Beni menyeringai puas saat Reina mengatakan nama 'Ana', tapi kepuasannya berakhir saat anak buahnya mengatakan kalau Rayyan telah ditangkap polisi.
"Apa yang harus kita lakukan selanjutnya?" tanya anak buah Beni ketika mereka di luar ruangan tempat Reina disekap.
Beni tampak berpikir. Jika dia membiarkan Reina hidup dan gadis itu melaporkannya ke polisi, hukuman Rayyan bisa bertambah berat. Dia tidak ingin bos besar yang dia layani sepenuh hati itu menderita lebih parah, maka dia memutuskan, "Singkirkan gadis itu, dan kita buat rencana untuk membebaskan Bos Besar."
"Bagaimana bisa kita menyingkirkan gadis itu? Kita bisa terlibat, dan Bos Besar malah akan mendapat hukuman berat."
Beni menoyor kepala anak buahnya. "Kita buat seolah gadis itu bunuh diri. Apakah ada tempat yang bisa kita pakai di sekitar sini?"
Anak buah Beni mengusap kepalanya, tampak berpikir. "Ada jembatan yang di bawahnya terdapat aliran sungai deras. Kalau kita menjatuhkan gadis itu dari sana, orang hanya akan menganggapya bunuh diri."
Beni kembali menoyor kepala anak buahnya. "Kalau mereka menemukan mayatnya dan tahu kita lebih dulu menembaknya sebelum menjatuhkan ke sungai, itu malah lebih berbahaya."
"Jadi aku harus bagaimana? Menjatuhkannya dari tebing?"
"Apa ada tebing di sekitar sini?"
"Cukup jauh."
"Apakah laut yang ada di bawah tebing?"
Anak buah Beni mengangguk.
"Kalau jatuh ke laut, dia akan sulit ditemukan."
"Kenapa kita tidak langsung membuang mayatnya ke laut?"
Beni menoyor kepala anak buahnya, lagi. "Sulit ditemukan bukan berarti tidak bisa ditemukan. Kita tidak perlu membunuhnya dengan pistol, kita akan buat dia terjatuh dari tebing dan hanyut di laut. Itu lebih seperti bunuh diri."
Beni sudah memutuskan, dia lantas masuk ke ruangan penyekapan Reina. Dia mendekati Reina, menendang kaki gadis itu. "Dengar, kau harus menuruti perintahku."
Jantung Reina berdegup kencang, berbagai spekulasi tentang nyawanya atau Ana yang melayang seketika menari di benak. Dengan suara terbata, ia bertanya, "A-apa?"
Beni melepaskan kaki Reina, ia pikir akan repot kalau harus menggendong gadis ini. "Sekarang jalan!"
Reina yang ketakutan langsung berlari tak tentu arah ketika kakinya telah bebas.
Beni menyeringai, lantas mengambil pistolnya dari saku dalam jaketnya.
Dor!
"Reina!" suara teriakan Vano saat membuka pintu depan rumah kosong itu hampir bertepatan dengan suara tembakan Beni. Panik seketika memenuhi benak Vano. Ia segera berlari ke asal suara tembakan, tepatnya ke bagian paling belakang rumah besar kosong itu.
Ana dan Alan mengikuti Vano yang berlari cepat, sedikit tertinggal di belakang.
"Reina!"
"Reina!"
Vano yang akhirnya tiba di tempat bekas penyekapan Reina sidah seperti orang kesetanan saat mendapati ruangan terkunci.
"Reina, Rein.. Reina!" Vano histeris. Ia mencoba mendobrak pintu itu sekuat tenaga. "Reina kamu di dalam? Reina, jawab aku! Kamu baik-baik aja, kan? Reina!"
Ana mencoba menenangkan laki-laki itu dengan napasnya yang terengah-engah. "Vano, tenang!"
"Lo denger tadi, kan, Na? Itu suara tembakan! Lo juga denger, kan? Gue yakin Reina ada di dalam! Gue nggak mau terjadi hal buruk sama Reina!"

KAMU SEDANG MEMBACA
Secret Clover [COMPLETED]
Teen FictionDi hari pertama sekolah, Ana harus berurusan dengan Alan, si anak kepsek yang mencoba kabur lewat pagar belakang. Pertemuan mereka membuka lagi tragedi yang pernah terjadi di sekolah itu. Ditambah hadirnya Reina, Alan terpaksa mengungkap kembali...