas meja kecil di dapur apartemennya, didudukkannya tubuh letihnya itu di atas kursi dan menatap cup mie-Nya dengan perut keroncongan.
Seharusnya sekarang perutnya itu sudah terisi makanan dan sedang mengerjakan tugas kuliahnya sembari menonton TV, tapi karena sore tadi Rei membohonginya tentang jam latihannya para cacing di perutnya kini berdemo minta makan.
Hinami membiarkan kepalanya terkulai di atas meja, matanya menatap jarum jam dinding yang terus bergerak, waktu 3 menit kini terasa 3 abad saat perutnya keroncongan minta makan. Satu detik, dua detik, tiga detik, empat detik, berapa lama mienya jadi, umpat Hinami yang sudah tidak kuat dengan rasa laparnya. Jari telunjuknya yang ramping mengetuk-ngetuk permukaan meja, bosan menunggu mienya.
3 menit akhirnya berlalu dengan lama, dengan satu gerakan tangan gadis itu meraih cup mie di hadapannya dan mulai memasukkan semua bumbu mienya ke dalam. “Itadakimasu! *Selamat makana!” serunya sembari menyuapkan mie yang ditunggu-tunggunya itu.
KRING...KRING...KRING!
Ponsel miliknya yang tergeletak di samping cup mie kini berdering nyaring, Hinami melirik ponselnya dengan tatapan malas ditambah kesal. Siapa yang berani mengganggu acara makan malamnya yang sudah terlambat ini.
“Hhhmm, beraninya dia. Tidak puas apa seharian ini sudah menyita waktuku?!” gerutu Hinami begitu matanya melihat nama yang tertulis di layar ponselnya. Gadis itu mengabaikan ponselnya begitu saja, tidak berminat untuk mengangkatnya yang ia duga pasti akan mengeluarkan obrolan tak penting.
Satu menit penuh ponselnya tak berhenti berdering, gadis itu masih mengabaikan ponselnya, menyuapkan mienya ke dalam mulut sembari mengumpat kesal karena orang yang meneleponnya masih belum menyerah juga.
Dua menit, tiga menit, muak dengan suara dering ponsel, gadis itu meraih benda persegi panjang itu dengan gerakan cepat dan meletakkannya di telinga, mulai mengumpat kesal pada orang yang meneleponnya dengan mulut penuh makanan.
“Aba yang kaa maa?! *Apa yang kau mau!” Hinami berseru garang dengan mulut penuh makanan setiap kata yang ia ucapkan tidak terdengar jelas.
“Habiskan terlebih dahulu makanan di mulutmu, kalau tidak kau akan tersedak.”
Hinami kembali mengumpat, menghabiskan makanan di dalam mulutnya dan melanjutkan sumpah serapahnya, beraninya orang itu mengganggu jam makan malamnya dengan meneleponnya. “Ada apa, apa yang kau inginkan?!” Hinami kembali mengumpat dengan ponsel di telinga, muak dengan orang di seberang sana. “Aku harap yang kau bicarakan itu penting Rei, atau ku bunuh kau!” lanjutnya sebelum menyuapkan mienya ke dalam mulut. Hinami mendengus, menduga jika orang yang meneleponnya pasti sekarang sedang tersenyum puas karena berhasil mengganggunya.
“aku minta maaf mengganggu makan malammu. Hanya ingin mengingatkan, jangan terlalu sering makan mie instan, itu tidak baik untuk tubuhmu,” orang yang Hinami panggil dengan nama Rei itu akhirnya menjawab juga, namun sepertinya ada yang salah dari ucapannya karena setelah itu gadis yang diteleponnya berseru garang dan menutup teleponnya secara sepihak.
“Rei, aku benar-benar akan membunuhmu!” Hinami meletakkan ponselnya begitu saja, menyuapkan mienya dengan umpatan kesal karena tak terima acara makan malamnya diganggu.Lima belas menit setelahnya gadis itu sudah berada di ruang TV di apartemennya, laptop, buku tugas, TV dan beberapa camilan ringan menemaninya di atas meja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Oboemasu
Teen FictionTujuanku ke Ibukota memang ingin lari dari masalahku, lari dari luka yang selalu membuat air mataku jebol dan tak bisa di tampung. Aku tahu ini tindakan bodoh, tapi aku berharap dengan perginya aku luka ini akan sembuh. Tapi buktinya? Semuanya tetap...