Jam istirahat.
Alan dan Ana sudah bersiap di perpustakaan untuk mencari data tentang guru yang meninggal. Sayangnya, data-data seperti itu menjadi rahasia pihak sekolah."Kita butuh Vano," ujar Ana ketika mereka berjalan di koridor depan perpustakaan.
Mata Alan menyipit, terkesan kesal. "Aku bisa minta Papa memberikan datanya."
"Lalu ketahuan kalau kita sedang menyelidiki Reihan, begitu?" Ana mendecak-decak. "Kamu nggak bisa berpikir jernih kalau selalu iri sama Vano."
"Hah? Gue iri? Sama si berandal Vano? Yang benar aja!" Alan bersedekap, jalan lebih dulu menuju kantin.
"Terus kenapa sensi banget tiap bahas Vano?"
"Karena dia perusak segalanya. Kalau aja dia nggak ngajak Rei merokok, beasiswanya mungkin nggak akan dicabut. Kalau beasiswanya nggak dicabut, dia nggak akan mati."
Ana terpaku melihat ekspresi kesal Alan. "Kamu juga salah meninggalkan Reihan sendirian hanya karena dia bilang begitu. Kalau saja--"
"Ya. Kalau saja malam itu gue bisa langsung ke sekolah, nggak menunggunya dua jam di kafe, mungkin dia nggak akan mati." Alan menghela napas, meninggalkan Ana yang membatu.
Ana masih mencerna setiap kalimat yang dilontarkan Alan. Dia pun sadar kalau Alan belum bisa memaafkan dirinya sendiri.
Diam, Ana berjalan lambat di belakang Alan. Tidak mau membuat suasana hati cowok itu semakin memburuk.
"Ana!" Vano berteriak dari tempatnya duduk di sudut kantin. Reina yang duduk di sebelahnya sampai melirik. "Sini!" panggilnya kemudian.
Alan duduk di depan Vano, padahal cowok itu sangat semangat menunggu Ana di depannya.
"Minggir, gue mau nunjukin sesuatu sama Ana!" protes Vano.
Alan diam, dia malah melipat tangan, beranjak menggeser bokongnya ke sisi kiri yang langsung berhadapan dengan Reina di depannya. Sambil mendengus, Alan hanya melirik sekilas pada Vano dan Ana, kemudian memalingkan wajah acuh.
Vano dapat melihat raut keduanya yang cemberut seakan ada sesuatu diantara mereka. "Kalian kenapa?" tanyanya lirih.
Ana menggelengkan kepala, lalu melirik Alan yang masih acuh padanya, kemudian kembali memandang Vano.
"Ada apa?" ulang Vano ketika Ana masih bungkam sampai beberapa detik berikutnya.
"Kami nggak bisa mendapatkan data. Kamu menemukan sesuatu?" tanya Ana.
Vano mengangguk, terlihat prihatin saat melirik Alan. "Nama dan alamat lengkap guru itu."
Ana memutar laptop yang diserahkan Vano, membaca lirih data yang tertera. "Rusdi Guntoro, 45 tahun. Nama istri: Sarah. Mempunyai dua anak usia sepuluh dan enam belas tahun. Meninggal dalam kecelakaan mobil, sehari setelah Reihan meninggal. Riwayat pekerjaan ... Ya ampun, dia sering ketahuan korupsi?" Ana terkejut.
"Begitulah menurut data. Baca lebih jauh!" titah Vano.
Ana kembali menatap laptop. "Dia sering demo minta keadilan dari kasus korupsi. Dia juga mengajukan tuntutan ke pihak sekolah yang menurutnya tidak membayar gajinya selama setahun, tapi kasus malah berbalik menyerangnya dan dia dituntut atas pencemaran nama baik." Ana menghela napas sejenak lalu kembali melanjutkan.
"Hari itu dia dipecat secara tidak hormat dan ketika akan mengunjungi orangtuanya di desa, dia mengalami kecelakaan. Istri dan si sulung selamat dari kecelakaan itu, sementara dia dan putri bungsunya meninggal di tempat."
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret Clover [COMPLETED]
Teen FictionDi hari pertama sekolah, Ana harus berurusan dengan Alan, si anak kepsek yang mencoba kabur lewat pagar belakang. Pertemuan mereka membuka lagi tragedi yang pernah terjadi di sekolah itu. Ditambah hadirnya Reina, Alan terpaksa mengungkap kembali...