03

31 6 0
                                    

Suara alunan gitar yang terdengar masih sumbang mengalun dari atap gedung apartemen, sembari menikmati secangkir coklat panas yang diletakkan di tempat duduk kayu di samping tubuhnya, raut wajah gadis itu terlihat masam karena alunan gitarnya tak pernah semerdu orang yang mengajarinya.
   
Kesal dengan permaian gitarnya yang tak pernah berjalan mulus gadis itu meletakkan gitar yang dipinjannya dari Rei di sampingnya, meraih cangkir coklatnya dan menyeruputnya setelah meniupinya sesaat. Pandangan gadis berkacamata itu menjelajahi tempat di sekitarnya, beberapa tempat jemuran terlihat kosong karena salju yang tak pernah berhenti turun. Di tempatnya berada ini memang tempat dimana para tetangga apartemennya menjemur pakaian, tapi sepertinya untuk beberapa saat tidak akan ada orang yang menjemur pakaian mereka di sini karena salju.
    
Gadis bernama Hinami itu masih nyaman di tempatnya, udara musim dingin yang membuat tubuhnya menggigil tidak ia hiraukan. Entah kenapa melihat hamparan langit di tempat ini selalu membuatnya tenang, kecuali saat tempat ini ramai dengan tetangganya.
   
“Rupanya kau di sini,” sebuah seruan dari arah tangga membuat Hinami menoleh, matanya mendapati tubuh jangkung Rei yang berbalut mantel tengah tersenyum ke arahnya.
   
“Aku pikir kau sedang pergi,” Rei kembali berseru, memindahkan posisi gitar di kursi kayu dan duduk di sana tanpa izin.
   
Hinami tidak menjawab, gadis itu hanya menoleh ke arah Rei sesaat sebelum kembali memperhatikan sekitarnya dengan kaki yang dinaikan ke atas kursi. Gadis itu sedang malas mengoceh, ia pergi ke tempat ini untuk membuatnya tenang.
   
Rei memutuskan diam juga setelah melihat tingkah gadis di sampingnya, sadar jika ia mengajaknya bicara ia akan mendapatkan omelan dari gadis itu.

Merasa bosan dengan suasana yang begitu hening Rei meraih gitarnya, memetik beberapa senarnya dan mulai memainkan gitarnya dengan nada yang membuat suasana di atap semakin tenang.

Hinami tersenyum lembut ke arah Rei, senang mendengar alunan gitar Rei yang membuatnya semakin tenang. Namum di sisi lain Hinami juga merasa kesal pada dirinya sendiri, Rei saja bisa bermain gitar selembut ini, kenapa ia tidak bisa? Belajar gitar sudah hampir 2 minggu bukan membuatnya menjadi mahir bermain gitar, namun malah membuat jari-jarinya terasa tidak nyaman.
   
“Kau tidak merasa kedinginan di tempat terbuka seperti ini?” tanya Rei begitu memperhatikan gadis di sampingnya hanya memakai celana panjang dengan kaos oblong yang terlihat kebesaran di tubuhnya.
    
“Tidak juga.”
    
“Bagaimana permainan gitarmu? Ada kemajuan bukan setelah aku pinjamkan gitarku ini?”
    
“Kemajuan apanya, yang ada jari-jariku yang jadi korban. Ambil aja sana gitarnya, aku malas memainkannya lagi!” jawab Hinami kesal sebelum kembali menyeruput coklat panasnya.
   
Mendengar Hinami yang marah-marah dengan benda mati itu membuat Rei terkekeh geli, pria itu dengan lembut mengacak rambut gadis di sampingnya sembari berucap “Namanya juga belajar, bukannya bermain gitar dan biola itu sama saja.”
   
“Aku sudah tidak bermain biola,” Hinami menjawab dengan singkat, sepertinya masih kesal dengan permainan gitarnya sendiri.
   
“Ya sudah, kau pakai saja dulu gitarku untuk belajar. Oh ya, pukul 8 malam nanti aku akan tampil disebuah kafe bersama Haruo. Aku harap kau datang untuk melihat pria tampan ini bermain di atas panggung kecil di tengah-tengah kafe.”
   
"Gayanya memanggil dirinya sendiri pria tampan, lebih tampanan juga Yamazaki Kento,” Hinami menyahut, tertawa kecil begitu mendengar Rei yang begitu percaya dirinya memanggil dirinya pria tampan.
    
“Lah lah lah, itu tahu. Aku memang tidak setampan dia, tapikan ketampananku ini yang kedua dari Yamazaki Kento,” ucap Rei begitu percaya diri, namun meskipun begitu hal itu sudah berhasil membuat Hinami tertawa karena ulahnya.
    
Hampir setengah jam keduanya berceloteh di atap gedung apartemen Hinami, udara musim dingin sepertinya tidak mempengaruhi keduanya. Hinami sendiri kini lupa pada kekesalannya pada benda bernama gitar, dengan bantuan Rei gadis itu kembali memainkan gitarnya meski ada beberapa nada yang masih terdengar sumbang.
   
“Gunakan ini,” Rei melepas balutan mantel di tubuhnya, memindahkannya pada tubuh Hinami agar gadis itu tetap merasa hangat.
   
Gadis yang kini diselimuti mantel milik Rei itu tidak mengatakan apapun, Hinami hanya memandang Rei sesaat sebelum kembali terfokus pada gitar di tangannya. Sikap Rei yang memperlakukannya semanis ini sebenarnya sedikit membuat gadis berkacamata itu tidak nyaman, namun untuk kali ini tak apalah. Lagian, tubuhnya kini tidak kedinginan lagi berkat matel milik Rei.
    
“Pukul berapa sekarang?” tanya Rei yang baru sadar jika malam sudah mulai larut.

OboemasuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang