Hari berganti minggu, lalu berganti bulan. Bahkan musim hujan telah usai dan diganti musim panas. Banyak orang memilih pergi berlibur di musim panas, seperti ke pantai, pegunungan atau ke tempat wisata lain. Orang-orang juga melakukan aktivitas di luar, bermain basket, bersepeda atau hanya sekadar mengerjakan hobinya. Kemudian, tidak terasa hari kelulusan sudah semakin dekat. Momen sekali seumur hidup, sungguh tak ada yang ingin melewatkannya, bukan?
Bagi Vano, hal itu tak lebih penting. Ia memang merindukan masa pergi bersama teman-teman di luar, melakukan balapan liar, atau sekedar pergi ke cafe dan menghabiskan waktu di sana. Tapi laki-laki itu memilih tetap menunggunya. Menunggu Rein-nya.
Sudah hampir dua bulan, tapi kondisi Reina masih belum menunjukkan perkembangan. Kata dokter, otaknya mati dan kemungkinan untuk sembuh hanyalah 50%. Reina tak lebih seperti boneka hidup yang ditopang alat medis di tubuhnya.
Setiap hari, Vano tak pernah absen mengunjungi, membawakan bunga, mendongengkannya, bahkan mengerjakan tugas sekolah di sana. Berharap keajaiban terjadi, tiba-tiba Reina bangun dan melihatnya.
Hubungan dengan Ana memang masih terjalin, kadang gadis itu menyempatkan diri untuk mengunjungi Reina tanpa Alan. Yah, karena kejadian yang membuat Reina koma adalah Alan, Vano masih menyimpan dendam pada laki-laki itu, entah sampai kapan. Dan ketika mendengar kabar Alan telah bebas dari penjara, ia tak peduli.
Hari itu, Ana kembali datang mengunjungi Reina dengan membawakan buah-buahan untuk Vano yang semakin kurus dan tak terurus, bahkan rambutnya dibiarkan panjang menutupi wajah. Vano tidak peduli. Ia tak memiliki waktu mengurusi diri sendiri.
"Van, aku bawain buah sama makanan. Kamu pasti belum makan, kan?" Ana menaruh buah dan makanan yang tadi dibeli di nakas dekat ranjang Reina.
Vano masih di posisi sama, duduk dengan menjatuhkan wajah di tepian brankar sambil memandang sayu gadis yang terbaring di sana. Tatapannya kosong. Panggilan Ana tak digubrisnya.
"Van, aku bawain makanan. Kamu makan ya?" pinta Ana lagi.
Vano menegakkan kepala, kini memandang Ana. "Reina belum makan. Bahkan sudah hampir dua bulan. Lihat tangannya--" Vano menggenggam tangan Reina yang semakin kecil dan pucat, "dia makin kurus, Na."
Ana terenyuh memandang sahabatnya itu. Ia paham betul bagaimana menderitanya Vano saat ini karena Reina--jelas terlihat kalau Vano frustrasi.
Mencegah buliran bening membasahi pipi, Ana buru-buru mengambil buah dari plastik, berkata, "Van, aku kupasin buah mangganya, ya. Tadi waktu di pasar, aku beli banyak, soalnya harganya lebih murah."
Ana mengambil pisau buah dan mulai mengupas mangga. Tangan Ana gemetar ketika mengupas mangga, tapi ia harus menguatkan tekad, karena jika ia juga jatuh seperti Vano, saat Reina bangun nanti Reina akan memarahinya.
"Kamu juga harus makan, mangganya enak lho." Ana mencicipinya, "Eumm... manis!"
Ana kemudian memberikan piring yang sudah terisi buah mangga segar yang baru saja dikupasnya. "Cobain, Van!" Ia menyodorkan piring itu.
Pyarrr...
Vano langsung menampar piring itu hingga jatuh ke lantai, menyebabkan buah-buahan itu berceceran. Ana terkesiap melihat sikap Vano.
"Gue nggak mau makan, Na!" Tatapan Vano benar-benar marah. "Jangan paksa gue lagi!" Vano meneriakinya.
Ana mengepalkan kedua tangan. Ia mendengus kesal, "Jadi, ini yang kamu mau, Van?" Ana memandang sayu Vano. "Kamu juga harus hidup, Van." Suara Ana bergetar, lalu detik berikutnya, ia tak mampu menahan lagi air matanya.
"Ini sudah dua bulan, Van."
Vano hanya diam.
"Apa kamu pikir, kamu doang yang kehilangan Reina? Aku juga, Van. Aku sahabat Reina. Dia juga sangat berarti untukku. Kalau Reina tahu kamu hidup hanya untuk menangìsinya, dia pasti sedih."
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret Clover [COMPLETED]
Ficção AdolescenteDi hari pertama sekolah, Ana harus berurusan dengan Alan, si anak kepsek yang mencoba kabur lewat pagar belakang. Pertemuan mereka membuka lagi tragedi yang pernah terjadi di sekolah itu. Ditambah hadirnya Reina, Alan terpaksa mengungkap kembali...