Vano dan Reina bertukar pandang, tak mengerti dengan ucapan si pria buncit itu.
"Kami sebenarnya--"
Brak!
Pintu rumah ditutup seketika oleh pria buncit.
Tak menyerah, Vano terus mengetuk pintu. "Kami hanya perlu menanyakan beberapa hal, Pak. Tolong buka pintunya!" teriaknya.
Pak Ozai keluar rumah, wajahnya garang. Vano refleks menarik Reina ke belakang punggungnya agar tak terkena pelampiasan amarah pria buncit itu.
"Pergi! Kalian biang rusuh! Saya bukan Ozai! Pergi!" teriak pria itu sembari mengangkat kursi di teras rumah dalam rangka menakut-nakuti.
Vano tak punya pilihan selain membawa Reina menjauh dari sana. Dia terus menggenggam tangan si gadis pendiam. Mereka baru berhenti ketika sudah lebih jauh, namun rumah Ozai masih dalam jangkauan pandangan.
Vano bernapas terengah-engah, masih menggenggam tangan Reina. "Sekarang bagaimana?"
Reina yang pipinya memerah--antara bersemu digenggam Vano atau lelah berlari--juga bernapas tersengal-sengal. "Kita tetap harus geledah rumahnya."
Jawaban Reina membuat Vano seketika menatapnya, lantas melepas genggaman tangan itu. "Yakin?"
Reina mengangguk mantap. "Kita tunggu dia keluar rumah."
Vano melirik arlojinya. "Ini sudah mau malam, Rein. Yakin?" tanyanya lagi.
Reina si wajah datar kembali mengangguk. "Demi Kak Reihan."
Vano tak punya pilihan selain mengikuti rencana Reina. Mereka memutuskan menunggu pak Ozai keluar rumah, yang ternyata memakan waktu sampai dua jam.
Sekarang sudah pukul tujuh malam, mungkin pria itu mencari makan di luar. Kesempatan utuk Reina dan Vano. Tapi setelah kembali ke kediaman Ozai, masalah berikutnya muncul.
"Bagaimana kita masuk?" Vano menggaruk kepala, bingung.
Reina tampak berpikir, sementara Vano hanya bersandar ke dinding sambil menunggu ide gadis itu.
"Devan, kita cari jalan lain buat masuk," kata Reina.
Vano tersenyum hambar, "Caranya?"
Reina mengedikkan bahu, wajahnya masih datar. "Kita cungkil saja lubang kunci di pintunya, atau cari jendela buat masuk."
Vano terkejut mendengar penuturan tak biasa dari gadis itu. Ini bisa dibilang cara yang nekat. Sungguh tak pernah diduga sang pewaris Alvariez kalau seorang Reina bisa berpikir layaknya pencuri. Mungkin karena pengaruh berteman dengan Ana. Sepertinya Vano harus mengintrogasi gadis pendek itu saat sekolah nanti.
"Kamu yakin?" Vano kembali bertanya, lebih seperti memastikan pendengarannya.
"Demi kak Reihan!" tegas Reina, percaya diri, padahal masih berwajah datar. Vano sangat ingin mencubit kedua pipi Reina, apa daya, dia hanya bisa pasrah menghela napas. Ia menurut saja.
"Oke... Okee... Demi kak Reihan," Vano tersenyum kecil, "tapi sebelum itu, kita cari pintu lain yang terbuka, ya."
Reina dan Vano mencoba mencari jalan masuk ke dalam rumah. Dengan penerangan dari ponsel, mereka pergi ke belakang rumah.
"Ada jendela!" Reina menunjuk jendela yang berada cukup tinggi, dengan tumpukan kardus yang sepertinya berisi barang rongsokan berada di bawahnya.
Vano yang menyaksikan antusias Reina hanya meringis ngeri. Sungguh ide yang buruk. "Kamu yakin mau masuk lewat situ?"
Reina malah sudah berlari ke bawah jendela dan melompat-lompat untuk melihat posisi strategis yang dapat ditempuhnya. "Ada celah Devan, kita bisa masuk lewat sini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret Clover [COMPLETED]
Fiksi RemajaDi hari pertama sekolah, Ana harus berurusan dengan Alan, si anak kepsek yang mencoba kabur lewat pagar belakang. Pertemuan mereka membuka lagi tragedi yang pernah terjadi di sekolah itu. Ditambah hadirnya Reina, Alan terpaksa mengungkap kembali...