16. Their Thinking

279 32 8
                                    

"Halo? Iya, Pa. Aku di rumah temen sekarang," jawab Alan pada orang di seberang telepon yang tidak lain adalah papanya.

"Iya, bentar lagi aku balik." Alan mendengus kesal. Di saat seperti ini papanya masih saja over protectif. Aneh sekali papanya yang tiba-tiba menelepon dan menyuruh pulang. Biasanya hanya meminta pengawal menyeretnya.

"Dari siapa, Lan?" tanya Vano yang duduk di sofa warna krem.

"Si kepsek lah. Siapa lagi. Kayaknya gue harus balik." Alan meraih tasnya yang tergeletak di keramik hijau muda.

"Kayak anak papi lo!" cibir Vano, yang kini mengunyah camilan pemberian Bi Rahmi.

Alan hanya mendesis tidak jelas. "Gue lagi males debat. Titip Ana. Jangan lupa lo anterin pulang."

Vano tidak jadi mengunyah popcorn saat Alan serius akan pulang. Dia segera bangkit dan menyusul cowok itu ke pintu.

"Apa yang harus kita lakukan ke Karen? Gue yakin Rein nggak akan mau mengungkap pelakunya. Dia pasti bungkam dan lanjutin hidup kayak biasa."

Alan yang jongkok memakai sepatu, melirik Vano sekilas. "Kenapa lo pusing? Ada Ana di sana." Dia berdiri, lalu menepuk bahu Vano. "Lo harusnya fokus kasih perhatian ke Rein daripada mengejar pelakunya. Gue balik."

Vano mendecak, melakukan gerakan seolah membersihkan bahunya dari debu. "Gue masih marah sama lo! Gue nggak akan maafin lo."

Alan berhenti melangkah. Tanpa balik badan, dia hanya melambaikan tangan. Vano tidak melihat bagaimana terlukanya ekspresi Alan saat ini. Dia sendiri belum bisa memaafkan dirinya karena kematian Reihan, bagaimana mungkin Vano akan memaafkannya?

🍀🍀🍀

"Alan mana?" Ana muncul mendadak dari kamar Reina, membuat Vano yang duduk di ruang tamu berjengit kaget.

"Deham dulu, kek. Lo buat gue jantungan. Reina gimana?"

Ana berdecih, dia mengambil alih mangkok popcorn Vano. "Baru siap mandi. Lagi duduk merenung di kamar. Bentar lagi ke sini."

Mulut Vano membulat disertai anggukan. "Cara menghibur cewek tipe Rein itu gimana, ya, Na?" bisik Vano saat mendekat ke Ana.

Ana seketika tertawa ngakak mendengarnya. "Kamu ada aja, deh, nanyanya. Jadi diri sendiri aja, lah. Jatuh cinta emang buat lupa diri, ya, Van," ujar Ana sambil menaikturunkan alisnya.

Vano menyenggol bahu Ana, lalu berdiri seketika saat melihat Rein dalam balutan baju santai warna krem. Rambutnya yang tergerai dan pipi merona itu membuat jantung Vano berdebar.

Ana cukup tahu diri dengan kabur ke taman depan dan duduk di ayunan. Dia hanya terkikik membayangkan wajah Vano yang jadi bodoh saat melihat Rein.

Sementara itu, Vano dan Rein duduk canggung di sofa. Belum ada obrolan sejak lima menit lalu.

Tidak lagi sabar, Vano berdaham. "Kamu udah lebih baik?"

Reina mengangguk.

"Lutut udah diobati?" tanya Vano lagi.

Reina kembali mengangguk.

"Udah mandi? Oh iya udah." Vano menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Tiba-tiba kamus playboynya lenyap seketika saat melihat lesung di pipi Reina. Bahkan kini dia mengutuk dirinya yang mulai canggung di hadapan Reina.

"Rein?"

"Devan?"

Keduanya berujar serentak.

"Ya?" Vano yang mengalah dengan bertanya lebih dulu.

"Makasih udah menolongku tadi." Reina tersenyum lagi.

Secret Clover [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang