05

24 5 0
                                    

Pukul 06.45 Hinami sudah berada di tempat favoritnya, terduduk sendirian di kursi taman dengan biolanya yang berada di atas pangkuannya. Mata gadis itu memperhatikan sekelilingnya, asik melihat butiran salju yang menyelimuti setiap penjuru.

Hinami melirik biola di pangkuannya, mengangkat benda itu dan memposisikannya dalam sikap siap memainkan benda itu. Untuk kali ini, ia gagal. Gadis itu sudah tidak bisa menahan dirinya lagi untuk tidak bermain biola.

Dalam beberapa menit kemudian, Hinami tenggelam dalam alunan melodinya. Gadis itu tersenyum getir saat sebuah nada terdengar dari biola yang dimainkannya, namun meskipun begitu ia juga dengan sekuat tenaga menahan air matanya agar tidak keluar.

Bagaimana ia tidak menangis, saat bermain biola ini ia selalu teringat akan ingatan lamanya, ingatan dimana ia memainkan biola ini di depan ketiga sahabatnya, ingatan dimana masih ada tawa ketiga sahabatnya, dan ingatan akan terbentuknya luka di hatinya itu.

Hinami masih memainkan biolanya itu, tidak peduli dengan orang-orang yang lewat dan memperhatikannya. Suasana taman bermain yang awalnya sepi pun seketika penuh oleh anak-anak sekolah yang menonton pertunjukan biola dadakan yang dimainkan Hinami.

“Uwaa permaianan neesan  indaha *sebutan untuk wanita yang lebih tua” seru seorang gadis dengan sebuah tongkat yang membantunya berdiri. Dengan susah payah gadis itu berjalan menghampiri Hinami, duduk di kursi di samping Hinami dengan bantuan Hinami.

“Aku suka permaianan kakak” ucap gadis itu sembari menunjukkan senyuman cerianya. Hinami tidak menjawab, gadis itu hanya menganggukkan kepalanya sembari tersenyum ke arah gadis kecil di sampingnya itu.

“Terimakasih," seru Hinami.

“Aku akan minta kakakku untuk mengajariku bermain biola juga” mata gadis itu terlihat penuh binar, namun sepertinya perhatikan Hinami bukan mengarah pada gadis itu. Melainkan ke arah kaki gadis itu. Gadis yang malang, dengan usianya yang masih kecil itu ia harus kehilangan satu kakinya.

“Aku tidak apa-apa, ini hanya kecelakaan kecil” gadis kecil itu kembali berseru, sadar jika Hinami sedari tadi memperhatikan kakinya.

Hinami tersenyum mendengar jawabannya “Kau gadis yang kuat”

“Hhmm” angguk gadis itu. “Oh ya, aku harus pergi sekolah. Lain kali neesan akan bermain biola disini lagikan? ku akan melihatnya” seru gadis kecil itu sebelum pergi meninggalkan taman bermain.

Hinami yang masih berada di taman hanya tersenyum melihat gadis kecil tadi, dia sungguh gadis yang kuat dan penuh semangat. Meski dengan keadaan fisiknya yang seperti itu, gadis itu masih bisa tersenyum dengan ceria, berbanding terbalik dengan dirinya sendiri. Selama ini ia selalu menunjukkan senyum palsunya, lari dari masalahnya, dan bahkan tidak bisa keluar dari masa lalunya.

Hinami tersenyum miris, beranjak dari posisinya dan kembali ke apartemen, siap dengan janjinya untuk menemani Rei berlatih basket.

●●●

Suara bola basket yang memantul di lapangan basket terdengar nyaring, apalagi suara para pemainnya yang sibuk menyerukan teman satu tim mereka untuk mengoper bola.

Udara musim dingin masih terasa di lapangan ini, Hinami merapatkan jaketnya, kembali tertunduk pada buku yang tergeletak di pangkuannya.

15 menit menemani Rei latihan basket, gadis itu hanya terduduk di kursi penonton sendirian sembari membaca buku. Gadis itu bukannya melihat para pria yang sedang memainkan bola basket, ia malah sibuk membaca dan hanya beberapa saat mendongakkan kepalanya dari bukunya untuk membenarkan posisi kacamatanya.
    
“Hei coba lihat itu Hinami-chan, aku mencetak angka!” seru Rei dari tengah lapangan.

OboemasuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang