Alan berhasil menyusul Beni yang membawa Reina ke tebing. Ia tidak mengerti kenapa anak buah papanya itu membawa Reina ke sana, sampai dia melihat keduanya di ujung tebing.
"Beni!" teriak Alan, murka.
Beni yang menodongkan pistol ke arah Reina hanya menunjukkan wajah penyesalan, tanpa daya. "Bos kecil, ini semua demi kebaikan Bos Besar."
Reina yang terduduk di sana amat ketakutan. Wajahnya dipenuhi air mata dan keringat. Dia awalnya menatap Alan dengan penuh permohonan, tapi saat mendengar Beni memanggilnya dengan 'Bos Kecil', harapan itu lenyap. Beni dan Alan berada di sisi yang sama, bagaimana bisa Reina mengharapkan Alan menolongnya sekarang?
"Rein, jangan diam aja di sana! Lari! Dia nggak akan nembak kamu!" teriak Alan.
Reina mendengus, menatap marah Alan. Dia tidak percaya Alan. Jika dia bergerak, Beni mungkin akan menembaknya. Itu, kan, yang diinginkan Alan? Agar dia mati, dan ayahnya bebas dari tuduhan.
Beni yang mendengar itu mulai khawatir. Dia memang tidak berniat menembak Reina karena akan memberatkan hukuman Rayyan, tapi dia tidak mungkin diam saja. Saat dia melirik Reina tak bergerak sedikit pun, dia menyeringai.
"Aku akan benar-benar menembaknya jika Bos Kecil melangkah lagi," ancam Beni ke Alan.
Reina yang mendengar itu mulai ketakutan. "Alan, cukup! Jangan melangkah lagi! Atau kamu benar-benar ingin aku mati biar ayahmu bebas?"
Alan terbengong. Ada apa dengan Reina? Apa logikanya sedang tidak jalan sekarang? Alan datang untuk menolongnya. Apa dia sangat ketakutan, makanya bicara begitu?
"Tenang, Rein. Kamu nggak akan kenapa-kenapa. Aku ke sini untuk menyelamatkan kamu."
"Menyelamatkan aku?" Reina tertawa kecil menatap Alan dengan bengis, ia tak percaya kalau Alan lah dalang dari semua ini.
"Rein!" Alan sedikit memohon, ia sangat ketakutan kalau gadis itu berbuat nekat.
"Pergi!" teriak Reina. "Aku nggak percaya sama kamu lagi."
Beni puas. "Nah, Reina, sekarang berdiri."
Mata Reina melebar, tapi dia menuruti Beni.
"Melompatlah!" titah Beni.
Reina ragu-ragu.
"Jangan dengarkan dia, Rein!"
"Atau ibumu akan menanggung akibatnya," ancam Beni lagi.
Reina ketakutan, tubuhnya bergetar, kakinya goyah. Angin kencang menerbangkan rambutnya. Roknya berkibar. Pepohonan besar di bawahnya seperti membuka mulut lebar, seakan siap menelannya kapan saja.
"Reina, jangan bodoh! Menjauh dari sana!" teriak Alan, mulai khawatir dengan tindakan Reina.
Beni masih menodongkan senjata ke Reina sambil mengawasi Alan.
Alan sengaja mengulur waktu, berharap Ana yang membawa Angga segera muncul di sini. Mudah saja mereka melacaknya jika ada Vano, dan Alan sudah menghidupkan GPS-nya sejak tadi.
"Reina, dia nggak akan menembak kamu. Kamu bisa percaya sama aku."
Beni awalnya menikmati momen menengangkan ini, tapi saat waktu semakin berlalu, dia tidak sabar lagi. "Apa yang kamu tunggu? Cepat melangkah, dan melompat!"
Reina mengambil langkah pertamanya menuju ke tebing.
Alan melihat Beni lengah, maka dia segera berlari dan menendang tangan Beni yang memegang pistol. "Reina, mundur!" teriaknya.
Beni mencoba mengambil kembali pistol, tapi Alan lebih dulu mengambilnya, dan menodongkan ke Beni. Tidak mau kalah, Beni segera menarik Reina dan menjadikannya sandera. Pria itu menyeringai saat raut cemas Alan mendominasi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret Clover [COMPLETED]
Teen FictionDi hari pertama sekolah, Ana harus berurusan dengan Alan, si anak kepsek yang mencoba kabur lewat pagar belakang. Pertemuan mereka membuka lagi tragedi yang pernah terjadi di sekolah itu. Ditambah hadirnya Reina, Alan terpaksa mengungkap kembali...