Seorang gadis yang menyandang nama Mochizuki Laily Hinami masih terlihat meringkuk di ranjang tempat tidurnya, matanya memang sudah terbuka sejak beberapa menit yang lalu, tapi sepertinya gadis itu masih enggan beranjak dari tempatnya.
Ia sudah tiba di rumahnya beberapa hari lalu setelah lelah berada di dalam sebuah burung besi dari Ibukota menuju Okinawa. Dan kini di sinilah ia berada, di kamar lamanya dengan selimut yang masih menyelimuti tubuhnya.
Gadis itu kini mulai beranjak duduk, dengan suasana kamar yang masih gelap gulita karena tidak ada penerangan lampu selain sinar matahari yang menerobos masuk lewat pentilasi udara, tangan gadis itu meraba-raba meja kecil di sisi tempat tidurnya. Sibuk mencari kacamatanya yang ia letakkan sembarang di sana kemarin.
Saat tangannya sibuk meraba-raba permukaan meja, seketika kamarnya menjadi terang dan hal itu otomatis membuat Hinami menutupi kedua matanya dengan telapak tangan. Matanya belum terbiasa dengan cahaya ini.
Beberapa menit gadis itu membiasakan matanya dengan cahaya yang ada, akhirnya ia melihat sosok anak laki-laki yang ia kenal adalah adiknya tengah berdiri di bingkai pintu. Anak itu terlihat menyenderkan tubuhnya pada bingkai pintu dengan kedua tangan dilipat di depan dadanya.
“Sudahku bilang jangan menggangguku!” seru Hinami kesal karena Hamada menyalakan lampu kamarnya tanpa izin.
“Neechan tidak pernah berubah, ini sudah terlalu siang untuk tidur.”
“Ah sudah pergi sana, jangan mengganggu!” Hinami masih berseru kesal, bantal di sampingnya ia lemparkan ke arah adiknya untuk mengusirnya.
Setelah ia kembali sendirian di dalam kamarnya, gadis itu beranjak dari tempatnya, menyeret langkahnya dan menutup pintu kamarnya yang terbuka. Saat hendak kembali ke tempat tidurnya, tanpa sengaja kakinya menyenggol koper besar yang tergelak begitu saja. Hinami jatuh terduduk di lantai, sembari mengumpat kecil gadis itu menyeret kopernya ke sisi tempat tidur dan mulai membukanya.
Dirapihkannya setiap baju yang berada di sana, memasukkannya ke dalam lemari pakaian, dan membereskan beberapa benda lainnya di dalam sana.
Asik dengan isi kopernya, tiba-tiba pergerakan tangan gadis itu terhenti begitu matanya menatap sebuah benda yang ia tahu adalah benda paling berharganya. Gadis itu meraih benda tersebut, album 3f.
Hinami tersenyum miris, lagi-lagi ia mengingat ketiga sahabatnya itu. Tapi tunggu, apa mereka masih bisa dibilang sahabatnya? Setelah kepergiannya sampai ia pulang saat ini pun tidak ada yang berubah. Tujuannya untuk melupakan lukanya itu gagal total, bahkan di Ibukota ia diharuskan untuk bertemu Anaya dan berkerjasama dengannya untuk sebuah acara. Tidak ada yang berubah sejak ia pergi, semuanya masih tetap sama. Bahkan saat luka lama belum terobati sudah muncul lagi luka yang baru.
Beberapa menit sibuk dengan pikirannya sendiri, akhirnya gadis itu kini memutuskan untuk keluar kamar. Menyapa kedua orangtuanya dan menyantap sarapannya meski terlambat untuk dibilang sarapan.
Selasai dengan urusan perut, Hinami pamit keluar rumah. Hendak berkeliling dan memastikan apa saja yang dilewatkannya sejak pergi ke Ibukota.
Baru saja gadis berkacamata itu melangkahkan kakinya keluar rumah, pandangannya sudah tertuju langsung pada dua rumah di sebelah rumahnya. Ia ingat, di tempat itu dulu ia dan ketiga sahabatnya selalu beradu argumen, tertawa, bahkan hanya sekedar menonton flim.
Sadar jika ia baru saja kembali tenggelam dalam ingatan lamanya gadis itu segera menggelengkan kepalanya, mengingatkan dirinya sendiri jika dulu dan sekarang itu berbeda. Namun ternyata usahanya itu gagal, saat gadis itu lupa akan ketiga sahabatnya justru Haruolah yang muncul. Pria itu lagi-lagi berkeliaran di dalam kepalanya dan membuat gadis itu kembali mengingat perkataan Haruo di rumah sakit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Oboemasu
Подростковая литератураTujuanku ke Ibukota memang ingin lari dari masalahku, lari dari luka yang selalu membuat air mataku jebol dan tak bisa di tampung. Aku tahu ini tindakan bodoh, tapi aku berharap dengan perginya aku luka ini akan sembuh. Tapi buktinya? Semuanya tetap...