28

263 32 3
                                    

Alan terbangun sekitar pukul delapan, dia tidak mendapati Ana di mana pun. Bergerak ke dapur, dia melihat gadis itu tengah bercengkerama dengan bu Sarah, terlihat bahagia.

"Memangnya kalau ditambah salam bisa pengaruh ke rasa sayurnya juga, Bu?" tanya Ana, yang sepertinya coba membantu memasak tapi malah terkesan membuntuti Bu Sarah ke sana-sini.

"Enggak juga, Na. Cuma biar wangi aja. Kamu nggak pernah masak ya?"

Ana menggaruk belakang kepala, cengengesan. "Enggak, Bu. Terima bersih aja. Langsung makan."

"Kalau kata orangtua jaman dulu, perempuan itu harus bisa masak. Itu kodratnya. Coba minta ajarin Ibu kamu, Na."

Seketika wajah ceria Ana berubah masam. Alan menangkap perubahan raut itu. Dia baru sadar kalau tidak tahu apa pun tentang keluarga si nona pendek.

"Hemm... Nanti Ana minta ajarin Mama masak."

Bu Sarah menepuk-nepuk bahu Ana, tersenyum kecil. "Ya sudah, kamu bangunkan temen kamu. Kita makan bareng."

Ana balik badan, mendapati Alan berdiri bersandar ke dinding dengan dua tangan masuk kantong celana. Sok keren. "Udah bangun, tukang tidur?"

Alan mendecih. "Lo nggak ngerasain tersiksanya mabok darat."

Ana memutar bola matanya. "Terserah. Duduk situ. Kita makan."

Alan menurut, duduk menanti makanan tersaji.

🍀🍀🍀

Usai makan malam bersama, Alan dan Ana duduk di ruang tamu, bersiap mengintrogasi. Terlebih gadis pendek itu, sedari tadi terlihat tak sabaran.

"Lan, kita udah kayak detektif gitu, ya." Ana cekikikan.

"Hemm..." Alan kembali menatap bu Sarah. "Percakapan ini akan saya rekam," kata Alan sembari meletakkan ponsel yang dalam mode rekam ke atas meja. "Pertama, bisa Ibu kenalkan diri?"

Bu Sarah mengangguk. "Nama saya Sarah, usia 36 tahun. Suami saya bernama Guntoro, seorang guru yang berwenang dengan koperasi sekolah Angkasa."

Ana dan Alan saling pandang. Gadis pendek itu memutus kontak mata lebih dulu, lalu bertanya, "Jadi kasus korupsi yang menjerat pak Guntoro berkaitan dengan koperasi sekolah?"

"Benar," kata bu Sarah. "Itu kamuflase dan pengalihan."

"Bisa ibu jelaskan lebih rinci?" tanya Alan, diliriknya Ana bersiap dengan pulpen dan kertas kecil.

Bu Sarah menarik napas, pandangannya menerawang plafon sekilas, seolah mengingat kenangan terkelam dalam hidup suaminya. "Suami saya adalah ketua koperasi sekolah. Meski masih guru honorer, rekan sejawat memercayakan posisi itu kepadanya. Tiga tahun bertahan, cobaan datang. Gajinya sebagai guru honorer tidak dibayar pihak sekolah, pun kinerja sebagai ketua koperasi sia-sia. Suami saya protes, tapi tidak digubris. Lagi-lagi janji palsu yang didapatnya. Namun setelah itu, berkas yang harusnya sampai di meja kepala sekolah, malah tercampur dengan anggaran pengeluaran koperasi dan sampai di tangan suami saya. Di sana lah puncak kesabaran suami saya."

"Berkas apa yang didapat pak Guntoro?" tanya Ana.

"Dana dari pemerintah yang keluar setiap tiga bulan sekali, dan proyek pembangunan perumahan atas nama Alano Nathanael Rayyan. Yah, dana pemerintah disalahgunakan kepala sekolah untuk kepentingan pribadi."

Alan mengepalkan tangan. Dia tahu perumahan atas namanya itu memang warisan untuknya kelak, tapi proses pembentukannya bukan dari dana pemerintah yang harusnya untuk sekolah. Itu kerja keras ayahnya. "Ibu sedang tidak mengarang cerita, kan?"

Secret Clover [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang